Hakim Yang mulia, Jaksa, Pengacara dan Terdakwa silih berganti mencecar saksi. Bantahan, tuduhan, hentakan, ancaman silih berganti dilontarkan. Tak ada cerita kesaksian yang sama persis dengan apa yang diceritakan direksi sahabat saya itu sebagai saksi ketika sama-sama menikmati kopi di saat menunggu sidang dimulai. Kebenaran entah ada di mana sementara saya duduk berdampingan berdua di tengah silang pendapat yang seolah tiada akhir.
Hakim mengancam saksi yang dianggap tidak konsisten memberi kesaksian, begitu juga pengacara yang menyerangnya dengan segenap ilmu pembelaan hukumnya atas nama kliennya.
“Cukup, semua apa yang dikatakan saksi apakah saudara terdakwa setuju?” Hakim bertanya dan Terdakwa menjawab dengan tegas tidak setuju. Lalu ia menyatakan bahwa ia tak pernah melakukan apa yang sudah disampaikan oleh saksi.
“Terakhir, Anda tidak mengenal saksi yang ada di sebelah saksi kedua?” Hakim menunjuk saya yang diam seribu bahasa.
“Tidak yang mulia!” jawab Terdakwa.
Sidang hari itu berakhir dengan mempersilahkan kami berdua beranjak dari kursi saksi. Saya mencolek direktur sahabat saya itu setelah menuruni tangga mencari kelegaan setelah sekian jam dicecar dengan silang sengkarut pendapat.
“Kok kesaksian sampeyan lain sama yang diceritakan tadi waktu ngopi?”
“Lha, nggolek selamet, Pak. Kalo nggak gitu malah ikut kegeret nanti.”
“Kan sudah disumpah, Hayo!”
“Dosaku juga sudah banyak, Pak, ya ini nambah dosa satu lagi supaya selamat ya mau apa lagi, harus diambil,” dia tersenyum kecut kepada saya.
“Gemblung, nekat sampeyan!”