Namun dengan adanya MQK Nasional yang diselenggarakan kemarin, Abdul Moqsit Ghazali selaku dewan hakim di MQK mengatakan, ada sebuah optimisme dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam ke depannya.
Pasalnya, masih banyak anak-anak santri yang mempelajari Islam melalui kitab kuning, di mana untuk bisa mempelajarinya diperlukan waktu dan proses yang tidak sebentar.
"Dengan adanya santri yang paham dengan kitab kuning, bangsa Indonesia akan tetap menjadi negara damai dan toleran," terangnya.
Ya, dengan menguasai kitab kuning, seseorang dituntut untuk menguasai dua kecakapan. Pertama, mengetahui pengetahuan pada zaman awal, yang kedua, mampu mengkontekstualisasikan ajaran agama ke zaman sekarang dengan baik.
Memahami jihad misalnya, bukan berarti difahami sebagai bentuk perintah untuk perang melawan orang kafir, melakukan aksi teror, bom bunuh diri dan sebagainya.
Memahami agama Islam tidak cukup hanya merujuk kepada Alquran dan hadis, namun kita harus memahami bagaimaan teks Alquran maupun Hadis dipercakapkan dengan konteks yang terjadi. Alquran dan Hadis menggunakan bahasa Arab, tidak cukup memahami hanya dengan terjemahan saja. Pasalnya, kedua sumber utama agama Islam ini mempunyai keunikan tersendiri, diperlukan kajian mendalam untuk memahaminya. Tidak asal comot saja untuk menggunakannya sebagai dalil.
Dalam Alquran ada ayat-ayat yang dimaknai secara global, tapi ada juga yang perlu dimaknai secara khusus. Ada juga lafadnya yang bermakna hakiki dan juga lafadz yang dimaknai secara majazi. Itulah mengapa proses belajar di pesantren sangat diperlukan bagi yang belajar agama dengan serius.
Dengan memahami hal tesebut, tidak akan mungkin ada tafsir tunggal, pasti akan ada perbedaan pendapat. Dengan menunggalkan sebuah tafsir Alquran menunjukkan ketidaktahuan makna. Misalnya, sudah jelas di dalam Alqur'an kita diperintah untuk menutup aurat, namun di mana batas menutup aurat, ulama berbeda pendapat.
Itulah mengapa orang yang serius dalam belajar agama akan nampak bijak dalam menjawab problem masyrakat. Bahkan tak segan untuk mengakui ketidaktahuannya dalam menjawab sebuah pertanyaan.
Sebagaimana sekelas Imam Malik saja hanya mau menjawab 36 pertanyaan dari 42 pertanyaan yang disodorkan kepadanya. Karena dalam setiap jawaban yang dilontarkan akan dimintai pertanggung jawaban, seberapa maslahah kah jawaban itu, atau malah memberikan madharat bagi si penanya.