Artikel ini mungkin akan menjadi pembuka petualangan saya di Kompasiana. Meski sudah sejak lama saya mengenal laman Beyond Blogging ini, tetapi sekarang adalah waktu yang tepat menurut saya untuk memulai berkarya atas ide dan gagasan sendiri. Meski berstatus sebagai penulis pemula, diri ini tentu berharap bisa menjadi salah satu jajaran penulis berkualitas negeri dewasa nanti. Tentu, kerja keras dan ketekunan memainkan peran yang sangat vital agar cita-cita luhur tersebut dapat terwujud.
Tulisan ini akan menyinggung banyak tentang diri penulis muda ini. Segalanya, mulai kebiasaan, masa kecil, pemikiran anehnya, dan kisah romansanya. Harap dimaklumi, yang menulis tulisan tak seberapa ini juga seorang manusia biasa. Toh, ujung-ujungnya tetap akan bertemu Sang Rabb, Insya Allah.
Saya lahir di Ranah Minang. Bukannya bersifat chauvisme, tapi daerah yang gabungan antara kontur pegunungan dengan dataran rendah ini memang menjadi sarang kelahiran beberapa pemikir dan tokoh penting lainnya. Daerah lainnya juga sangat banyak, tulisan ini lebih banyak mengulik latar belakang lingkungan saya saja. Meski berdarah Minang tulen, tapi nama saya adalah nama orang Jawa, atau, itulah pengakuan dari ibu saya.Â
Nama saya Arya Bayu Anggara. Bagi saya pribadi, nama ini terasa istimewa dan memiliki nilai magis tersendiri. Memang Daku bukan orang Jawa, tetapi rasa penasaran ini membawa Daku berusaha mencari tahu makna yang terselip dari nama yang cukup panjang ini. Setelah bertanya berkali-kali kepada Mbah Google, didapati bahwa nama itu memiliki arti, "Angin di atas lautan". Cukup sakral menurut pandangan pribadi. Melambangkan fleksibilitas, ketenangan, kekuatan, dan kemakmuran. Tentu, kalau ingin semuanya terwujud, semua kembali kepada kerja keras saya sendiri. Insya Allah.
Berdarah Pariaman bersuku Sikumbang, diri ini justru lama berkembang jauh dari kampung halaman. Mengikuti kedua orang tua yang memang hobi merantau, beberapa kali saya pernah dibawanya ke tempat-tempat yang jauh: Kota Batam, Pinang Balirik, Sungai Pua, Pekanbaru, Sungai Pua, Pekanbaru. Jadi, kalau ditanya masalah pengalaman merantau, saya boleh berbangga diri sedikit. Meskipun belum bisa sepenuhnya mandiri selama perjalanan panjang tersebut.
Tapi, dari keseluruhan tempat tersebut, saya paling lam tinggal di Sungai Pua. Daerah yang berada di kaki Gunung Marapi yang hijau dan asri. Di sana dingin, sangat dingin malahan. Udaranya masih bersih dan terasa begitu segar. Sinar mentari tetap membakar, tetapi langsung terobati dengan udara sejuk yang dibawa angin sepoi-sepoi yang menurut lereng gunung. Bukan hanya Gunung Marapi saja, Gunung Singgalang juga ikut menghiasi panorama negeri itu. Gabungan kedua aura gunung ini, tempat ini menjadi tenang dan makmur. Meski tetap perselisihan kecil antar warga kerapkali terjadi.
Masa TK dan SD terasa cukup berat. Bukan karena tidak bisa mengikuti beban materi sekolah. Alhamdulillah, Rabb memberi saya anugerah kecerdasan yang cukup untuk selamat di dunia sekolah. Masalahnya, saya merasa mental saya belum cukup kuat untuk meninggalkan orang tua di rumah. Entah karena itu faktor alamiah, atau karena alam yang berkehendak demikian, yang jelas selama beberapa kali saya merasa begitu berat berpisah dengan orang tua. Terutama selama masa awal TK dan SD. Diceritakan, setiap hari saya bisa menangis; bahkan saya sendiripun tidak mengetahui mengapa saya menangis?? Ah, sudahlah. Itu semua sudah berlalu.
Semenjak SD, saya memang sudah memiliki bakat menjadi seorang pembaca garis keras. Maksud saya disini, kesukaan saya yang berlebihan terhadap buku, sedikit banyaknya, merupakan hasil agregasi dari kebiasaan membaca sayaa ketika masih kecil. Meski waktu itu saya cuma membawa kisah Nabi-nabi, kisah legenda Indonesia, beberapa kisah dongeng dan kisah-kisah hantu.Â
Buku akademik yang pertama kali saya baca dan saya dalami secara serius adalah Buku Sejarah. Lucunya, buku itu sebenarnya milik dari kakak kelas saya. Setiap jam Ishoma Zuhur, saya selalu menyempatkan diri membaca buku tersebut, ,tentu setelah mendapat restu dari yang punya. Tak heran, perilaku saya ini menarik perhatian beberapa siswa lain. Kebanyakan meledek, karena budaya membaca memang agak rendah waktu itu. Kebanyakan menyindir saya yang membaca buku yang seharusnya ditujukan untuk siswa kelas yang lebih tinggi. Tapi, gue mah cuek waktu itu. Bodat lah!!!
Namun, setidaknya ada tiga hal yang membuat saya terasa begitu lemah dan menjadi korban bullying di sekolah: matematika, seni, dan olahraga. Di masa-masa awal sekolah, semua keterampilan terasa begitu sulit bagi saya. Bahkan untuk membaca pun tak pandai (amat). Tetapi, semenjak diajari secara khusus oleh Ibunda, kemampuan membaca saya meningkat (imbasnya seperti yang saya jelaskan sebelumnya).Â
Namun, kemampuan mengira saya sangat jelek waktu itu. Meski menghitung gambar saya jago sekali, ketika menyentuh dunia angka, saya terkesan begitu lugu waktu itu. Guru saya saja sampai frustasi. Begitu juga seni, seakan-akan pikiran saya ini tidak mengenal estetika sedikitpun. Tapi saya masih suka mendengar musik dan terkadang memahami perbedaan nada di sebuah lagu. Untuk olahraga? Jangan Ditanya deh. Saya betul-betul seorang babu waktu itu.
Tapi waktu masih berpihak kepada saya. Perjuangan keras membantu saya menjadi cukup unggul di bidang matematika di tahun-tahun berikutnya (meski saya seringkali ceroboh di dalam pengerjaan penyelesaian sebuah masalah). Tapi, untuk masalah seni dan olahraga, kayaknya itu menjadi eternal weakness bagi saya.
Tamat SD, dengan nilai akhir 8.3, seharusnya saya memiliki peluang untuk lolos ke salah satu SMP favorit yang ada di kota Bukittinggi. Saya pribadi pun memang memiliki niat melanjutkan pendidikan ke kota Bukittinggi. Sebenarnya, hal ini terjadi karena ada paham populis yang mengatakan bahwa sekolah di kota lebih bagus daripada yang ada di desa. Secara objektif, hal itu memang benar.Â
Toh, selain fasilitas yang jauh lebih lengkap, sekolah-sekolah beken di kota tentu lebih dahulu didirikan. Namun, Tante saya menyarankan agar saya tetap melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1 Sungai Pua saja. Menurutnya, toh, mau sekolah di manapun yang dipelajari tetap 1+1=2. Setelah mempertimbangkan ulang, akhirnya saya menyetujuinya saran beliau.Â
Masa-masa awal SMP "hanya" diisi dengan masa pubertas. Diri yang sebelumnya polos, perlahan-lahan mulai menampakan taringnya. Perubahan diri sendiri pun juga terasa begitu kentara. Dada memang terasa agak mengkotak, istilah kerennya "Membidangi", suara yang sebelumnya kaya suara tikus terjepit sekarang sudah mulai berat, dan ketiak pun sudah mulai berbau asam juga. Hehehe. Dan yang paling bahagia itu, ketika menyadari bahwa saya mulai merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis.
Masa awal "percintaan" saya hanya diisi dengan upaya kirim-kirim SMS. Wajarlah, masa itu penggunaan WhatsApp atau Line belum seperti sekarang. Kartu Im3 menjadi primadona dengan paket SMS murahnya. Seingat saya, dengan modal pulsa 1000 rupiah, saya bisa mengirim SMS berkali-kali ke Doi dengan bebas.Â
Orang yang pertama kali saya sukai adalah seorang kakak kelas. Orangnya cukup tinggi dan sawo matang kulitnya. Berawal dari mata, indahnya senyuman, dari koridor Puskesmas itu, kita akhirnya saling berkenalan.Â
Diriku yang memulai kontak SMS dengannya, rasanya deg-degan dan sedikit takut, tetapi begitu indah terasa semuanya berjalan lancar. Ketika mendapat notifikasi SMS masuk, hati ini begitu berdebar-debar. Selama 14 hari, perjalanan hidup terasa begitu indah dan penuh warna. Meski berakhir di tengah jalan- saya belum sempat nembak Doi- tetap saja memori itu tidak akan terlupakan.Â
Masa SMP juga yang memperkenalkan sayaa kepada salah satu unsur dari pemikiran yang bersifat primordial: rasial. Kita sama-sama mengetahui, Indonesia beriklim tropis ini, dan juga faktor sosial historisnya, menjadikan pendidikannya begitu beragam dan plural. Keturunan berbagai bangsa ada di sini, begitulah pemikiran saya. Ada yang mirip orang Arab; ada yang mirip orang India; ada yang keturunan etnis Tionghoa,; dan berbagai etnis lainya. Toh, gak ada yang salah. Semuanya baik-baik aja toh.
Masalahnya, isu-isu body ashaming menjadi senjata utama ketika melontarkan candaan. Niat awalnya ingin buat orang lain ngakak, tapi yang ngakak ternyata merasa marah dan tersinggung di dalam. Warna kulit kebanyakan orang Indonesia, sawo matang, menjadi salah satu materi body ashaming demi suara ngakak orang lain. Saya juga bukan munafik, kulit sawo matang , atau sering disebut "hitam", juga pernah saya jadikan amunisi ketika terjadi perang jokes dengan teman-teman yang lain. Toh, setelah masa berlalu dan pemikiran menjadi semakin terbuka, rasanya lucu aja atas body ashaming kampret macam itu. Intinya, "Sawo Matang kok teriak sawo matang?", atau "Coklat kok teriak coklat?", atau "Hitam kok teriak hitam?" Entahlah. Rasanya lucu dan gak guna aja.
Dan masih berkaitan dengan masalah warna kulit, iklan pemutih membawa dampak yang lumayan ngeri juga, terlebih uang dialami oleh teman sebaya saya waktu itu. Dia penggila K-POP, yang ditontonnya setiap hari artis-artis yang kulitnya putih kaya porselen. Salah, tidak, itu wajar. Selain keberadaan K-POP yang begitu bombastis, gempuran iklan pemutih kulit juga gak kalah bombastis.Â
Salah, gak juga. Namanya juga perusahaan-perusahaan itu mencari nafkah, strategi marketing tentu perlu. Karena yang dibikin putih itu kulit orang, tentu yang menjadi target orang-orang yang kulitnya gelap. Kampanye bleaching tentu mestinya berjalan kaya gitu.
Teman saya ini, seperti saya, kulitnya  coklat nan eksotis. Menurut saya, dengan tubuh mungilnya itu, teman saya yang ternyata seorang pria itu terlihat menarik dan charming. Sayangnya, akibat terlalu memikirkan kalimat-kalimat persuasif iklan pemutih dan efek kerajinan nonton artis K-Pop porselen, pikirannya hanya agar kulitnya jadi putih. Setiap curhat, pasti yang dibahas masalah kulit. Perbandingan warna kulit kami, prahara artis putih yang jadi gelap, dan yang sederajat sama itu. Tapi, ya ,namanya juga remaja awal yang begitu ingin tahu. Meski kisah masa lalunya demikian, kami berdua tetap coklat sampai sekarang.
Tamat dari SMP, setelah berjuang membaca buku LKS dan khatam ratusan kali, akhirnya nilai akhir memuaskan. Alhamdulillah. Selanjutnya pikiran untuk melanjutkan ke level selanjutnya, SMA.Â
Kali ini, keluarga memutuskan hijrah ke Kota Madani Pekanbaru. Selain sebagai Kota Dagang yang begitu hiruk-pikuk, tempat ini memang sudah menjadi koloninya manusia Pariaman (Setidaknya di beberapa tempat tertentu). Kepengurusan Surat Pindah Rayon dan Surat Pindah Domisili dikebut 2 hari. Hari Kamis, kami berangkat ke tempat baru. Meninggalkan Sungai Pua dengan semua kenangan.
Menjadi seorang siswa SMA, pikiran saya tentu mulai tertuju kepada pilihan-pilihan pasca masa sekolah: kuliah, kerja, atau nikah. Terlalu dini memang, baru masuk langsung mikirin hal yang demikian. Terbengkalai juga akhirnya untuk sementara waktu. Tapi, toh, secara diam-diam saya tetap merancang hal itu.
Di sini, masa romansa kembali melanda. Meski skala kepedihannya jauh lebih gila. Bayangkan, orang yang kamu suka keduluan ditembak orang lain. Ditikung memang gak enak. Terlebih, Doi sekelas sama saya.Â
Artinya, dua tahun yang berat. Tapi, ketika saya pikirkan matang-matang, ternyata rasa bahagia karena ulah gokil sahabat mmpu menutupi itu semua. Masalah memang harus dihadapi, bukan dihindari. Saya pun merasa bahwa dengan batalnya saya menembak Doi, diri saya seperti dilindungi oleh Rabb dari berbagai potensi dosa jikalau saya jadi pacaran.
Sekarang, saya berstatus sebagai mahasiswa aktif Jurusan Hubungan Internasional Universitas Riau. Saat ini, saya sedang berjuang keras mendalami ilmu politik, perspektif internasional, dan materi-materi lainnya yang berhubungan dengan jurusan saya. Saya berharap, saya bisa menyumbangkan beberapa pemikiran berkaitan dengan politik lokal, Nasional, maupun global.Â
Tentu saya membutuhkan saran dan kritik dari pembaca Kompasiana sekalian. Saya menyukai saran. Karena melalui saran , saya bisa membuat pertimbangan lebih baik. Saya berusaha menerima dan menyukai kritikan. Karena melalui kritikan, baik tajam atau lembut, saya bisa memperbaiki lebih baik sekaligus melatih mental saya yang masih cupu ini.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI