Kemajuan dalam teknologi medis dan bidang reproduksi memperbolehkan pasangan yang kesulitan memiliki anak untuk memilih dari berbagai alternatif, termasuk salah satunya yaitu ibu pengganti (surrogacy). Ibu pengganti merupakan seorang wanita yang menjalani kehamilan dan persalinan untuk membantu pasangan yang tidak dapat memiliki anak dengan cara alami.Â
Namun, tindakan tersebut menimbulkan banyak pro dan kontra, terutama dalam konteks hukum Islam yang sangat mempedulikan aspek moral, sosial, dan keagamaan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam artikel ini, akan membahas tentang bagaimana persepsi ibu pengganti dalam hukum Islam, berfokus pada prinsip dasar ajaran Islam terkait keluarga, nasab, dan hak-hak yang melekat pada ibu pengganti serta anak yang dilahirkan.
1. Pandangan Islam tentang Keluarga dan Nasab.Â
Islam memberikan perhatian yang luar biasa terhadap struktur keluarga serta garis keturunan. Nasab dan garis keturunan yang jelas sangat dihargai dalam hukum islam. Anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah dianggap sebagai anggota keluarga yang memiliki hak-hak khusus, seperti hak mewarisi dan hak diakui sebagai anak dari orang tua mereka. Dalam situasi ini, memperhatikan peranan ibu sebagai pengganti mungkin menimbulkan sedikit kebingungan terkait status keluarga anak.
2. Prinsip hukum Islam mengenai keluarga dan keturunan.Â
Dalam Islam, keturunan dianggap berdasarkan ikatan biologis antara anak dan orang tua, khususnya ibu dan ayah yang sah. Nasab anak yang lahir dari ibu pengganti tidak selalu mengikuti nasab orang tua yang meminta bantuan ibu pengganti tersebut. Oleh karenanya, Islam mengajarkan bahwa hubungan nasab anak yang dilahirkan oleh ibu pengganti masih terikat dengan ayah biologisnya, bukan dengan pasangan yang memanfaatkan layanan ibu pengganti.
3. Status Ibu Pengganti dalam Islam
Ibu pengganti dalam praktik surrogacy akan dianggap sebagai ibu kandung dari anak tersebut selama kelahiran dan proses pengasuhan awal. Meskipun demikian, menurut hukum Islam, keturunan anak tetap diatur berdasarkan ibu dan ayah biologis yang memberikan sperma dan sel telur. Â demikian, pasangan yang menggunakan layanan ibu pengganti tidak akan secara otomatis mendapatkan hubungan darah dengan anak tersebut meskipun mereka merawatnya dengan penuh kasih sayang.Â
Dalam banyak fatwa, para ulama biasanya menyampaikan bahwa praktik ibu pengganti bisa menimbulkan problem terkait hak-hak anak, terutama seputar hubungan darah dan warisan. Karenanya, sebagian ulama dan ahli hukum Islam condong untuk tidak memberikan rekomendasi atau bahkan menentang praktik ini, karena dapat menimbulkan kerancuan dalam penentuan harta warisan dan ikatan keluarga.
4. Isu Etika dan Moral