Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenalan Lama

20 Juni 2019   07:00 Diperbarui: 20 Juni 2019   07:07 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 *** 

Langit biru, dengan beberapa awan putih halus yang menggantung di ruangnya. Keadaan yang selama ini menjadi tontonan wajib para siswa-siswa kurang kerjaan, ketika jadwal pelajaran telah habis, namun penjaga sekolah bersikeras bahwa gerbang belum boleh dibuka. Hal ini dianggap wajar, bahkan hampir di seluruh wilayah. Tidak ada perbedaan. Para siswa memang sudah seharusnya ditahan seperti itu, kalau tidak mereka akan bertindak seperti hewan liar. Bukan karena masalah sentimental, akan tetapi sekolah menengah pertama ini memang berbeda dari yang lain. Terdapat banyak anomali, salah satunya tingkah-laku para siswa yang berada di luar batas beradab. 

Memang aneh, lokasi sekolah ini tidak terlalu jauh dari batas kota. Ya, setidaknya masih terdapat pengaruh peradaban bagi sekolah ini. Sayang, penetrasi peradabannya hanya sekedar mencakup peralatan dan pengetahuan, tetapi moral tidak. Dari sekian banyak geng-geng persahabatan yang terjalin, hanya ada satu yang paling menarik perhatian, sebuah geng yang beranggotan tiga orang tukang perundu terbaik di sekolah tersebut. Mereka sama-sama berbagi satu visi yang jelas, yaitu memperoleh kebahagiaan dengan cara terbaik yang ada. 

Caranya bermacam-macam, bisa dengan memalak siswa-siswa yang lebih lemah, berdebat dengan guru-guru bermental lembek, bertengkar dan berkelahi seperti gladiator, ataupun serangan-serangan verbal yang tidak akan terlupakan seumur hidup. "Apa yang bisa kita lakukan untuk menyenangkan hari kita kali ini?" Pertanyaan pembuka yang tidak asing bagi tiga sekawan aneh ini, mereka selalu memikirkan aksinya di kantin sekolah. Suatu hal yang klise bukan? Segala hal dipikirkan, atau dibincangkan di kantin entah dimanapun lokasinya. 

Tiga sekawan ini selalu di duduk di lokasi partikulir, di sudut paling kanan kantin. Tempat itu paling dekat dengan pembatas sekolah, atau sebut saja kawat berduri setinggi satu meter untuk mencegah para hewan buas keluar. Tiga sekawan ini juga hanya memesan makanan dan minuman khusus, pemilik kantin seperti memberi sesajen kepada mereka. Tiga sekawan hanya memakan telur setengah matang yang diberi sedikit larutan cuka dan hanya minum dengan kopi setengah gelas. "Bagaimana kalau kita memalak guru baru yang berlagak pintar itu? Padahal aku lihat dia tidak begitu pintar." 

"Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu, Konstig?" "Aku tidak menyalahkan kebodohanmu, Kakak Kedua, akan tetapi kita telah berjanji untuk menyembunyikan nama kita selama kita berada di tempat ini. Jadi, untuk seterusnya panggil aku dengan sebutan 'Kakak Pertama', mengerti bukan?" Siswa yang bergelar Kakak Kedua itu hanya tertawa kecil, tidak terlalu memikirkan formalitas yang dijunjung tinggi oleh Kakak Pertama, nama samaran bagi seseorang bernama Konstig. "Aku memahaminya. 

Sekarang, jawablah pertanyaanku sebelumnya." Kakak Pertama hanya menghela nafas, "Aku hanya memandang orang-orang pintar sebagai pribadi yang kaku dan suka memakai kacamata tebal. Sementara guru baru itu tidak satupun di antaranya. Sudah jelas dia itu hanya seorang sok pintar yang kurang rasa penghormatan. Menyedihkan sekali." 

Ketiga orang itu tertawa. Masing-masing dari mereka memiliki suara tertawa nyaring yang kurang sedap didengar. Bukan karena alunan tertawa mereka yang jelek, ataupun suara mereka yang jelek, ataupun karena reputasi mereka yang jelek, memang seperti kodratnya bahwa mereka bertiga membawa kesan buruk yang tidak bisa dibantah oleh orang-orang. "Wah, kau benar sekali. Mengapa kita tidak sekalian mengganggu calon korban potensial yang lain?" ujar Kakak Kedua. 

Suasana sempat hening untuk beberapa saat. Siswa-siswa hanya menikmati cemilan, atau makan siang, atau sekedar minuman yang terhidang di hadapan mereka masing-masing. Waktu jam istirahat semakin berkurang. Apa-apa yang dirasa perlu dibicarakan, sebaiknya segera diselesaikan untuk menghindari masalah lebih lanjut. Tiga sekawan  juga bukan pengecualian. 

Meskipun memiliki reputasi buruk, mereka tetap menghindari masalah dengan pihak otoritas sekolah. Bagaimanapun, mereka tetap harus menyelesaikan tempat yang mereka anggap sebagai "kurungan" demi mengembangkan lebih lanjut "potensi" mereka, setidaknya melalui jalan yang lebih murah dan mudah. "Aku ada ide lain, mengapa kita tidak mengerjai adik dari bocah bernama Brass itu? Dia terkenal lemah dan culun bukan?" Ide yang diutarakan oleh Kakak Kedua itu mendapat respon yang positif. 

Dua kawanan yang lain mengangguk setuju. Tapi permasalahan tentu belum selesai sampai di sini. Mereka harus menentukan ide siapa yang harus didahulukan. "Hahaha, mengapa tidak sekalian kita kerjakan keduanya. Kita beri pelajaran kepada guru sok pintar itu, kemudian kita hajar adik Brass itu. Bagaimana?" Ujar Kakak Pertama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun