Saat bapak masih hidup, tak lama setelah melewati masa koma di ruang ICU, beliau diperbolehkan berpindah ke ruang perawatan. Di ruang perawatan kelas-1 itu terdiri dari dua tempat tidur yang dipisahkan oleh satu tirai berwarna biru dengan luas masing-masing tempat tidur cukup lumayan untuk para penunggu.
Istirahat tidur setelah masa koma adalah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh bapak dan ia sangat membutuhkan ketenangan. Di sebelah tempat tidurnya seorang lelaki yang berusia kurang lebih sama juga tengah menjalani perawatan dengan penyakitnya tak separah yang dialami oleh bapak.
Karena berbagi ruangan, ketika pasien sebelah tidur, sebagai penunggu saya kerap mengecilkan bahkan membisukan nada dering telephone genggam, membuka toilet dengan perlahan bahkan ketika waktu shalat saya melembutkan bacaan shalat dengan lembut. Demikian juga dengan penunggu pasien sebelah, ia berusaha mengecilkan segala aktivitasnya dan setiap pagi ia dan bapaknya memanjatkan doa pagi secara bersama dengan lembut yang meskipun terdengar dari tempat tidur bapak tetapi terasa sekali harapan mereka terhadap Tuhan yang mereka percayai begitu besar.
Satu sore sepulang kerja saya kembali mengunjungi bapak yang tengah tidur, jam besukpun tiba. Beberapa orang datang menjenguk pasien sebelah dalam jumlah yang lumayan banyak. Untuk memperluas ruangan saya membuka tirai agar orang-orang yang datang dapat memiliki tempat yang cukup menjenguk teman mereka dari semua sisi tempat tidur. Penunggu pasien sebelah tidak terlihat mendampingi.
Saya mendengar salah seorang dari mereka mengusulkan untuk berdoa bersama dalam lingkaran yang mengelilingi tempat tidur pasien yang mereka jenguk. Saat itu saya memilih keluar ruangan agar mereka lebih leluasa berdoa. Tak lama dari balik pintu mereka mulai melantunkan doa-doa dan ketika satu menit berlalu suara doa-doa itu menembus pintu ruangan hingga terdengar dari baliknya. Saya membuka pintu sedikit dan mendapatkan suara-suara doa dalam nada tinggi begitu membahana.
Dengan cepat saya kembali ke dalam ruangan menembus beberapa orang yang tengah khusuk berdoa. Saya melihat bapak terjaga dan kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari apa gerangan suara yang tiba-tiba membangunkan tidurnya. Karena tengah khusuk berdoa saya kembali keluar dan mencari perawat yang bisa membantu mengingatkan para penjenguk itu yang masih saja terus mengumandangkan doa dalam suara yang kerasnya tak terkira dalam paduan sekian banyak orang yang ada.
Baru beberapa langkah menuju ruang perawat saya berjumpa dengan lelaki yang biasa bersama saya menunggu di kamar yang sama. Ia bertanya kepada saya mau kemana dan saya menceritakan padanya sekaligus meminta bantuan padanya untuk meminta para penjenguk ayahnya mau mengecilkan suara mereka. Ia pun bergegas keruangan rawat bersama saya dan langsung masuk ke dalam kamar. Hanya beberapa detik, ia kembali keluar lalu menemui saya.
“Saya nggak kenal mereka mas!” katanya
“Nggak kenal? Bukannya mereka saudara, teman bapakmu atau siapa?” tanya saya. Ia menggeleng. Lalu refleks mengajak saya menemui petugas security. Petugas security datang, menghentikan doa yang bercampur kidung nyanyian lalu menanyai mereka satu persatu.
“Kami cuma mendoakan pasien-pasien yang seiman, apa ada yang salah dari tugas kami ini?” jawab seorang lelaki yang sepertinya adalah pimpinan di antara mereka.
“Coba tanyakan kepada keluarga pasien, saya dapat laporan gangguan dari keluarga pasien!” sahut petugas security.