Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ganteng Itu Anomali

10 Maret 2016   16:24 Diperbarui: 10 Maret 2016   18:27 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ternyata hari pertama kami datang hanya untuk menyerahkan dokumen dan penjadwalan tes menunggu giliran karena begitu banyak pelamar untuk posisi yang sama. Kami mendapat jadwal tes penampilan di hari ketiga dengan syarat harus memakai dasi, bercelana gelap dan berpakaian warna terang.

Dua hari saya mencari dasi, mencoba meminjam atau paling tidak membeli. Untung ayah saya punya selembar dasi berwarna pink satu-satunya yang tak pernah ia pakai selama memilikinya.

Di depan cermin saya memandang tubuh yang kurus, rambut yang ikal berarah serabutan dan kulit yang tak putih bersinar karena tak pernah tersentuh lulur buah bengkoang. Dengan dasi pink di selipan kerah baju milik ayah berwarna putih bersih saya nampak mematutkan diri.

“Selamat siang, Bapak Ibu, selamat datang di penerbangan kami. Saya cabin crew akan melayani Anda semua...!” mulut ini komat-kamit mengikuti kalimat yang biasa disampaikan oleh seorang pramugara di atas pesawat yang hanya saya bisa lihat dalam film-film nasional ketika itu. Di depan cermin tepat semalam sebelum esok tiba untuk beraksi di depan para penilai penampilan calon pramugara. 

Semalaman saya berpikir, mau apa sebetulnya saya jadi pramugara. Apa tubuh, wajah, dan postur saya memang laku di industri pelayanan transportasi udara ini? Saya membayangkan saingan terdekat saya Rikson dan Yuli yang tanpa berpoles wajah pun nampak gagah dengan balutan dasi di lehernya.

Melihat kegundahan yang saya alami, ayah saya malam itu menghampiri dan memberi kalimat nasihat pendek. “Berangkat dengan keyakinan akan lebih bernilai dibanding berangkat mengandalkan penampilan!”

JLEBB… saya tertidur dengan hangat menghadapi persaingan esok hari, hampir lupa baju dan dasi masih melingkar di leher.

Hari penghakiman tiba. Para calon diminta duduk di balkon yang tinggi sementara satu per satu calon pramugara dipanggil turun dan diminta berjalan melintasi lapangan di tengah aula untuk menghampiri meja penguji dan diminta bersalaman, memperkenalkan diri sambil menyebut nama serta tujuan kedatangan ke meja tersebut. Siapa saja para calon bisa melihat calon lain menjalani tes. Ada tujuh meja penguji yang harus dihampiri dan masing-masing menatap setiap calon di hadapan tanpa berkedip melihat dari ujung kaki sampai ujung kepala, memandangi gerak bibir dan menghantui dengan pandangan menyelidik setiap gerakan yang dilakukan.

Rikson dan Yuli mendapat giliran lebih dahulu lalu mereka kembali ke balkon setelah sekian puluh menit menyelesaikan perjalanan mereka satu per satu ke meja penguji. Saya memperhatikan mereka di antara kerumunan sejak mereka menuruni tangga sesaat nama mereka dipanggil untuk menjalani tes.

“Gimana penampilan kita berdua tadi?” Yuli bertanya. Saya hanya mengacungkan jempol . Mereka tersenyum dan tak lama nama saya dipanggil untuk turun.

Tubuh yang cuma 59 kg dengan tinggi 177 cm karena kurang gizi ini meluncur menyusuri anak tangga, berjalan melewati ujung garis lapangan menuju sudut lain dan bertemu tatapan yang nampak tegas tetapi penuh selidik. Setiap meja saya lalui dengan dasi yang meliuk ke kanan ke kiri mengikuti irama tubuh yang berjalan dengan sepenuh hati. Setiap genggaman tangan yang disodorkan saya salami dengan tegas dan senyum merekah tanpa kepalsuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun