Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Langkah Pertama

5 Oktober 2018   22:15 Diperbarui: 5 Oktober 2018   22:44 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi waktu masih berpihak kepada saya. Perjuangan keras membantu saya menjadi cukup unggul di bidang matematika di tahun-tahun berikutnya (meski saya seringkali ceroboh di dalam pengerjaan penyelesaian sebuah masalah). Tapi, untuk masalah seni dan olahraga, kayaknya itu menjadi eternal weakness bagi saya.

Tamat SD, dengan nilai akhir 8.3, seharusnya saya memiliki peluang untuk lolos ke salah satu SMP favorit yang ada di kota Bukittinggi. Saya pribadi pun memang memiliki niat melanjutkan pendidikan ke kota Bukittinggi. Sebenarnya, hal ini terjadi karena ada paham populis yang mengatakan bahwa sekolah di kota lebih bagus daripada yang ada di desa. Secara objektif, hal itu memang benar. 

Toh, selain fasilitas yang jauh lebih lengkap, sekolah-sekolah beken di kota tentu lebih dahulu didirikan. Namun, Tante saya menyarankan agar saya tetap melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1 Sungai Pua saja. Menurutnya, toh, mau sekolah di manapun yang dipelajari tetap 1+1=2. Setelah mempertimbangkan ulang, akhirnya saya menyetujuinya saran beliau. 

Masa-masa awal SMP "hanya" diisi dengan masa pubertas. Diri yang sebelumnya polos, perlahan-lahan mulai menampakan taringnya. Perubahan diri sendiri pun juga terasa begitu kentara. Dada memang terasa agak mengkotak, istilah kerennya "Membidangi", suara yang sebelumnya kaya suara tikus terjepit sekarang sudah mulai berat, dan ketiak pun sudah mulai berbau asam juga. Hehehe. Dan yang paling bahagia itu, ketika menyadari bahwa saya mulai merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis.

Masa awal "percintaan" saya hanya diisi dengan upaya kirim-kirim SMS. Wajarlah, masa itu penggunaan WhatsApp atau Line belum seperti sekarang. Kartu Im3 menjadi primadona dengan paket SMS murahnya. Seingat saya, dengan modal pulsa 1000 rupiah, saya bisa mengirim SMS berkali-kali ke Doi dengan bebas. 

Orang yang pertama kali saya sukai adalah seorang kakak kelas. Orangnya cukup tinggi dan sawo matang kulitnya. Berawal dari mata, indahnya senyuman, dari koridor Puskesmas itu, kita akhirnya saling berkenalan. 

Diriku yang memulai kontak SMS dengannya, rasanya deg-degan dan sedikit takut, tetapi begitu indah terasa semuanya berjalan lancar. Ketika mendapat notifikasi SMS masuk, hati ini begitu berdebar-debar. Selama 14 hari, perjalanan hidup terasa begitu indah dan penuh warna. Meski berakhir di tengah jalan- saya belum sempat nembak Doi- tetap saja memori itu tidak akan terlupakan. 

Masa SMP juga yang memperkenalkan sayaa kepada salah satu unsur dari pemikiran yang bersifat primordial: rasial. Kita sama-sama mengetahui, Indonesia beriklim tropis ini, dan juga faktor sosial historisnya, menjadikan pendidikannya begitu beragam dan plural. Keturunan berbagai bangsa ada di sini, begitulah pemikiran saya. Ada yang mirip orang Arab; ada yang mirip orang India; ada yang keturunan etnis Tionghoa,; dan berbagai etnis lainya. Toh, gak ada yang salah. Semuanya baik-baik aja toh.

Masalahnya, isu-isu body ashaming menjadi senjata utama ketika melontarkan candaan. Niat awalnya ingin buat orang lain ngakak, tapi yang ngakak ternyata merasa marah dan tersinggung di dalam. Warna kulit kebanyakan orang Indonesia, sawo matang, menjadi salah satu materi body ashaming demi suara ngakak orang lain. Saya juga bukan munafik, kulit sawo matang , atau sering disebut "hitam", juga pernah saya jadikan amunisi ketika terjadi perang jokes dengan teman-teman yang lain. Toh, setelah masa berlalu dan pemikiran menjadi semakin terbuka, rasanya lucu aja atas body ashaming kampret macam itu. Intinya, "Sawo Matang kok teriak sawo matang?", atau "Coklat kok teriak coklat?", atau "Hitam kok teriak hitam?" Entahlah. Rasanya lucu dan gak guna aja.

Dan masih berkaitan dengan masalah warna kulit, iklan pemutih membawa dampak yang lumayan ngeri juga, terlebih uang dialami oleh teman sebaya saya waktu itu. Dia penggila K-POP, yang ditontonnya setiap hari artis-artis yang kulitnya putih kaya porselen. Salah, tidak, itu wajar. Selain keberadaan K-POP yang begitu bombastis, gempuran iklan pemutih kulit juga gak kalah bombastis. 

Salah, gak juga. Namanya juga perusahaan-perusahaan itu mencari nafkah, strategi marketing tentu perlu. Karena yang dibikin putih itu kulit orang, tentu yang menjadi target orang-orang yang kulitnya gelap. Kampanye bleaching tentu mestinya berjalan kaya gitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun