Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perbedaan

1 Januari 2019   07:05 Diperbarui: 1 Januari 2019   08:11 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dasar Dina!! Tulisan kok gak jelas? Ah, daripada kamu mencak-mencak gak jelas melalui WA, lebih baik berikan aku beberapa wejangan sebelum aku berhadapan dengan bocah itu." Pemaksa betul anak gadis satu ini. Entah mengapa, betul-betul sudah mendarah daging rasa benci yang dia miliki terhadap anak-anak. Apa yang salah dengan anak gadis satu ini?

"Tunggu bentar!! Kalau benar kamu menginginkan wejangan, beri aku waktu." Itu bukanlah apa-apa. Hanya salah satu upaya untuk menghindarkan diriku dari perkara pelik tanpa muara. Sudahlah, jangan pernah menganggu aku lagi karena masalah pribadimu, Lanaya!!!
"Kalau memang benar harus menunggu, sampai kapan aku harus menunggu wejangan itu? Sudah berkali-kali aku tertipu olehmu. Kamu bilang tunggu dulu, nyatanya kamu berusaha lari dari semua upayaku meminta pertolongan kepadamu. Sekarang, aku ingin sesuatu yang pasti. Berikan aku kepastian, kapan pastinya kamu akan memberikan wejangan  yang aku harapkan???"
Benar-benar ngegas manusia satu ini. Begitu kesal aku karenanya. Kapan lagi aku bisa melarikan diri dari gadis ini? Apa perkenalanku dengan gadis itu patut ditandai sebagai sebuah takdur buruk yang patut disesalkan? Namun aku bukanlah tipikal manusia seperti itu. Mana ada yang namanya takdir buruk!! Hanya kita saja yang tidak cekatan di dalam menafsirkan suatu masalah yang ada. Ah, dasar Lanaya!!!
"Sudahlah Lanaya!!! Kalau memang kamu mepet kali, beri aku waktu sekitaran sepuluh menit untuk memikirkan semua wejangan itu. Jangan menghubungiku dalam sepuluh menit. Kalau bersikeras, aku bersumpah tidak akan pernah membalas WA-mu lagi sebelum permintaan maaf langsung berhadap-hadapan. Aku juga tidak berkenan ada balasan setelah ini. Cukup tunggu aku sepuluh menit. Keterlambatan berilah waktu dua menit. Andai dalam jangkauan waktu itu aku tidak memberikan balasan, baru kamu boleh mendesakku sesukamu."
Hanya itu, hanya itu yang bisa aku perbuat. Aku tidak main-main lagi sekarang. Sudah penat betul rasanya ikut-ikutan menanggung beban orang lain. Apalagi sampai terseret ke arus kehidupan Lanaya yang pelik; indah di luar berkarat di dalam. Sudahlah, aku benar-benar ingin angkat kaki dari bandar rasa Lanaya. Sudahlah, aku memang akan mencarikan beberapa wejangan kepada bocah itu. Tapi, ini adalah yang terakhir. Sudah cukup!!!
Jarum pendek dan jarum panjang bergerak berbeda. Yang pendek lebih cepat, sedangkan yang panjang terkesan Cuma bisa mengekor dari belakang. Ini sebuah ketidakberuntungan. Hanya saja ketidakberuntungan itu menjadi bagian dari harmoni pergerakan jarum arloji itu. Aku tidak bsia menempatkan sesuatu di atas layar kaku ini. Masih bersih layar itu; belum ada kata-kata apapun. Betul-betul buntu dipikiranku kali ini. Apa yang harus aku pertanggungjawabkan kepada Lanaya?
Dering gawaiku tiba-tiba berbunyi. Tidak ada yang istimewa, kecuali kecurigaanku terhadap waktu yang sedang berjalan. Ini belum sampai sepuluh menit. Apa sedemikian gobloknya gadis menyedihkan itu? Pantas saja tidak ada seorang pun berkenan menjadi teman curhat baginya. Entah mengapa, sewaktu kami masih pertama kenal, sikapnya begitu lembut dan sabaran. Hampir aku tepis semua saran dan anjuran untuk menjauhi anak orang sibuk itu. Awalnya  aku berpikir bahwa semua itu tidak lebih dari pikiran miring banyak orang. Sudahlah, sekarang aku tidak lagi memikirkan apa-apa. Hanya rasa kecewa dan penyesalan. Tunggu dulu!! Setidaknya biarkan mata ini melihat secara langsung, siapa yang mengirimkan pesan itu. Aku mohon!!!
Terlihat sudah, sebuah profil yang memang tidak seberapa besarnya. Hanya itu, sebuah gambar yang dirangka bulat sempurna. Seorang gadis songak memandang dengan penuh percaya diri ke arah kamera. Dirinya merasa sempurna, setidaknya dengan semua hal yang dia miliki selama ini. Tidak ada sedikitpun rasa rendah hati yang terpancar dari gelagak bocah itu. Sudahlah, memang benar itu adalah Lanaya. Lebih-lebih latar langit biru yang entah ada dimana. Pasti dia sedang  berdiri tegak di pinggiran sebuah tebing. Untung dia tidak terperosok jatuh. Ah, lebih bagus lagi kalau dia tamat waktu itu. Mengapa aku begitu jahat, ya?
"Sudahlah, Lanaya. Aku tahu, tidak mudah bagi seorang dekil sepertimu untuk berubah. Tapi, tidak seharusnya juga aku dipaksa-paksa seperti ini. Baiklah, tetap aku akan memberikan satu wejangan kepadamu. Cukup itu saja."
ANJING!!!
***
Lanaya hanya bisa terpaku. Tidak percaya dia dengan tulisan yang terpampang ketat di layar kaku itu. Semburan sinar yang tidak diketahui betul namanya itu memantul berkali-kali di antara celah-celah tersempit kulit Lanaya yang berminyak dan coklat itu. Jumlah mereka bukan hanya satu, tapi triliunan. Semua itu tidak tersadari oleh Lanaya yang pintar. Sayang sekali, seluruh otaknya telah dikuasai oleh perasaan yang selalu berusaha dia tendang jauh-jauh. Ada apa dengan Lanaya?
Air mata berderai dari pelupuknya. Berkali-kali sudah tembenan pipi itu terbasahi oleh aliran tunggal air yang membulat. Itu seperti air laut yang asin. Terkadang setelah terjadi pengeringan, yang ada hanyalah bekas garam yang begitu molekular. Nada-nada isak tidak pernah membumbung ke udara sekuat ini. Makhluk mikroskopik yang hidup di genangan minyak itu merasa terganggu. Ingin sekali mereka protes. Sayang sekali, mereka sama saja protes sama Gaia  tempat penghidupan mereka.
Jam yang terdapat di dinding bercat biru di sebelah selatan itu, bagaimana pun juga, telah merasa begitu jenuh menyaksikan drama yang menguras air mata ini. Jam itu tidak punya selang air mata, juga tidak ada organ organik tempat mereka mengumpulkan cahaya untuk dilihat. Tidak ada lagi kesamaan antara makhluk organik dengan makhluk plastik. Untung mereka memiliki hati, entah siapa yang memberi mereka berkah merasa itu.
Hati Lanaya murung, tidak lagi bersemangat. Dengan pasrah dia mengikuti kata hatinya, pasrah saja sama takdir; walau aku harus menderita. Terbuai oleh kesendirian, ternyata hal itu tidak begitu bagus juga. Hari ini---tanggal ke 274---akan menjadi hari yang berat baginya. Bukan karena tugas, bukan karena ujian, ataupun bukan karena ada kesalahpahaman yang dahsyat dengan kedua orangtuanya. Hanya sebuah perkara sepele. Sayang, pikiran manusia itu relatif. Bagi Lanaya, hal sepele ini terlihat sebesar gunung Merapi. Arus waktupun akan terasa sepanjang aliran Sungai Kapuas nantinya. Kedalaman penderitaan yang akan dihadapi sedalam Sungai Siak. Tidak pula, dinamika yang akan terjadi sama lekukannya dengan relief Bukit Barisan yang terlihat dari salah satu sisi dari Lipat Kain.
Detik terus berlalu. Tidak ada lagi jalan untuk kembali. Mesin waktu? Itu sebuah mitos. Sudahlah, memang tidak ada lagi jalan untuk kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun