Mohon tunggu...
Arvian Ijlal Adhipratama
Arvian Ijlal Adhipratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Airlangga dengan fokus pada ekonomi internasional dan diplomasi global. Saya telah meraih berbagai penghargaan, termasuk Juara 1 Kompetisi Esai Internasional dan Best Delegate di Model United Nations. Aktif menulis lebih dari 30 karya ilmiah, saya juga berkontribusi dalam organisasi dan pengabdian masyarakat, termasuk sebagai Duta GenRe.

Selanjutnya

Tutup

Surabaya Pilihan

Media Sosial: Senjata Ampuh Pembentuk Opini di Era Digital

8 Januari 2025   19:40 Diperbarui: 8 Januari 2025   19:44 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surabaya. Sumber ilustrasi: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa satu cuitan bisa memantik debat nasional? Atau mengapa sebuah unggahan di Instagram mampu menggerakkan ribuan orang turun ke jalan? Di era digital ini, media sosial kerap kali menjadi "senjata ampuh" pembentuk opini publik. Dengan segala kemudahan akses, setiap orang seolah memiliki panggung bebas untuk berpendapat. Namun, seberapa besar sebenarnya dampaknya, dan apa yang perlu kita waspadai?

Laju Informasi yang Tak Terbendung

Bayangkan Anda sedang menyeruput kopi di pagi hari, membuka media sosial, lalu mendapati kabar viral yang berpotensi mengguncang opini publik. Menurut Agenda Setting Theory (McCombs & Shaw, 1972), media memengaruhi isu mana yang menjadi perhatian utama masyarakat. Bedanya, kini kita tidak hanya menerima, kita juga bisa berkomentar, membagikan, bahkan memicu perdebatan secara instan! Seberapa cepat perubahan opini bisa terjadi? Sangat cepat, dan inilah daya tarik, sekaligus ancaman dunia maya.

Bisakah satu cuitan mengubah kebijakan pemerintah?
Pernah terjadi, bukan? Politisi dan pemimpin opini kini memantau media sosial untuk mengetahui detak jantung pemikiran masyarakat. Bak "survei gratis," timeline Twitter, Instagram, hingga TikTok menyediakan data yang kaya akan sentimen publik.

Influencer: Raja Baru di Dunia Maya

Siapa sebenarnya yang mengendalikan opini Anda?
Dulu, media massa konvensional memiliki kuasa penuh. Tapi kini, pengaruh besar lahir dari para influencer di Instagram, YouTube, dan TikTok. Menurut teori Diffusion of Innovations (Rogers, 1962), sebuah ide akan menyebar lebih cepat jika didukung “pemimpin opini.” Tanpa disadari, kita mengidolakan mereka, mengadopsi gaya hidupnya, dan mengadopsi sikapnya—entah soal dunia hiburan, politik, atau bahkan isu kesehatan.

Dampak Sosial: Manfaat dan Risiko

  1. Kecepatan Gerakan Sosial

    • Berapa banyak kampanye sosial yang berhasil karena viral?
      Lihat gerakan #BlackLivesMatter hingga #MeToo. Sekelompok kecil aktivis kini dapat memobilisasi jutaan orang untuk turun ke jalan—semua berawal dari postingan di media sosial.
  2. Hoaks dan Polarisasi

    • Apakah Anda yakin semua yang Anda baca benar?
      Bebasnya arus informasi membuat kita rentan terjebak dalam echo chamber, hanya mendengar apa yang ingin kita dengar. Inilah sisi gelap media sosial: hoaks bertebaran, kebencian menyebar.
  3. Tren Konsumtif

    • Penasaran kenapa Anda membeli barang yang ‘tak terlalu perlu’?
      Iklan bertubi-tubi dan konten endorsment kian membuat perilaku konsumtif melonjak. FOMO (Fear of Missing Out) menjadi fenomena baru yang mendorong kita membeli hanya demi ‘tak ketinggalan zaman’.

Bagaimana Kita Menyikapi?

  • Literasi Digital
    Apakah kita siap menyaring miliaran data tiap detik?
    Menumbuhkan keterampilan berpikir kritis menjadi PR besar. Tanpa literasi digital, kita akan mudah terprovokasi.

  • Kolaborasi Pemerintah dan Platform
    Mengatur arus informasi bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab platform media sosial agar tak terjadi pembungkaman kebebasan berpendapat.

  • Media Massa Konvensional Harus Berinovasi
    Jurnalis profesional tidak boleh kalah cepat. Akankah media tradisional punah? Jika tidak beradaptasi, bisa saja mereka hanya menjadi kenangan di tengah pesta digital.

Kesimpulan

Pertanyaannya: Apakah media sosial lebih banyak membawa manfaat, atau justru menimbulkan masalah baru? Jawaban pasti tak pernah hitam-putih. Kita tak bisa menyangkal bahwa media sosial telah memudahkan kita menjalin relasi, bertukar pendapat, hingga menyebarkan gerakan sosial. Namun, di sisi lain, kebebasan ini punya harga: risiko hoaks, polarisasi, dan perilaku konsumtif. Solusinya terletak pada literasi digital, kolaborasi, dan penegakan regulasi yang adil. Dengan begitu, kita dapat memanfaatkan "senjata ampuh" bernama media sosial ini untuk kemajuan bersama, bukan sebaliknya.

Sumber Referensi:

  • McCombs, M., & Shaw, D.L. (1972). The Agenda-Setting Function of Mass Media. Public Opinion Quarterly.
  • Rogers, E. M. (1962). Diffusion of Innovations. Free Press.
  • UNESCO: Media and Information Literacy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun