Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenalan Lama

20 Juni 2019   07:00 Diperbarui: 20 Juni 2019   07:07 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi hari ini tidak cerah seperti biasanya. Awan-awan yang bergumul justru menghalangi cahaya mentari pagi yang dinanti-nanti setelah satu malam terkepung oleh kegelapan. Pagi ini, di suatu kamar yang berantakan, seorang pemuda hanya menatap dinding dengan tatapan kosong. Ini adalah hari pertama sekolah. Biasanya dia begitu antusias, tapi sekarang tidak terlalu. 

Tentu saja karena dia membenci udara dingin. "Sial sekali aku pagi hari ini," gerutunya. Tubuhnya masih ditarik dengan kasar oleh gravitasi bumi ke arah kasurnya yang sudah tidak empuk lagi. Semakin lama bobot tubuhnya seperti semakin bertambah. 

Semakin sulit dirinya untuk bangkit, justru semakin senang dirinya. "Hahaha, tentu aku tidak boleh bermalas-malasan seperti ini. Hari ini adalah hari pertama sekolah. Kebetulan sekali, aku kembali satu sekolah dengan bocah itu. Hahaha, aku berharap dia tidak mengecewakan diriku kali ini."

 Pemuda itu langsung bangkit berdiri. Dengan sigap dia langsung mengenakan seragam yang telah dia gantung tadi malam di dekat jendela. Semuanya telah terpasang rapi. Sekarang, hanya perlu menyemprotkan beberapa semprotan parfum berbau semerbak bunga. Dengan cepat dia meraih tasnya dan segera berjalan keluar. Satu hal, sepertinya dia belum mandi ataupun gosok gigi. 

*** 

"Ternyata kau, Konstig. Mengapa kau berjalan searah dengan kami?" Apa Brass mengenali pemuda ini? Meski harus meladeninya dengan raut muka yang masam, Brass seperti tidak memiliki pilihan lain. "Tentu. Jangan salah, aku juga mendaftar di sekolah yang sama denganmu." Pernyataan itu tidak mendapat tanggapan yang baik dari Konstig. Mengapa harus orang ini mendaftar di tempat yang sama dengannya? "Katakan kepadaku, Konstig, mengapa kau juga mendaftar untuk sekolah di sana? Apa yang kau cari sebenarnya?" Sembari melanjutkan perjalanan mereka dengan langkah yang berat, Konstig yang sedang ditanya hanya tertawa kecil.

 Giginya masih terlihat rapi dan bersih meskipun belum gosok gigi pagi ini. "Aku rasa jawabannya sudah jelas, bukan?" "Bukan hanya dirimu saja yang bertekad untuk memperdalam hal 'itu', Brass. Kau juga harus memahami bahwa banyak orang lain yang sama denganmu, termasuk juga aku. 

Jadi, jangan berpikir konyol bahwa kau akan mendapatkan segalanya dengan mudah." Brass tidak menyukai perkataan barusan itu. Bukankah hal yang tabu bagi seseorang yang memiliki "itu" untuk membahasnya di lingkungan umum? Bahkan pihak kerajaan akan menindak tegas siapapun yang melakukan hal demikian, termasuk lingkungan elite sendiri. Keadaan bahwa mereka berada di luar jangkauan petugas keamaan istana, dan merupakan kumpulan bocah SMA kurang berguna, jeratan hukum tidak cukup bertenaga untuk menjerat mereka.

 "Perkataanmu barusan adalah suatu hal yang sia-sia. Aku hanya ingin cepat-cepat selesai dari tuntutan kerajaan ini, untuk bersekolah selama dua belas tahun. Setelah itu, aku ingin mengembangkan jalur hidupku sendiri. Setidaknya aku sudah mengetahui akan melakukan apa, Konstig!!!" Suara gelegar tawa menggema, siswa-siswa biasa yang berada di jalur yang sama memandang dengan tatapan aneh. Konstig memang bukan seseorang bisa diajak berkomunikasi di lingkungan sosial. 

"Hahaha, perkataanmu yang justru sangat lucu!!!" Tidak ada seorang pun juga yang peduli akan tanggapan balik Konstig, orang-orang hanya peduli dengan sikapnya yang berseberangan dengan moral setempat. "Lalu, mengapa sekedar memasuki sekolah biasa yang hanya terkedar karena usianya? Orang sepertimu cocoknya mendaftar ke sekolah-sekolah unggulan yang berada di pusat kota, ataupun kota-kota lain. Mengapa harus ke sekolah tengah sawah? Apa ada alasan tertentu?" Brass tidak mengubris pertanyaan itu. Dia hanya fokus memandang ke depan. Hal yang membuat Konstig merasa jengkel dan memalingkan muka. 

Malang, terlihat olehnya Is yang sedari tadi berusaha menghilangkan keberadaannya. Senyum jahat terpatri di wajah Konstig. Ingatan masa lalu perlahan-lahan merayap. Hal-hal yang seharusnya sudah dilupakan, atau bahkan dibuang jauh-jauh dari jangkauan cahaya ingatan. Apalagi bagi Is, baginya ingatan di masa tertentu itu seharusnya tidak pernah ada.

 *** 

Langit biru, dengan beberapa awan putih halus yang menggantung di ruangnya. Keadaan yang selama ini menjadi tontonan wajib para siswa-siswa kurang kerjaan, ketika jadwal pelajaran telah habis, namun penjaga sekolah bersikeras bahwa gerbang belum boleh dibuka. Hal ini dianggap wajar, bahkan hampir di seluruh wilayah. Tidak ada perbedaan. Para siswa memang sudah seharusnya ditahan seperti itu, kalau tidak mereka akan bertindak seperti hewan liar. Bukan karena masalah sentimental, akan tetapi sekolah menengah pertama ini memang berbeda dari yang lain. Terdapat banyak anomali, salah satunya tingkah-laku para siswa yang berada di luar batas beradab. 

Memang aneh, lokasi sekolah ini tidak terlalu jauh dari batas kota. Ya, setidaknya masih terdapat pengaruh peradaban bagi sekolah ini. Sayang, penetrasi peradabannya hanya sekedar mencakup peralatan dan pengetahuan, tetapi moral tidak. Dari sekian banyak geng-geng persahabatan yang terjalin, hanya ada satu yang paling menarik perhatian, sebuah geng yang beranggotan tiga orang tukang perundu terbaik di sekolah tersebut. Mereka sama-sama berbagi satu visi yang jelas, yaitu memperoleh kebahagiaan dengan cara terbaik yang ada. 

Caranya bermacam-macam, bisa dengan memalak siswa-siswa yang lebih lemah, berdebat dengan guru-guru bermental lembek, bertengkar dan berkelahi seperti gladiator, ataupun serangan-serangan verbal yang tidak akan terlupakan seumur hidup. "Apa yang bisa kita lakukan untuk menyenangkan hari kita kali ini?" Pertanyaan pembuka yang tidak asing bagi tiga sekawan aneh ini, mereka selalu memikirkan aksinya di kantin sekolah. Suatu hal yang klise bukan? Segala hal dipikirkan, atau dibincangkan di kantin entah dimanapun lokasinya. 

Tiga sekawan ini selalu di duduk di lokasi partikulir, di sudut paling kanan kantin. Tempat itu paling dekat dengan pembatas sekolah, atau sebut saja kawat berduri setinggi satu meter untuk mencegah para hewan buas keluar. Tiga sekawan ini juga hanya memesan makanan dan minuman khusus, pemilik kantin seperti memberi sesajen kepada mereka. Tiga sekawan hanya memakan telur setengah matang yang diberi sedikit larutan cuka dan hanya minum dengan kopi setengah gelas. "Bagaimana kalau kita memalak guru baru yang berlagak pintar itu? Padahal aku lihat dia tidak begitu pintar." 

"Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu, Konstig?" "Aku tidak menyalahkan kebodohanmu, Kakak Kedua, akan tetapi kita telah berjanji untuk menyembunyikan nama kita selama kita berada di tempat ini. Jadi, untuk seterusnya panggil aku dengan sebutan 'Kakak Pertama', mengerti bukan?" Siswa yang bergelar Kakak Kedua itu hanya tertawa kecil, tidak terlalu memikirkan formalitas yang dijunjung tinggi oleh Kakak Pertama, nama samaran bagi seseorang bernama Konstig. "Aku memahaminya. 

Sekarang, jawablah pertanyaanku sebelumnya." Kakak Pertama hanya menghela nafas, "Aku hanya memandang orang-orang pintar sebagai pribadi yang kaku dan suka memakai kacamata tebal. Sementara guru baru itu tidak satupun di antaranya. Sudah jelas dia itu hanya seorang sok pintar yang kurang rasa penghormatan. Menyedihkan sekali." 

Ketiga orang itu tertawa. Masing-masing dari mereka memiliki suara tertawa nyaring yang kurang sedap didengar. Bukan karena alunan tertawa mereka yang jelek, ataupun suara mereka yang jelek, ataupun karena reputasi mereka yang jelek, memang seperti kodratnya bahwa mereka bertiga membawa kesan buruk yang tidak bisa dibantah oleh orang-orang. "Wah, kau benar sekali. Mengapa kita tidak sekalian mengganggu calon korban potensial yang lain?" ujar Kakak Kedua. 

Suasana sempat hening untuk beberapa saat. Siswa-siswa hanya menikmati cemilan, atau makan siang, atau sekedar minuman yang terhidang di hadapan mereka masing-masing. Waktu jam istirahat semakin berkurang. Apa-apa yang dirasa perlu dibicarakan, sebaiknya segera diselesaikan untuk menghindari masalah lebih lanjut. Tiga sekawan  juga bukan pengecualian. 

Meskipun memiliki reputasi buruk, mereka tetap menghindari masalah dengan pihak otoritas sekolah. Bagaimanapun, mereka tetap harus menyelesaikan tempat yang mereka anggap sebagai "kurungan" demi mengembangkan lebih lanjut "potensi" mereka, setidaknya melalui jalan yang lebih murah dan mudah. "Aku ada ide lain, mengapa kita tidak mengerjai adik dari bocah bernama Brass itu? Dia terkenal lemah dan culun bukan?" Ide yang diutarakan oleh Kakak Kedua itu mendapat respon yang positif. 

Dua kawanan yang lain mengangguk setuju. Tapi permasalahan tentu belum selesai sampai di sini. Mereka harus menentukan ide siapa yang harus didahulukan. "Hahaha, mengapa tidak sekalian kita kerjakan keduanya. Kita beri pelajaran kepada guru sok pintar itu, kemudian kita hajar adik Brass itu. Bagaimana?" Ujar Kakak Pertama.

 "Aku setuju sekali. Atau kalau tidak kita akan menghajar adik si Brass terlebih dahulu, baru kemudian kita beri pelajaran kepada guru sok pintar itu." "Hahaha, kau tidak sepatutnya membolak-balikkan ideku yang cemerlang. Ayo Kakak Kedua, Kakak Ketiga, kita akan melakukannya. Siapa yang terlebih dahulu tersentuh oleh kita? Kita lihat nanti, dimana keadaan yang lebih memungkinkan."

 *** 

"Hahaha, kau pasti mengingat hal-hal yang telah kau lalui di masa SMP dulu, Is Nyurbat lemah. Memang seharusnya kau pergi tercampakkan dari peradaban kami. Untung sekali, kau memiliki seorang kakak yang begitu pandai dan cakap. Andai Brass tidak ada, mungkin nasib benar-benar menempatkanmu ke dasar terbawah. 

Hahaha, keberuntungan memang tidak mengenal tempat." Perkataan Konstig memang menjengkelkan. Tidak ada yang berubah dari orang itu, walaupun memang dia sudah dikutuk oleh setiap orang yang ia temui. Hidupnya hanya sekedar menunggu waktunya habis. Tidak ada lagi keuntungan ataupun kemalangan yang bisa menghampirinya. Andai ada ungkapan "mayat hidup", tentu dia dapat merepresentasikannya. 

Sayang, Konstig terlalu kejam hanya sekedar digelari mayat hidup. Tidak ada mayat yang masih berpikir untuk melakukan tindakan kejam. "Kau keparat!! Pantasan saja tidak ada seorangpun yang ingin berteman denganmu. Ah iya, bagaimana dengan dua keparat lain yang sering bersama denganmu ketika masih SMP dulu? Mereka sudah..." Belum sempat Brass menyelesaikan pembicaraannya, Konstig menyela dengan nada yang meninggi, "Bangsat!!! Jangan diungkit-ungkit lagi masalah itu." 

Perjalanan pagi mereka, sepertinya tidak berjalan begitu baik. Konversasi yang ada terlalu tensius, tidak ada rona-rona kebahagiaan. Padahal, siswa-siswi lain yang berjalan beriringan tertawa-ketiwi dengan senyuman manis di wajah mereka. Sementara tiga orang ini hanya berjalan cemberut. Siswa-siswi lain sempat memerhatikan mereka, berpikir bahwa telah terjadi suatu pertengkaran di hari pertama sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun