Sidang dibuka pukul satu tetapi kami berdua ternyata dialokasikan bersaksi bersama dipukul setengah tiga. Tiba giliran kami, kitab suci disentuhkan ke kepala dan kami disumpah untuk menyatakan hal-hal yang sebenarnya atas nama Tuhan yang kami percaya.
Begitu sidang berlangsung, semua pihak dipanggil dengan sebutan “Saudara”, tak peduli orang itu pemilik perusahaan atau pejabat Negara. Hanya tiga sosok hakim yang memiliki sebutan tinggi dan kami sebagai yang hadir harus memanggilnya “Yang Mulia”.
Yang Mulia memerintahkan terdakwa untuk mengenali kami berdua satu per satu. Ia mengenal direktur di sebelah saya tetapi begitu melihat saya, lama ia tertegun dan mengatakan kepada yang mulia bahwa ia tak mengenal saya.
“Saudara saksi tidak mengenal terdakwa?” cecar hakim beralih pada saya.
“Saya tidak mengenal saudara terdakwa yang mulia. Tapi saya tahu dia siapa.”
“Jangan berputar-putar, mengenal atau tidak? Saudara saksi, Anda sudah disumpah!”
“Sebagai seorang pejabat saya mengenal namanya Yang mulia, seperti saya mengenal orang terkenal lainnya, tetapi dia pasti tidak mengenal saya, Yang mulia,” saya menjawab dengan tenang. Hakim yang mulia menatap saya tajam dengan tatapan yang siap menerkam.
“Lalu kenapa saudara saksi ada di sini?”
“Silahkan Yang mulia bertanya kepada saudara Jaksa, kenapa saya ada di sini!”
“Saudara Jaksa jelaskan kenapa saksi ada di sini!” Jaksa kemudian berdiri menjelaskan asal-usul mengapa saya hadir di persidangan tersebut. Pengacara menyahut, memprotes keberadaan saya yang dianggap memperlambat sidang. Jaksa berkeras dan mengeluarkan pendapat berbeda. Kepala saya berputar ke kiri ke kanan hingga palu hakim terdengar keras menengahi.
“Baik saudara saksi tetap di situ sampai kami tentukan posisinya!” ruang sidang kembali tenang lalu kesaksian beralih pada saksi di sebelah saya, sang direktur.