Usai shalat subuh saya mengelilingi tepi danau sendirian. Kota Soroako belum sepenuhnya siuman dari pelukan malam tetapi riak kecil ombak menepis kayu-kayu besi yang menghalanginya menyentuh tepian.
Mentari menyembul perlahan dan angin membawa hangat sinarnya membuat desir ditelinga.
Saya terus berjalan hingga menemui lorong yang berhujung tembok kayu membelok ke barat. Sementara dari ketinggian jalan yang menurun, Danau Matano tersembunyi diantara batas antar bilik rumah-rumah panggung. Kamera saya arahkan kesegala penjuru diawal pagi itu.
Senyum ibu tua menyambut saya ketika tiba diujung lorong dan ia menatap penuh rindu.
"Tidak ada yang bisa Anak dapatkan gambar Danau Matano dari lorong ini, mampirlah kerumah kami. Disana Anak bisa dapatkan gambar keseluruh danau, bisa lihat matahari bersinar tanpa penghalang!" Ibu tua menyambut saya dengan ajakan yang terasa tulus.
"Apa boleh saya masuk dan ambil gambar dari sana, Ibu?"
"Tentu saja nak, bebaslah ambil gambar. Rumah kami tidak cantik tapi Danau Matano membuatnya cantik!"
Sebuah undangan untuk masuk kerumahnya ditawarkan dan kemudian derit-derit kayu bersahutan dipijak kami berdua ketika menyongsong pintu depah rumah panggung diatas air yang menghadap ke Barat.
"Inilah surga kami nak, ambilah gambar sesukanya. Mama buatkan minuman hangat dulu,"
"Tidak perlu repot bu, saya sudah senang dibolehkan ambil gambar dari rumah diatas danau indah ini."
Dia memanggil dirinya Mama lalu menghilang ke dapur diujung rumah.