Mohon tunggu...
Arif Wibowo
Arif Wibowo Mohon Tunggu... Copywriter -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

MQK Nasional, Optimisme Masa Depan Bangsa

8 Desember 2017   11:10 Diperbarui: 8 Desember 2017   14:04 1617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dokpri
dokpri
Dalam kesempatan mengunjungi MQK Nasional ini, para kompasioner juga mendapatkan kesempatan untuk berbincang  dengan Bapak Muhtadin, Humas Dirjen Pendidikan Islam Republik Indonseia. Beliau mengatakan, diadakannya MQK Nasional kali ini menjadi momentum mengenalkan kepada seluruh kalangan bahwa, belajar Islam itu idealnya harus melalui kitab kuning, bukan asal belajar dari internet yang tidak jelas guru dan sanadnya.  

Dengan belajar Islam melalui proses membaca kitab, kita akan memahami Islam secara mendalam dan tidak mudah terjerumus ke dalam Islam konservatif, radikal dan gampang menyalahkan orang lain. Pasalnya, dalam mempelajari kitab kuning kita dituntut mempelajari bahasa arab, gramtikal arab dan perbedaan-perbedaan makna, hingga sastra yang terkandung di dalamnya.

"Dalam bahasa arab, satu lafadz saja bisa memiliki puluhan makna," tegasnya.

Jadi, jika kita sudah menguasai kitab kuning, memahami maknanya dengan baik kita tidak akan mudah menghukumi orang lain dengan sembrono, selain itu terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah agama menjadi hal yang biasa, sehingga tidak mengklaim dirinya paling benar.  

Dari sini penulis tergelitik untuk menanyakan kepada dirjen pendidikan Islam. Kenapa kebanyakan ustadz-ustadz yang tampil di televisi itu adalah ustadz yang mohon maaf, ustadz medioker yang belum tentu mampu membaca kitab kuning, bukan ustadz dari kalangan pesantren yang sudah paham betul masalah agama.

Setelah mengambil nafas panjang beliau menjawab, sebetulnya kami dari pihak dirjen pendidikan Islam sudah mencoba mempresentasikan ide-ide kami kepada pemilik TV Nasional. Dan mereka nampak, setuju dengan apa yang kami sampaikan. Tapi semuanya itu diserahkan kepada tim marketing, di mana ketika sudah sampai tim marketing, diskusi kami seakan mentok dan menemui jalan buntu.

Dari situ penuls jadi teringat dengan seorang ustadz yang juga menjadi dosen di salah satu universitas Islam. Saat itu ustadz bercerita pernah ditawari untuk mengudara di salah satu radio nasional, namun bukannya diberi bisyarah, justru diminta untuk membayar karena ini adalah bentuk dari sebuah promosi.

Ustadz tersebut pun menolaknya dengan halus, karena baginya ketenaran bukanlah sebuah target, tapi hanya lompatan saja. "Jadi, jika ingin tenar lakukanlah dengan cara-cara yang elegan dan tidak menciderai hati nurani," tegas ustad kala itu.

Lebih lanjut, sang ustadz mengatakan, ini adalah sebuah kontestasi politik media, maka erat kaitannnya dengan pemilik modal. Targetnya adalah perang diskursus tidak murni soal normatifitas dakwah.

"Solusinya adalah, penyediaan modal untuk merebut pasar, bisa dalam bentuk support SDM atau membuat media. Namun jika belum mampu, kuatkan SDM masyarkat, sehingga mampu menangkal dan melawan arus kontestasi pemodal," tutupnya.

Secercah Harapan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun