Mohon tunggu...
Arwanda KhoirunisakMaulidina
Arwanda KhoirunisakMaulidina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

saya tipe kepribadian INFJ, hobi saya mendengarkan musik, EXO-L

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Persepsi Mengenai Ibu Pengganti dalam Hukum Islam

13 November 2024   13:30 Diperbarui: 13 November 2024   13:33 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Praktik ibu pengganti dalam Islam juga perlu dipertimbangkan dari sudut pandang etika dan moral. Islam sangat mendahulukan kebersihan ikatan pernikahan dan menjaga prinsip-prinsip keluarga yang benar. Kala seorang wanita mengandung anak bagi pasangan lain, timbul pertanyaan seputar status hukum pernikahan dan hubungan di antara pria serta wanita yang terlibat dalam proses tersebut. 

Di samping itu, penggunaan ibu pengganti juga dapat menimbulkan isu etika tentang eksploitasi tubuh wanita. Dalam keadaan tertentu, terkadang seorang ibu pengganti bisa dipilih atau diberi imbalan atas dasar pertimbangan ekonomi, yang kemudian dapat menimbulkan ketidakadilan sosial. Islam menekankan pentingnya keadilan serta menentang eksploitasi atau penyalahgunaan hak individu, terutama hak perempuan.

5. Alternatif dan solusi dalam hukum Islam.

Walaupun dalam pandangan banyak ulama praktik menjadi ibu pengganti tidak disarankan, namun Islam masih menyediakan solusi lain bagi pasangan yang ingin memiliki anak. Salah satu pilihannya ialah adopsi atau mengasuh anak dengan kasih sayang sebagai anak yang sah (kafalah). 

Dalam hukum Islam, anak yang diadopsi diberikan hak-hak khusus, namun warisan dari orang tua angkat tidak diperoleh kecuali ada penentuan sah dalam hukum, seperti wasiat atau hibah. Disamping itu, pasangan yang menghadapi kesulitan kesuburan dapat memikirkan untuk memanfaatkan teknologi medis yang tidak melibatkan pihak lain, seperti in vitro fertilization (IVF) dengan menggunakan sel telur dan sperma yang sah dari pasangan suami istri mereka.

Beberapa fatwa dari lembaga keagamaan di dunia Islam, seperti Al-Azhar di Mesir, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan lainnya, menegaskan bahwa konsep ibu pengganti tidak sesuai dengan nilai-nilai keturunan yang diakui dalam Islam. MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa praktik surrogacy dianggap haram, terutama jika melibatkan pihak ketiga atau penggabungan antara sel telur dan sperma dari individu yang bukan pasangan suami istri sah.

Untuk umat Islam yang sedang mempertimbangkan opsi ini, disarankan untuk berdiskusi dengan ulama atau pakar fiqh guna memahami konsekuensi hukum, etika, dan sosial terkait penggunaan ibu pengganti menurut ajaran Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun