Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Inner Sanctum 1: Epilog

15 November 2018   05:00 Diperbarui: 15 November 2018   05:39 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di daratan yang terhampar luas ini, terdapat banyak rahasia yang tidak dapat dipahami oleh logika dan pemikiran manusia biasa. Banyak yang mengatakan, bahwa kehidupan di bumi ini bukan sekedar alam yang dimonopoli oleh manusia saja. 

Banyak yang mengatakan, bahwa masih banyak terdapat makhluk-makhluk lain yang lebih berakal dan lebih beradab daripada manusia. Akan tetapi, memahami hal yang demikian terasa begitu rumit bagi mereka yang tidak terbiasa berpikir. Apalagi, jika seumur hidup mereka hanya dihabiskan untuk mencangkul atau menjaga hewan ternak yang memang sudah jinak.

            -------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Keadaan di desa ini terlihat begitu damai, atau memang begitu terlihat. Masyarakat menghabiskan hidup mereka dengan mengolah tanah dan menaburi banyak benih tanaman, berharap agar dalam beberapa bulan ke depan benih-benih itu berubah menjadi tanaman berbuah yang siap panen. Atau, mungkin kita perlu mengalihkan pandangan ke daerah padang rumput hijau, yang mana, terhampar begitu luas dan begitu hijau. Para pengembala menghabiskan 50 persen kehidupannya dengan tidur, atau mengawasi sesuatu yang tidak perlu diawasi, dasar.

            "Lihat!!! Setelah sekian lama berjalan, kita sampai juga di desa kecil ini. Siapa yang menyangka, desa kecil nan terpencil ini begitu populer akhir-akhir ini," ucap seorang pengembara.

            "Yah, aku pikir hal itu cukup aneh. Tapi, kita datang bukan untuk berdebat. Kita datang hanya untuk mendapatkan sedikit rasa dari sop tomat yang begitu masyur itu," ucap pengembara yang lain.

            "Aku juga ingin mengatakan hal yang sama."

            Keduanya kemudian hening, kemudian melanjutnya perjalanannya.

            -------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Di suatu sudut kota, terlihat sebuah restoran sederhana yang cukup termasyur itu. Bukan sekedar ungkapan belaka, dari luar, terlihat barisan orang yang mengantri hanya untuk mencoba semangkuk sop tomat yang begitu menggoda. Apa ada sop tomat? Entah lah. Karena hal itu juga banyak para penjelajah atau orang kaya dari negeri lain yang berduyun-duyun datang ke kedai kecil ini untuk membuktikan kebenarannya. Dan juga, terlihat dari ekspresi mereka yang telah menikmati sop tomat lezat itu, mereka terlihat begitu bahagia dan tersenyum lebar. Wah, sudah pasti semakin banyak yang ingin datang ke tempat ini.

            "Arka!!! Berapa kali harus aku katakan kepadamu? Jangan menumpuk-numpuk mangkok yang kotor!!! Segera kau basuh dan segera kau kembalikan ke dapur!!! Semuanya sangat kacau di sini. Jangan membuat keadaan menjadi semakin kacau," teriak Nenek Nyon yang kira-kira sudah berusia kepala 7.

            Arka, seorang pemuda yang tidak begitu terkenal di daerah ini, hanyalah seseorang yang ingin lepas dari kungkungan kedai kecil yang tidak membawa perubahan apa-apa bagi keluarga kecilnya ini. Bagaimana tidak, meski laris manis sop tomat mereka, tetapi mereka tetap harus membayar pajak yang tinggi ke kerajaan. Bahkan Neneknya tidak mempermasalahkan hal itu. Bisa dikatakan, keluarga kecil ini hanya menikmati sepersepuluh dari total penghasilan mereka, itupun akan dipotong lagi menjadi modal. Jadi, penghasilan bersih mereka benar-benar tidak memadai.

            "Iya, aku menurut..." ucap Arka dengan nada yang begitu risih. Dia tidak terlihat menikmati pekerjaan ini. Penuh dengan tekanan, kotor dan kucuran keringat. Belum lagi sindiran dari anak-anak desa yang membuat hatinya terasa semakin hancur rasanya. "Nenek!!! Mangkok-mangkok ini telah ku cuci..."

            Kedai terletak di sebuah sudut di pinggiran desa. Bisa dikatakan, sebenarnya tempat ini begitu terpencil di tengah-tengah desa yang terpencil. Adalah hal yang mengejutkan jika para orang kaya yang terbiasa dengan jalan yang pantas dan tertata rapi, sekarang mereka harus melintasi batas desa yang begitu penuh lumpur dan genangan air. Ataupun para penjelajah, mengapa mereka harus mencari suatu tempat yang jauh padahal mereka telah menjelajah dari daerah yang jauh? Penginapan pun juga cukup jauh dari kedai ini, apa yang sedang terjadi?

            "Nenek, dimana semangkuk yang aku pesan?? Apa masih lama??"

            "Mohon maaf, tapi, apakah semangkuk sop tomat harus membuatku menunggu selama ini??"

            "Hey!!! Woi!!! Apa masih lama???"

            Ya, kira-kira begitulah respon dari para pelanggan yang telah kehilangan kesabaran untuk mencicipi sesuatu yang begitu terkenal itu.

            "Arka!!! Percepat langkahmu!!! Bagaimana mungkin dirimu bisa lolos menjadi seorang tentara, jika menyelesaikan pekerjaan domestik saja kamu susah??" sindir Nenek Nyon.

            Kemarahan Arka telah memuncak sebenarnya. Tapi, ya, tentu dia harus pandai-pandai menahan emosi agar semuanya tidak (tambah) kacau balau. Terlebih, Arka sendiri pun memiliki tekad untuk tidak membuat Nenek Nyon yang telah mengurusnya selama ini kecewa, apalagi sampai meneteskan air mata.

            ------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Jauh dari kehidupan desa TarukoPedang yang begitu tradisional, terdapat sebuah kota yang berjarak 120 km dari desa kecil itu. Seharusnya, kehidupan masyarakat di kota jauh lebih bahagia daripada sekedar para petani atau peternak di desa. Akan tetapi, sterotype terkadang tidak bisa dijadikan acuan untuk semua kasus.

            Kota kecil itu, tidak ada namanya, telah berdiri semenjak 100 tahun yang lalu. Dari berbagai perkamen kuno, diketahui bahwa tempat itu tidak lebih dari sebuah pos terluar suatu kerajaan pada masa lalu. Karena terjadi perpindahan kekuasaan dan untuk memperkuat penjagaan perbatasan, pos terluar itu diperbaharui menjadi sebuah kota dengan sebuah kastil sebagai pusat administrasinya.

            Namun sayang, pengendalian atas kota tersebut telah beralih tangan ke suatu kerajaan yang lebih besar dan kuat, bahkan lebih kelam.

            "Buka gerbangnya!!!" teriak seorang prajurit yang tengah berjaga.

            Gerbang besar, yang kira-kira memiliki dimensi 200 meter kuadrat, terbuka dengan tenaga beberapa budak yang khusus bertugas untuk membuka gerbang, lengkap dengan seorang pamong dengan cambuknya yang begitu menakutkan. Para penduduk kota, yang awalnya bercengkrama dengan senangnya, sekarang lari ketakutan menuju rumah mereka masing-masing. Bahkan ada yang sampai kencing celana dan tidak bisa bergerak.

            Apa yang mereka takutkan? Tidak salah lagi. Para pasukan berkuda itu dalangnya!!!

            "Tuan Farez telah kembali!!!  Tuan Farez telah kembali!!!" teriak para penjaga.

            "Memalukan!!! Hanya sekumpulan kecil pasukan berkuda saja sudah begitu heboh," komentar seseorang dari balik kastil. Dia terlihat begitu perkasa dengan jubah merah maroon. "Itu hal yang wajar, Tuanku. Pasukan berkuda itu telah menyebarkan banyak teror atas namamu juga," jelas seorang penjaga yang lain. " 'Teror' ya? Aku rasa terma itu sedikit berlebihan."

            -----------------------------------------------------------------------------------------------------

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun