Mohon tunggu...
Arvyno Limahardja
Arvyno Limahardja Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - arvyn

bocil petualang

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Atheis atau Beriman, Komunisme atau Keagamaan?

1 Oktober 2021   21:33 Diperbarui: 1 Oktober 2021   21:35 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Identitas Buku 

  • Judul : Atheis 

  • Pengarang : Achdiat K. Mihardja 

  • Penerbit : Balai Pustaka 

  • Tahun terbit : Cetakan Ketiga puluh tiga, 2009

  • Tebal buku : 250 halaman 

  • ISBN : 979-407-185-4

Pernahkah terbesit dalam benak kalian bahwa dengan menikmati sebuah karya sastra, seorang manusia bisa mengasah kepekaannya? 

Huruf-huruf yang tersusun secara rapi mengikuti pemikiran dan perasaan sang penulis, bisa mengajak seseorang untuk bercermin, membandingkan kehidupan fiktif yang dibangun oleh pengarang dengan kehidupan nyata yang dialami oleh pembacanya, lalu mencari makna yang dapat menjadi kompas bagi si pembaca untuk mengarungi hidupnya, mungkinkah hal itu? 

Dari sudut pandang seorang awam, saya bisa merasakan kekuatan sastra lewat buku yang berjudul “Atheis”. Sebuah sastra klasik karangan Achdiat K. Mihardja, dikarangnya pada masa-masa awal kemerdekaan, menjadi sebuah karya yang layak untuk dinikmati.

Rasanya tidaklah elok bila kita membahas sebuah ciptaan, tanpa mengetahui siapa inventornya.

 Pada tanggal 6 Maret 1911 di Garut, Achdiat K. Mihardja dilahirkan ke dalam sebuah keluarga yang hobi mengoleksi buku. Bacaan-bacaan karya Dostojewski, Dumas, dan Multatuli dilahapnya sejak dini. Tak banyak orang yang tahu bahwa Achdiat adalah salah satu pendiri Lekra, organisasi penulis Indonesia yang erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Meski dirinya mengaku tak lagi berafiliasi ketika tahu bahwa teman-teman pendiri mengatasnamakan Lekra sebagai cabang PKI. Dirinya juga disebut-disebut tergabung dalam Partai Sosialis Indonesia. Meski demikian, dirinya secara vokal menentang atheisme dan sekularisme melalui tulisan-tulisannya. 

Buku dengan tebal 250 halaman ini, menceritakan pengalaman seorang pemuda bernama Hasan yang sedari kecil dekat sekali dengan ajaran dan nuansa keagamaan, kehilangan pondasinya akan ketuhanan dan mulai beralih menjadi kafir. 

Keberalihan Hasan ini bukanlah tanpa alasan, pengaruh lingkungan menjadi sebabnya. Hidup di jaman penjajahan era Jepang, memicu kaum pemuda saat itu untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa, serta pemikiran. 

Di saat-saat itu, bangsa kita sedang hebat-hebatnya digempur dengan banyaknya macam ideologi, salah satunya adalah komunisme, yang secara khusus dianut oleh sahabat dekat Hasan, Rusli. Ruslilah yang kemudian memperkenalkan pemikiran ini kepada Hasan. 

Tak cukup dengan Rusli seorang, muncul tokoh-tokoh dari lingkup pertemanan Rusli, seperti Kartini dan Anwar yang ikut memperagakan prinsip-prinsip itu secara rutin di hadapan Hasan. Menciptakan kegoyahan dalam diri Hasan.  

Gaya hidup yang diadaptasi oleh Rusli dan Kartini mengherankan Hasan. Bebas, terbuka, politis, dan atheis. Ya, atheis, atau dalam bahasa sederhananya, orang yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan. 

Awalnya, Hasan sempat bimbang, apakah dirinya perlu mengislamkan teman-temannya ini atau sekadar mendoakan setiap dari mereka supaya segera diberikan hidayah oleh Allah. 

Usut demi usut, Hasan tidak berhasil melaksanakan kedua jalan yang sebelumnya itu, melainkan Hasan lah yang kemudian dikomuniskan oleh Rusli. 

Hasan yang tadinya berniat untuk memberikan nasihat-nasihat sebagai upaya untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang muslim, balik dinasihati oleh Rusli. Dengan kepintaran Rusli dalam merangkai cerita maupun mempertanyakan hal, rupanya malah nasihat-nasihat Rusli yang justru tertanam halus dalam benak Hasan. Bertemulah pula Hasan dengan Anwar, seorang anarkis yang merasa bahwa dirinya sebagai Tuhan, disertai sikap suka main perempuan. 

Hari demi hari, Rusli semakin meragukan kepercayaannya kepada Tuhan dan perlahan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan hidup beragama. Mulai belajar mengenai pandangan-pandangan politik, menonton film di bioskop, bahkan menikahi Kartini tanpa mengikuti syariat Islam. Mulanya, Rusli menikmati hidup barunya ini, hingga suatu hari kembalilah dirinya menemui keluarganya

. Di sana, ia bertengkar hebat dengan ayahnya, setelah memperolok ayah dan ibunya karena masih percaya dengan Tuhan. 

Tak lama setelahnya, banyak cobaan demi cobaan yang terus melanda, hingga mulai muncul perasaan bahwa dirinya sudah tersesat terlalu jauh. Sayang, kesadaran pun tak cukup untuk menghentikan permasalahan hidupnya. Hingga akhirnya, terjadilah sebuah peristiwa yang meninggalkan rasa sakit mendalam dalam hati Hasan. Pada saat itu pula, pecahlah kesabaran dan bulatlah tekad Hasan untuk membalaskan dendamnya. Bukannya balas dendam, tapi malah lantunan takbir, disusul dengan kematian yang berhasil didapatkan Hasan.

“Jangan menilai buku dari sampulnya.”, begitulah isi salah satu peribahasa yang tidak asing di telinga masyarakat. Namun, tidak kali ini. Buku karangan Achdiat yang satu ini dibalut dengan sampul berjenis soft-cover. 

Dengan desain sampul yang terkesan klasik, atau bahkan bisa dibilang jadul. Mulai dari penggunaan jenis tulisan, pewarnaan, hingga ilustrasi yang kurang menarik dan menampilkan estetika bagi mata pembaca. Pada sampul, terdapat pula kutipan dari beberapa sastrawan serta kritikus sastra termasyhur, yang memberikan gambaran positif mengenai buku ini. Mungkin, penerbit sengaja menambahkannya supaya bisa meyakinkan para calon pembaca. 

Di satu sisi, buku ini memang praktis untuk dibawa pergi oleh pembacanya, yang didukung dengan dimensi ukurannya yang tergolong kecil, yakni lebar 13,5 cm dan panjang 20 cm. Namun, rentannya buku tertekuk oleh karena penggunaan sampul berjenis soft-cover, serta desain sampul yang kurang menarik menjadi sekian dari sedikit hal yang bisa diperbaiki.

Dalam proses penciptaan sebuah karya sastra, seringkali pengarang perlu melalui proses perenungan pengalaman hidupnya serta keadaan masyarakat. Jika kita bicara soal isi cerita secara keseluruhan, maka bisa dirasakan pengaruh daripada buah pemikiran dan perasaan Achdiat, serta pandangan beliau atas kehidupan di era pasca-kemerdekaan dalam penulisannya. 

Bahkan, novel Achdiat yang satu ini bisa dianggap sebagai sebuah dokumentasi sosial budaya karena menangkap realita dari masa tertentu. 

Realita yang ditonjolkan dalam novel tersebut, berkaitan dengan masa pada saat ideologi Marxisme-Komunisme dengan ideologi Islamisme, yang dipersonalisasikan dalam cerita perjalanan iman Hasan. Pertarungan di antara kedua ideologi tersebut dibahas secara kental sepanjang novel tersebut. 

Membaca buku ini membuat kita mengetahui sebuah perbedaan yang paling mencolok di antara keduanya, yakni kepercayaan akan kehadiran Tuhan. Kaum berhaluan kiri atau komunis, tidak percaya dengan keberadaan Tuhan sebab mereka hanya mempercayai hal-hal yang bisa diinderakan. 

Ideologi ini diwakilkan secara sejati oleh sosok Anwar, yang mempercayai bahwa Tuhan adalah hasil ciptaan manusia sebagai entitas yang bisa menjawab ketidaktahuan manusia. 

Sementara, penganut Islam meletakkan kepercayaan akan Tuhan dan dunia gaib sebagai salah satu rukun imannya. Keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tugasnya tiada lain adalah untuk beribadah. Hasan menjadi perwakilan, yang dengan tepat mampu menggambarkan kehidupan beragama seorang Islam yang taat. 

Seiring dengan perkembangan alur cerita, Hasan memilih untuk menjadi seorang atheis. Hal ini mungkin saja terjadi karena Hasan dalam menjalani kehidupan beragamanya, hanya terbatas pada urusan memenuhi kewajiban untuk menunaikan ibadah secara rutin, tanpa disertai dengan usaha untuk terus memperkokoh iman melalui kebiasaan olah pikir. 

Padahal, Nabi Muhammad sendiri memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal dalam beragama. Sehingga, ketika Hasan dihadapkan oleh ideologi yang baru, dengan proses perkenalan yang secara proaktif mengundang pikiran Hasan untuk merasionalkan lebih jauh mengenai keimanannya, maka dengan mudah dirinya goyah karena tidak memiliki keilmuan yang cukup kuat dan melekat. 

Keunikan buku ini tidak hanya terletak pada penyajiannya yang personal, namun tetap global karena mengangkat isu yang marak pada masanya ke dalam pengalaman hidup tokoh utamanya. 

Hal yang akan jarang ditemui oleh pembaca sastra, adalah bagaimana buku ini menggunakan tiga sudut pandang yang berbeda dalam membangun keutuhan ceritanya. 

Kita akan bisa melihat bagaimana Hasan, Kartini, dan seorang narator membangun kesatuan cerita novel “Atheis” ini. Melalui ketiga tokoh inilah, dengan sudut pandang yang berbeda pula, pembaca akan dibawa ke dalam masa penceritaan yang berbeda-beda pula, sehingga pembaca akan bisa merasakan kehidupan Hasan di masa itu secara holistik. Dengan bantuan pembahasaan serta pemilihan diksi yang mudah dipahami, kita akan merasa dibawa secara riil untuk menghidupi pribadi Hasan dalam alam pikir kita.  

Akan tetapi, seperti kata pepatah, tiada yang sempurna sebab sempurna hanya milik Tuhan. Sama halnya juga berlaku pada buku karangan Achdiat. Dalam buku ini, pembaca akan banyak menemukan baik kata atau frasa yang kurang familiar bagi mayoritas dari kita, karena tertulis dalam bahasa asing ataupun bahasa daerah. Memang, tidak jarang pula penulis memberikan pengertiannya dalam catatan kaki, namun masih banyak ditemukan kata atau frasa asing tanpa ada penjelasan dari penulis.

Teruntuk kalian yang menyenangi bacaan yang penuh dengan konflik personal, maka buku inilah yang tepat jadi bahan bacaan di waktu senggang kalian. Nyatanya, bumi kita saat ini tidaklah jauh berbeda dengan kondisi masa lampau. Justru di era globalisasi ini, dengan mudah orang atau kelompok dari seluruh penjuru dunia memperkenalkan pemikiran mereka melalui media sosial. 

Sedang, kita sebagai penikmat konten-konten tersebut, memang sudah selayaknya memiliki fondasi yang kuat, supaya hal-hal yang buruk tidak dengan mudah menjangkiti kita. Melalui buku inilah, para pembaca dan calon pembaca bisa berefleksi perihal permasalahan tersebut. 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Mihardja, Achdiat Karta. 2009. Atheis. Jakarta: Balai Pustaka.  

  2. Teguh, Irfan. 2020. Achdiat K. Mihardja: Pengarang 'Atheis', Kisah yang Berakhir Tragis, diakses pada 29 September, pukul 19.52.

  3. Fathurrohman, Nurdin Muhammad. 2017. Biografi Achdiat K. Mihardja - Sastrawan Angkatan '45 - BIOGRAFI TOKOH TERNAMA, diakses pada 30 September, pukul 21.23. 

  4. Yulianto, Agus. 2019. Pertarungan Ideologi Dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja, https://core.ac.uk/download/pdf/229285223.pdf, diakses pada 1 Oktober, pukul 18.44. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun