Tulisan ini telah dimuat di website kecil-kecilan kami, Jurnal Harian
Hampir enam puluh persen dari 1220 responden yang disurvei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) tidak menyetujui kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sepertinya, hasil survei ini tidak terlalu mengagetkan. Tanpa kita melihat hasil survei ini, kita menyadari bahwa banyak penolakan dari orang-orang di sekitar kita.Â
Entah itu berasal dari warung kopi murahan sampai kafe-kafe empat puluh ribuan. Kenapa kami selalu menyebut warung kopi dahulu? Karena di sanalah semua macam pikiran dicurahkan dengan berbagai gaya dan bahasa.Â
Belum lagi para pelaku di pasar-pasar tradisional yang suka berceloteh panjang dari pagi hingga petang. Jika pun tidak secara terang-terangan menolak kenaikan harga BBM, sebagian memilih diam dan hanya fokus dengan pekerjaan di depan mata.Â
58,7 persen responden menyatakan ketidaksetujuan dengan kebijakan kenaikan harga BBM. Membingungkan juga untuk memandang hal ini. Jelaslah perekonomian kita baru bisa bernafas lega setelah hampir dua tahun dicekik oleh pagebluk Covid-19 yang begitu menyesakkan dada.Â
Masih kita ingat sedikit kisah-kisah kelam di tahun 2020 silam. Entah para pelaku usaha transportasi yang harus merelakan kendaraannya ditarik oleh leasing. Padahal, Presiden Joko Widodo sempat menginstruksikan agar pihak penyedia kredit tidak menarik sesuatu dari kreditur andaikata dia tidak bisa membayar di masa pandemi. Sungguh ironis, tapi kami juga berpikir bahwa pihak leasing pun juga dalam keadaan terjepit.Â
Leasing pun juga perlu tetap menjalankan usahanya. Kegagalan bayar, ya, sepemahaman kami, adalah hal buruk yang dapat mengompongkan perjalanan usaha leasing. Itulah yang menghiasi keadaan perekonomian kita di tahun 2020 silam. Belum lagi pembagian bantuan sosial yang banyak bisik-bisik tetangganya.Â
Jangan tanya juga banyaknya penduduk yang harus runtuh mentalnya karena tidak sanggup menghadapi beratnya tekanan hidup di zaman pandemi. Sedihnya, di dunia maya, masih sibuk pihak-pihak tolol yang menggunakan isu SARA untuk saling sindir dan serang. Seperti tidak punya kepala saja.
Baru kita bisa bernafas lega, rasa khawatir akan kenaikan harga BBM melanda. Kita sepertinya perlu jujur. Sedari awal, kita sudah mendapatkan firasat (apapun istilahnya) bahwa harga BBM ini akan dinaikkan. Sudah banyak petunjuk-petunjuk yang berasal dari dalam pemerintah pusat.Â
Bahkan, dulu juga ada isu kenaikan harga gas melon karena dianggap sudah tidak keekonomian lagi. Ah, tidak lupa pula kenaikan harga tarif dasar listrik yang terjadi tidak berapa lama ini. Tidak peduli, apakah kenaikan itu katanya tidak menyasar masyarakat kurang mampu, tetapi masyarakat "mampu" yang terkena dampak tetap merasakan dampak, toh.Â
Lama-lama tabungan masyarakat "mampu" bisa anjlok pula kalau semuanya dinaikkan. Seakan-akan mereka juga menjadi pelarian kenaikan harga kalau tidak mau diarahkan ke masyarakat kurang mampu.Â
Sekarang, harga BBM sudah mengalami kenaikan. Ada penolakan dan ada yang masih memaklumi. 58,7 persen responden LSI menolak dan tidak mempermasalahkan penambahan hutang. Aduh, bukankah ini suatu cara berpikir yang salah juga? Menambah hutang bukannya dulu menjadi senjata empuk bagi pihak oposisi Istana untuk menyerang? Kenapa sekarang masalah hutang negara ini perlu dipinggirkan asal harga BBM tidak naik?Â
Rakyat dan mahasiswa menolak di sana dan di mari. Tapi, di luar lingkaran yang menolak, hingga berdemonstrasi di jalanan, kehidupan tetap berjalan. Entah itu berjalan lancar atau dipaksakan lancar. Begitulah kenyataan yang selalu terjadi.Â
Di luar lingkaran demonstrasi dan orasi mahasiswa-mahasiswa yang idealis, tetap berjalan kehidupan dan perdagangan orang-orang yang tetap ingin hidup dan makan enak di esok hari.
Ditulis di Pekanbaru pada 5 September 2022
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H