Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perbedaan

1 Januari 2019   07:05 Diperbarui: 1 Januari 2019   08:11 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Udara terasa panas, tidak seperti biasanya. Menyengat, seluruh kulit ariku terasa terkelupas. Begitu pula para hewan yang bersemayam di luar rumah ini, semuanya mondok tanpa meninggalkan jejak. Apa benar pemanasan global itu ada? Kota ini memang seyogyanya panas. Namun jarang sekali panas yang terasa seperti siang hari ini. 

Rasa haus 'tak kunjung terobati. Sudah satu galon habis dikonsumsi orang-orang rumah, biasanya satu galon untuk tiga hari. Untung benar para penjual air mineral saat ini. Lebih parah lagi ketika lampu mati, terasa berada di permukaan terluar dari neraka. Keringat mengucur deras, hanya sedikit sepoi-sepoi yang tidak berimba yang datang mendinginkan suasana.

"Mengapa bermenung begitu? Siap-siap dong!!"
Lanaya tertegun. Siap-siap apanya? Memang mau pergi kemana siang hari yang menjelaga ini? Tidak pernah sedikitpun ada niatan dari dalam hatinya untuk pergi mejeng. Apalagi buat perjalanan jauh. Tidak mungkin!!!

"Siap-siap bagaimana Kak Ayu? Kita tidak akan pergi ke luar 'kan? Hari panas dan begitu lembab. Bagaimana mungkin mau mejeng di suasana seperti ini. Mau menghitamkan kulit? Toh, kulit kita berdua memang sudah coklat dari sananya. Tidak relevan." Lanaya berusaha membela diri, semampuku. Gadis baru tamat SMA itu tahu, palingan akan berhamburan semua argumen penanding yang tidak bakal bisa dia tangkis.

"Jangan berbicara begitu. Memang kita tidak akan pergi kemana-mana. Hanya saja kamu perlu tahu, sebentar lagi anak dari Mpok Yuli bakal datang. Kamu masih ingat budak itu bukan?" Petunjuk yang diberikan Kak Ayu membuatku berpikir keras. Siapa anak dari Mpok Ayu? Memang sesekali Lanaya pernah bertemu dengan wanita berusia kepala tiga yang tubuhnya melorot itu. Tapi, tidak ada catatan sedikitpun di dalam ingatanku bahwa aku pernah bertemu dengan bocahnya.

"Ah! Aku jadi ingat, kamu belum pernah bertemu ya? Sayang sekali, pokoknya kamu harus bertemu dengan anak Mpok Ayu. Seorang bocah, agak rewel dan menyebalkan sih, bagaimanapun tetap menyenangkan berada di sampingnya. Nyatanya dia seorang bocah yang begitu heboh dan hebat di dalam mencairkan suasana yang biasanya kaku. Sudahlah, nanti kamu juga bakal tahu sendiri. Sudah ya, Kakak mau pergi ke luar sebentar. Jaga rumah baik-baik. Andaikata Mpok Ayu datang sebelum kakak pulang, ya kamu terima saja dulu. Suruh tunggu sampai Kakak pulang. Tidak lama kok, asal emak-emak gendut itu berkenan bersabar menunggu."

Hanya anggukan kepala sebagai rasa budi untuk memberikan respon. Lanaya tidak tertarik, sama sekali, sama seorang bocah yang tidak aku kenal. Kesendirian selama lima belas tahun membuat diriku terbiasa sendiri. Kak Ayu juga baru bergumul dengannya selama setahun belakangan, pasca menamatkan pendidikannya di salah satu Perguruan Tinggi biasa di negeri seberang. 

Meski kakak Lanaya itu sibuk bekerja, dia tetap konsisten menjaga kemampuan intelektualitasku dengan rajin membaca dan menulis. Beberapa kali namanya sempat mengirimkan hasil tulisannya kepada beberapa redaktur koran lokal. 

Alhamdulillah, beberapa jebol dan dimuat. Alangkah senangnya ketika namaku terpampang jelas di salah satu pojok koran. Memang bayarannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaji bulanan tetap Kakak Ayu. Yang penting di sini adalah rasa kebebasan yang harus tersalurkan melalui kegiatan menarik ini.

Apalagi berhadapan dengan anak-anak, atau toddler, rasanya Lanaya ingin segera mengibarkan bendera putih. Makluk kecil menjijikkan yang selalu melakukan hal yang aneh dan suka menyulut sumbu emosi. Sudah, dia tidak sanggup lagi menjaga perasaan ini ketika harus berhadapan dengan makhluk itu. Lagipula, ketidakhardiran sosok lain di dalam hidup gadis itu di dalam waktu yang cukup lama sangat berpengaruh. Bagaimana bisa Lanaya menangani seorang bocah rewel dan usil? Mestikah Lanaya marah dan berteriak-teriak kepadanya? Kalau dia berlarian kemudian terjatuh gimana? Kalau dia menangis terisak-isak bagaimana? Menyebalkan!! Belum datang saja sudah bikin sakit kepala.
***

Rasa suntuk datang berjibaku denganku. Mengapa harus aku yang mengurusi anak orang? Seorang bocah? Apa aku bisa? Selama ini aku sendiri, berusaha bertahan di tengah rasa dingin yang beda. Ayah-Ibu sibuk bekerja, sibuk melompat dari satu kota ke kota lain. Kalau beruntung, mereka sesekali datang menjengukku. Sebuah kata yang aneh, seakan-akan aku sudah mati. Yang rajin datang hanyalah uang kiriman mereka, itu pun langsung ditransfer melalui rekening bank. Intinya, semuanya terasa tidak nyata dan main-main.

Berkali-kali aku harus menahan rasa jengkel ketika teman-teman di sekolah berkelakar tentang adik mereka. Rasa iri? Sebagai seorang insan biasa, sudah pasti aku memiliki rasa itu. Begitu membakar, dunia tiba-tiba menjadi gelap dan hampa. Di tengah keramaian, tiba-tiba aku merasa sendiri. Terkadang terbayang juga olehku ragam kehangatan mereka bersama adik-adik mereka yang comel. Rasa seronok datang membanjiri raga-raga yang dipersatukan ikatan abadi persaudaraan. Sedangkan aku? Sudahlah.

"Halo Din? Sedang online 'kan?"

Cepat-cepat aku mengirim sepotong pesan pendek kepada temanku itu. Untung zaman sudah maju, tidak perlu lagi repot-repot memikirkan pulsa. Semuanya seperti tagihan bulanan, cukup beli pulsa di awal bulan, amanlah hingga akhir bulan. Namun, terkadang ke-kampret-an kehidupan datang menjegal. Terkadang para penikmat maya lupa bahwa ada batasan. 

Jadinya mereka kehabisan daya sebelum sempat akhir bulan datang. Terpaksa, ya, dengan terpaksa mereka membayar tagihan lebih awal. Itulah sebabnya ritual pengisian pulsa tidak pernah serenta di awal bulan. Kalau dipikir-pikir, hal ini banyak untungnya juga. Berarti tidak perlu repot-repot antre Cuma untuk membayar pulsa lima puluh ribu.

Tenet!! Suara pesan masuk.

"Kenapa? Iya, aku sedang ol. Lalu, ada masalah apa?"
Tanpa berbasa basi, dengan lantang aku membalas pesan itu, "Kehidupan terasa jadi hambar. Din, nanti bakal ada bocah yang numpang hiudp sama gua. Gimana ni? Aku tidak pernah mengurus makhluk menjijikkan itu. Bagaimana?"
***
Dasar Lanaya!! Katanya ingin memiliki adik, tetapi menerima keberadaan "adik" tidak bisa. Bagaimana sih? Sudah jelas bahwa dia belum siap secara mental. Kacau benar itu anak!!
"Sudahlah, jalani aja semua ini dengan penuh rasa suka-cita. Ingat! Anggap saja bocah yang bakal numpang hidup denganmu itu sebagai ajang latihan. Tidak mungkin kamu bisa mengurus adikmu kelak, kalau muju ada, andai kamu tidak becus mengurus anak orang. Sudahlah, memang sudah nasibku mengurus anak orang itu. Anggap saja adik sendiri."

Padahal aku ingat betul, dua bulan yang lalu, Lanaya datang ke rumah dengan mata sembab dan ingus yang meleler. Untung dia datang dengan motornya, help yang disangkutkan ke kepalanya itu bertindak seperti hijab yang membatasi pandangan orang. Memalukan sekali pokoknya, menyaksikan seorang Lanaya yang terkenal cerdas dan ulung berpidato berpenampilan seperti itu.

"Santai ngomong!!! Pembelaanmu tidak relevan!! Adik yang lahir dari kandungan ibu berbeda dari bocah dari kandungan emak orang. Sedari awal aku tidak memiliki ikatan batin dengan tu bocah. Bagaimana bisa aku memperlihatkan sisi baik kepadanya? Bermain sandiwara? Tidak akan!! Lebih baik terang-terangan aku bilang, 'Gue benci Loe' daripada berpura-pura baik tetapi begitu ingin memasukkannya ke dalam sumur kalau ada kesempatan."

Tuhan!! Kenapa lagi dengan ini bocah??

"Lanaya yang terhormat!! Ini bukan masalah ikatan batin atau sebagainya. Ini masalah kesiapan diri LOE di dalam menerima keberadaan makhluk kecil bernama anak-anak. Sudahlah, lagian dirimu pernah menjadi anak-anak dulu 'kan? Jangan-jangan di masa itu kamu pernah mengalami tindakan kurang mengenakkan!?"

Entah setan apa yang membisikiku. Mengapa juga aku harus mengetik tulisan laknat seperti itu? Pasti Lanaya akan marah. Tidak perlu juga aku menyalahkan diri sendiri andaikata dia mencak-mencak kemudian memblokku.

"Dasar Dina!! Tulisan kok gak jelas? Ah, daripada kamu mencak-mencak gak jelas melalui WA, lebih baik berikan aku beberapa wejangan sebelum aku berhadapan dengan bocah itu." Pemaksa betul anak gadis satu ini. Entah mengapa, betul-betul sudah mendarah daging rasa benci yang dia miliki terhadap anak-anak. Apa yang salah dengan anak gadis satu ini?

"Tunggu bentar!! Kalau benar kamu menginginkan wejangan, beri aku waktu." Itu bukanlah apa-apa. Hanya salah satu upaya untuk menghindarkan diriku dari perkara pelik tanpa muara. Sudahlah, jangan pernah menganggu aku lagi karena masalah pribadimu, Lanaya!!!
"Kalau memang benar harus menunggu, sampai kapan aku harus menunggu wejangan itu? Sudah berkali-kali aku tertipu olehmu. Kamu bilang tunggu dulu, nyatanya kamu berusaha lari dari semua upayaku meminta pertolongan kepadamu. Sekarang, aku ingin sesuatu yang pasti. Berikan aku kepastian, kapan pastinya kamu akan memberikan wejangan  yang aku harapkan???"
Benar-benar ngegas manusia satu ini. Begitu kesal aku karenanya. Kapan lagi aku bisa melarikan diri dari gadis ini? Apa perkenalanku dengan gadis itu patut ditandai sebagai sebuah takdur buruk yang patut disesalkan? Namun aku bukanlah tipikal manusia seperti itu. Mana ada yang namanya takdir buruk!! Hanya kita saja yang tidak cekatan di dalam menafsirkan suatu masalah yang ada. Ah, dasar Lanaya!!!
"Sudahlah Lanaya!!! Kalau memang kamu mepet kali, beri aku waktu sekitaran sepuluh menit untuk memikirkan semua wejangan itu. Jangan menghubungiku dalam sepuluh menit. Kalau bersikeras, aku bersumpah tidak akan pernah membalas WA-mu lagi sebelum permintaan maaf langsung berhadap-hadapan. Aku juga tidak berkenan ada balasan setelah ini. Cukup tunggu aku sepuluh menit. Keterlambatan berilah waktu dua menit. Andai dalam jangkauan waktu itu aku tidak memberikan balasan, baru kamu boleh mendesakku sesukamu."
Hanya itu, hanya itu yang bisa aku perbuat. Aku tidak main-main lagi sekarang. Sudah penat betul rasanya ikut-ikutan menanggung beban orang lain. Apalagi sampai terseret ke arus kehidupan Lanaya yang pelik; indah di luar berkarat di dalam. Sudahlah, aku benar-benar ingin angkat kaki dari bandar rasa Lanaya. Sudahlah, aku memang akan mencarikan beberapa wejangan kepada bocah itu. Tapi, ini adalah yang terakhir. Sudah cukup!!!
Jarum pendek dan jarum panjang bergerak berbeda. Yang pendek lebih cepat, sedangkan yang panjang terkesan Cuma bisa mengekor dari belakang. Ini sebuah ketidakberuntungan. Hanya saja ketidakberuntungan itu menjadi bagian dari harmoni pergerakan jarum arloji itu. Aku tidak bsia menempatkan sesuatu di atas layar kaku ini. Masih bersih layar itu; belum ada kata-kata apapun. Betul-betul buntu dipikiranku kali ini. Apa yang harus aku pertanggungjawabkan kepada Lanaya?
Dering gawaiku tiba-tiba berbunyi. Tidak ada yang istimewa, kecuali kecurigaanku terhadap waktu yang sedang berjalan. Ini belum sampai sepuluh menit. Apa sedemikian gobloknya gadis menyedihkan itu? Pantas saja tidak ada seorang pun berkenan menjadi teman curhat baginya. Entah mengapa, sewaktu kami masih pertama kenal, sikapnya begitu lembut dan sabaran. Hampir aku tepis semua saran dan anjuran untuk menjauhi anak orang sibuk itu. Awalnya  aku berpikir bahwa semua itu tidak lebih dari pikiran miring banyak orang. Sudahlah, sekarang aku tidak lagi memikirkan apa-apa. Hanya rasa kecewa dan penyesalan. Tunggu dulu!! Setidaknya biarkan mata ini melihat secara langsung, siapa yang mengirimkan pesan itu. Aku mohon!!!
Terlihat sudah, sebuah profil yang memang tidak seberapa besarnya. Hanya itu, sebuah gambar yang dirangka bulat sempurna. Seorang gadis songak memandang dengan penuh percaya diri ke arah kamera. Dirinya merasa sempurna, setidaknya dengan semua hal yang dia miliki selama ini. Tidak ada sedikitpun rasa rendah hati yang terpancar dari gelagak bocah itu. Sudahlah, memang benar itu adalah Lanaya. Lebih-lebih latar langit biru yang entah ada dimana. Pasti dia sedang  berdiri tegak di pinggiran sebuah tebing. Untung dia tidak terperosok jatuh. Ah, lebih bagus lagi kalau dia tamat waktu itu. Mengapa aku begitu jahat, ya?
"Sudahlah, Lanaya. Aku tahu, tidak mudah bagi seorang dekil sepertimu untuk berubah. Tapi, tidak seharusnya juga aku dipaksa-paksa seperti ini. Baiklah, tetap aku akan memberikan satu wejangan kepadamu. Cukup itu saja."
ANJING!!!
***
Lanaya hanya bisa terpaku. Tidak percaya dia dengan tulisan yang terpampang ketat di layar kaku itu. Semburan sinar yang tidak diketahui betul namanya itu memantul berkali-kali di antara celah-celah tersempit kulit Lanaya yang berminyak dan coklat itu. Jumlah mereka bukan hanya satu, tapi triliunan. Semua itu tidak tersadari oleh Lanaya yang pintar. Sayang sekali, seluruh otaknya telah dikuasai oleh perasaan yang selalu berusaha dia tendang jauh-jauh. Ada apa dengan Lanaya?
Air mata berderai dari pelupuknya. Berkali-kali sudah tembenan pipi itu terbasahi oleh aliran tunggal air yang membulat. Itu seperti air laut yang asin. Terkadang setelah terjadi pengeringan, yang ada hanyalah bekas garam yang begitu molekular. Nada-nada isak tidak pernah membumbung ke udara sekuat ini. Makhluk mikroskopik yang hidup di genangan minyak itu merasa terganggu. Ingin sekali mereka protes. Sayang sekali, mereka sama saja protes sama Gaia  tempat penghidupan mereka.
Jam yang terdapat di dinding bercat biru di sebelah selatan itu, bagaimana pun juga, telah merasa begitu jenuh menyaksikan drama yang menguras air mata ini. Jam itu tidak punya selang air mata, juga tidak ada organ organik tempat mereka mengumpulkan cahaya untuk dilihat. Tidak ada lagi kesamaan antara makhluk organik dengan makhluk plastik. Untung mereka memiliki hati, entah siapa yang memberi mereka berkah merasa itu.
Hati Lanaya murung, tidak lagi bersemangat. Dengan pasrah dia mengikuti kata hatinya, pasrah saja sama takdir; walau aku harus menderita. Terbuai oleh kesendirian, ternyata hal itu tidak begitu bagus juga. Hari ini---tanggal ke 274---akan menjadi hari yang berat baginya. Bukan karena tugas, bukan karena ujian, ataupun bukan karena ada kesalahpahaman yang dahsyat dengan kedua orangtuanya. Hanya sebuah perkara sepele. Sayang, pikiran manusia itu relatif. Bagi Lanaya, hal sepele ini terlihat sebesar gunung Merapi. Arus waktupun akan terasa sepanjang aliran Sungai Kapuas nantinya. Kedalaman penderitaan yang akan dihadapi sedalam Sungai Siak. Tidak pula, dinamika yang akan terjadi sama lekukannya dengan relief Bukit Barisan yang terlihat dari salah satu sisi dari Lipat Kain.
Detik terus berlalu. Tidak ada lagi jalan untuk kembali. Mesin waktu? Itu sebuah mitos. Sudahlah, memang tidak ada lagi jalan untuk kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun