Berkali-kali aku harus menahan rasa jengkel ketika teman-teman di sekolah berkelakar tentang adik mereka. Rasa iri? Sebagai seorang insan biasa, sudah pasti aku memiliki rasa itu. Begitu membakar, dunia tiba-tiba menjadi gelap dan hampa. Di tengah keramaian, tiba-tiba aku merasa sendiri. Terkadang terbayang juga olehku ragam kehangatan mereka bersama adik-adik mereka yang comel. Rasa seronok datang membanjiri raga-raga yang dipersatukan ikatan abadi persaudaraan. Sedangkan aku? Sudahlah.
"Halo Din? Sedang online 'kan?"
Cepat-cepat aku mengirim sepotong pesan pendek kepada temanku itu. Untung zaman sudah maju, tidak perlu lagi repot-repot memikirkan pulsa. Semuanya seperti tagihan bulanan, cukup beli pulsa di awal bulan, amanlah hingga akhir bulan. Namun, terkadang ke-kampret-an kehidupan datang menjegal. Terkadang para penikmat maya lupa bahwa ada batasan.Â
Jadinya mereka kehabisan daya sebelum sempat akhir bulan datang. Terpaksa, ya, dengan terpaksa mereka membayar tagihan lebih awal. Itulah sebabnya ritual pengisian pulsa tidak pernah serenta di awal bulan. Kalau dipikir-pikir, hal ini banyak untungnya juga. Berarti tidak perlu repot-repot antre Cuma untuk membayar pulsa lima puluh ribu.
Tenet!! Suara pesan masuk.
"Kenapa? Iya, aku sedang ol. Lalu, ada masalah apa?"
Tanpa berbasa basi, dengan lantang aku membalas pesan itu, "Kehidupan terasa jadi hambar. Din, nanti bakal ada bocah yang numpang hiudp sama gua. Gimana ni? Aku tidak pernah mengurus makhluk menjijikkan itu. Bagaimana?"
***
Dasar Lanaya!! Katanya ingin memiliki adik, tetapi menerima keberadaan "adik" tidak bisa. Bagaimana sih? Sudah jelas bahwa dia belum siap secara mental. Kacau benar itu anak!!
"Sudahlah, jalani aja semua ini dengan penuh rasa suka-cita. Ingat! Anggap saja bocah yang bakal numpang hidup denganmu itu sebagai ajang latihan. Tidak mungkin kamu bisa mengurus adikmu kelak, kalau muju ada, andai kamu tidak becus mengurus anak orang. Sudahlah, memang sudah nasibku mengurus anak orang itu. Anggap saja adik sendiri."
Padahal aku ingat betul, dua bulan yang lalu, Lanaya datang ke rumah dengan mata sembab dan ingus yang meleler. Untung dia datang dengan motornya, help yang disangkutkan ke kepalanya itu bertindak seperti hijab yang membatasi pandangan orang. Memalukan sekali pokoknya, menyaksikan seorang Lanaya yang terkenal cerdas dan ulung berpidato berpenampilan seperti itu.
"Santai ngomong!!! Pembelaanmu tidak relevan!! Adik yang lahir dari kandungan ibu berbeda dari bocah dari kandungan emak orang. Sedari awal aku tidak memiliki ikatan batin dengan tu bocah. Bagaimana bisa aku memperlihatkan sisi baik kepadanya? Bermain sandiwara? Tidak akan!! Lebih baik terang-terangan aku bilang, 'Gue benci Loe' daripada berpura-pura baik tetapi begitu ingin memasukkannya ke dalam sumur kalau ada kesempatan."
Tuhan!! Kenapa lagi dengan ini bocah??
"Lanaya yang terhormat!! Ini bukan masalah ikatan batin atau sebagainya. Ini masalah kesiapan diri LOE di dalam menerima keberadaan makhluk kecil bernama anak-anak. Sudahlah, lagian dirimu pernah menjadi anak-anak dulu 'kan? Jangan-jangan di masa itu kamu pernah mengalami tindakan kurang mengenakkan!?"
Entah setan apa yang membisikiku. Mengapa juga aku harus mengetik tulisan laknat seperti itu? Pasti Lanaya akan marah. Tidak perlu juga aku menyalahkan diri sendiri andaikata dia mencak-mencak kemudian memblokku.