Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Catatan Tepi) Keadilan Sluman Slumun Slamet

4 Februari 2017   12:02 Diperbarui: 6 Februari 2017   10:38 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Menjadi saksi perkara korupsi adalah hal yang tidak mengenakkan dan bukan pilihan. Begitu radar jaksa menangkap nama pihak yang dianggap mengetahui perkara yang dituduhkan, mereka membawa nama saya dalam berita acara sebagai pihak yang harus bersaksi dalam pengadilan tindak pidana korupsi seorang pejabat di satu departemen di Republik ini. Begitulah Tuhan memberi saya pengalaman yang sangat berharga.

Pengalaman diperiksa jaksa di gedung bundar selama enam jam lamanya beberapa bulan sebelum sidang memberi saya sedikit bekal bahwa hukum bisa membalik status seorang saksi menjadi tersangka meskipun bukan sebagai tersangka utama, setidaknya berpotensi menjadi pihak yang membantu terjadinya perkara korupsi. Setelah pemeriksaan itu, novel-novel John Grisham koleksi yang saya miliki kembali saya baca ulang. Pilar pengadilan federal, hakim yang berjubah hitam, para juri yang beraneka asal, pengacara yang siap menerkam dengan kata-kata dan jaksa yang kerap membanting buku tebalnya untuk menjatuhkan tuduhan pada terdakwa berdasarkan acuan hukum yang dipegangnya menjadi gambaran saya pada apa yang namanya pengadilan. 

Tiba di hari sidang, saya menemukan gedung pengadilan yang baru dibangun khusus untuk perkara korupsi. Gedung yang dibuat dengan langit-langit yang tinggi seperti ingin menunjukkan bahwa hukum adalah panglima tertinggi di negeri ini. Hanya yang aneh, desain gedung pengadilan itu membingungkan, tak menunjukkan keagungan sebuah pengadilan karena begitu memasuki ruang tunggu dan ruang-ruang sidang yang dibangun berjajar di sebelah utara, hiruk-pikuk pihak-pihak berperkara tak seperti yang saya baca di novel ataupun digambarkan dalam film-film Hollywood. Saya lebih merasa seperti berada di sebuah sekolah negeri dengan orang tua yang sibuk menunggu pembagian raport di selasar-selasar menunggu panggilan dari guru-guru anak mereka. Begitu banyak orang yang hadir dan menyesaki, tak tahu mana calon terdakwa, calon saksi atau penonton yang akan menghadiri persidangan. Positifnya persidangan yang saya akan hadapi ternyata tak menyeramkan seperti yang saya bayangkan berhari-hari sebelumnya.

Jaksa menghampiri sambil meminta saya bersiap untuk bersaksi pukul sembilan pagi, saat itu jam menunjukkan pukul delapan pagi. Dalam penantian bersaksi, seorang direksi sebuah perusahaan yang saya kenal baik datang menghampiri, wajahnya tegang dan tampak khawatir pada apa yang akan dihadapinya. Ia ternyata juga menjadi saksi hari itu dalam perkara yang sama. Dalam kegundahannya ia bercerita bagaimana ia telah terdeteksi dalam transaksi rekening terdakwa memberi sejumlah uang cukup besar sebagai cara untuk memuluskan apa yang ia perlukan dari kewenangan si pejabat.

“Jadi sampeyan memang pernah kasih uang ke beliau?” tanya saya. Ia mengangguk. “Lalu apa yang mau dikatakan nanti di depan sidang?”

“ Yoo, nggolek (cari) selamatlah, Pak!” jawabnya.

“Tapi kan nanti sampeyan disumpah.”

“Lha, Pak Ary nanti juga mau ngomong apa?”

“Saya memang nggak pernah kasih, saya memang yang memimpin proyeknya, tapi nggak pernah tahu kalau ada yang kasih duit ke beliau. Saya nggak pernah perintah apalagi mengetahuinya, mungkin salah satu direksi kontraktor seperti sampeyan ini yang ngasih duit tapi ngaku disuruh sama saya!” 

“Waduh, mumet aku, Pak. Berarti direksi kontraktor Bapak buang badan ngaku disuruh klien. Lha, kalo saya memang nggak diperintah sama klien saya seperti juga Bapak sebagai klien. Semua inisiatif saya saja biar urusan cepat beres,”

Seperti cerita klasik, ternyata sidang diundur ke pukul satu, hakim dan jaksa masih ikut dalam sidang yang lain. Selama empat jam saya ngopi menemani sang direksi yang gundah akan mengatakan apa ketika nanti bersaksi.

Sidang dibuka pukul satu tetapi kami berdua ternyata dialokasikan bersaksi bersama dipukul setengah tiga. Tiba giliran kami, kitab suci disentuhkan ke kepala dan kami disumpah untuk menyatakan hal-hal yang sebenarnya atas nama Tuhan yang kami percaya. 

Begitu sidang berlangsung, semua pihak dipanggil dengan sebutan “Saudara”, tak peduli orang itu pemilik perusahaan atau pejabat Negara. Hanya tiga sosok hakim yang memiliki sebutan tinggi dan kami sebagai yang hadir harus memanggilnya “Yang Mulia”.

Yang Mulia memerintahkan terdakwa untuk mengenali kami berdua satu per satu. Ia mengenal direktur di sebelah saya tetapi begitu melihat saya, lama ia tertegun dan mengatakan kepada yang mulia bahwa ia tak mengenal saya.

“Saudara saksi tidak mengenal terdakwa?” cecar hakim beralih pada saya.

“Saya tidak mengenal saudara terdakwa yang mulia. Tapi saya tahu dia siapa.”

“Jangan berputar-putar, mengenal atau tidak? Saudara saksi, Anda sudah disumpah!”

“Sebagai seorang pejabat saya mengenal namanya Yang mulia, seperti saya mengenal orang terkenal lainnya, tetapi dia pasti tidak mengenal saya, Yang mulia,” saya menjawab dengan tenang. Hakim yang mulia menatap saya tajam dengan tatapan yang siap menerkam.

“Lalu kenapa saudara saksi ada di sini?”

“Silahkan Yang mulia bertanya kepada saudara Jaksa, kenapa saya ada di sini!”

“Saudara Jaksa jelaskan kenapa saksi ada di sini!” Jaksa kemudian berdiri menjelaskan asal-usul mengapa saya hadir di persidangan tersebut. Pengacara menyahut, memprotes keberadaan saya yang dianggap memperlambat sidang. Jaksa berkeras dan mengeluarkan pendapat berbeda. Kepala saya berputar ke kiri ke kanan hingga palu hakim terdengar keras menengahi.

“Baik saudara saksi tetap di situ sampai kami tentukan posisinya!” ruang sidang kembali tenang lalu kesaksian beralih pada saksi di sebelah saya, sang direktur.

Hakim Yang mulia, Jaksa, Pengacara dan Terdakwa silih berganti mencecar saksi. Bantahan, tuduhan, hentakan, ancaman silih berganti dilontarkan. Tak ada cerita kesaksian yang sama persis dengan apa yang diceritakan direksi sahabat saya itu sebagai saksi ketika sama-sama menikmati kopi di saat menunggu sidang dimulai. Kebenaran entah ada di mana sementara saya duduk berdampingan berdua di tengah silang pendapat yang seolah tiada akhir.

Hakim mengancam saksi yang dianggap tidak konsisten memberi kesaksian, begitu juga pengacara yang menyerangnya dengan segenap ilmu pembelaan hukumnya atas nama kliennya.

“Cukup, semua apa yang dikatakan saksi apakah saudara terdakwa setuju?” Hakim bertanya dan Terdakwa menjawab dengan tegas tidak setuju. Lalu ia menyatakan bahwa ia tak pernah melakukan apa yang sudah disampaikan oleh saksi.

“Terakhir, Anda tidak mengenal saksi yang ada di sebelah saksi kedua?” Hakim menunjuk saya yang diam seribu bahasa.

“Tidak yang mulia!” jawab Terdakwa. 

Sidang hari itu berakhir dengan mempersilahkan kami berdua beranjak dari kursi saksi. Saya mencolek direktur sahabat saya itu setelah menuruni tangga mencari kelegaan setelah sekian jam dicecar dengan silang sengkarut pendapat.

“Kok kesaksian sampeyan lain sama yang diceritakan tadi waktu ngopi?”

“Lha, nggolek selamet, Pak. Kalo nggak gitu malah ikut kegeret nanti.”

“Kan sudah disumpah, Hayo!”

“Dosaku juga sudah banyak, Pak, ya ini nambah dosa satu lagi supaya selamat ya mau apa lagi, harus diambil,” dia tersenyum kecut kepada saya.

“Gemblung, nekat sampeyan!” 

Semenjak itu saya tak lagi yakin dengan pengadilan dunia ini dan tak berani menyimpulkan apa pun pada apa yang terjadi di setiap persidangan di mana pun. Meski sudah diputus pun selalu ada yang saya pertanyakan, benarkah apa yang terbuka di pengadilan adalah sebuah kebenaran. Jaksa, pengacara, terdakwa, saksi dan hakim bertarung untuk menunjukkan kebenaran menurut mereka sendiri. Mudah-mudahan saya tak pernah punya pengalaman yang sama lagi. Sluman Slumun Slamet!

-Sesungguhnya Allah SWT adalah sebaik-baiknya Pengadil-

From the desk of Aryadi Noersaid

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun