Mohon tunggu...
Arven Rizki
Arven Rizki Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

ini aku..ini duniaku...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Ayah, Aku Bisa!"

9 Januari 2012   05:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Fokus..fokus..fokus !!!” Suara itu membuat kami terus bersemangat menjalani latihan ini. Seperti inilah kegiatanku setiap sore. Berlatih bulutangkis.

“April. Pikirkan langkah yang haru kamu ambil selanjutnya. Kamu harus tetap focus dalam keadaan apapun. Jangan lengah sedikitpun. Itu saja masukan dari saya hari ini.” Ucap pelatih padaku saat evaluasi hari ini. Aku hanya mengangguk mengakui kesalahanku.

Akhirnya selesai sudah latihan hari ini. Semua mulai sibuk membereskan peralatan masing-masing. Sedangkan aku, aku masih duduk di pinggir lapangan sembari melepas penat hari ini.

“Eh pril, pulang sama siapa kamu ?” Tanya Lani.

“Sama angkot, Lan. Hehehe”.  Jawabku  santai.

“ah bareng aku aja yuk. Mumpung kosong nih. Hahaha” ajak lani dengan  gayanya yang kocak.

“Oke deh. Tunggu bentar ya Lan.”

Kebaikan seperti hari ini tak selalu ku dapat. Lebih sering aku pulang naik angkot bahkan naik sepeda. Untuk urusan jarak, 3 KM harus ku tempuh dari rumah – tempat latihan. Lelah memang. Tapi bagaimana lagi ? Kondisi dan cita-cita yang menuntutku seperti ini.

Luna Aprilia. Aku lahir 21 April 1994 di kota kecil ini. Kotaku tercinta, semarang. Kini aku telah beranjak remaja. Siswa SMA kelas 2 adalah statusku saat ini. Aku tahu, gelas SMA ku ini memang berat. Menjadi salah satu penentu masa depan juga.  Tapi tak bisa kupungkiri, kecintaanku pada bulutangkis juga merebut  hatiku.

Aku mulai mengenal  olahraga ini sejak aku 10 tahun. Aku masih ingat saat kami (keluargaku) menonton pertandingan bulutangkis di TV. Kejuaraan Indonesia Terbuka 2004 tepatnya. Saat itu, hanya final yang kulihat. Taufik Hidayat melawan  Cheng Hong. Di sela-sela acara itu, ayah mengatakan bahwa ia ingin aku menjadi atlit. Aku yang saat itu belum tahu apa-apa hanya diam menonton pertandingan itu.

Waktu berlalu sejak pembicaraan tanpa muara itu. Aku telah berusia 11 tahun. Kini aku mulai ingin mengikuti bulutangkis. Tidak lainnya. Hanya bulutangkis yang kuminati. Aku mulai meminta pertimbangan ayah. Dan ayah setuju dengan keinginanku ini. Mungkin sudah hampir terlambat diusia 11 tahun  mengikuti bulutangkis. Tapi tak apa bagiku. Asal aku bisa terjun ke dunia olahraga ini.  Ku kira mudah mengikuti latihan ini. Ternyata susah memulai dari nol. Bukan hanya itu. Susah juga mengatur waktu belajarku. Tapi itu tak menggangguku lama. Aku mulai terbiasa dengan kegiatanku ini. Aku mulai bisa mengatur waktuku. Sampai sampai, saat hasil semester 1 kelas 5, aku berhasil menjadi juara kelas. Tentu orang tuaku bangga dengan hasil ini. Terutama Ayah.

Usiaku mulai bertambah. 13 tahun umurku saat itu. Aku berhasil masuk di SMP favorit di daerahku. Semakin tinggi jenjang pendidikanku, semakin susah pelajaran yang kuterima. Tapi aku masih mampu mempertahankan ‘juara kelas’ sampai detik itu. Di tahun ini pula, aku sudah mengikuti berbagai kejuaraan bulutangkis. Aku juga sudah merebut beberapa gelar juara dalam pertandingan itu. Bahagia memang. Tapi, rasa bahagia yang harusnya ku dapat, belum kudapat sepenuhnya hingga detik ini. Ayahku… aku tak mengerti tentang beliau. Sampai saat ini pula, beliau belum pernah duduk di tribun menyaksikanku bertanding. Yaa…memang, saat itu ayah mengatakan padaku bahwa ia ingin aku lebih focus saja ke pelajaran. Lebih berprestasi saja ke pelajaran. Tapi, aku sudah terlanjur terjun di dunia bulutangkis ini. Dan itu membuatku susah untuk menghilangkan rasa cinta ini.

Ibuku hanya seorang penjahit. Sedang ayah hanya seorang penjual pupuk yang penghasilannya tak seberapa. Tapi percayalah, aku selalu bangga dengar mereka. Aku bangga dengan mereka yang telah membesarkanku hingga sekarang. Tapi terkadang, rasa kecewa juga ku rasakan di hati ini. Kecewa mengapa aku tak pernah merasakan kemenangan utuh dengan ayah di sampingku.

///////

Latihan hari ini dimulai lebih awal. Dengan terpaksa harus langsung ketempat latihan sepulang sekolah. Berlatih, sharing, berlatih lagi. Seperti itulah rutinitasku setiap sore. Kali ini, pelatih menyampaikan pengumuman tentang sirnas semarang. Sirnas semarang ? hal yang aku tunggu-tunggu dating juga. Pelatih mulai membacakan nama pemain yang mewakili club kami. “Luna Aprilia” namaku tercantum dalam daftar itu. Tak bisa kubayangkan rasanya. Event terbesar pertamaku. Bagaimana kusampaikan ini pada ayah ?

Langkahku semakin berat mendekati rumah. Jantung mulai berdebar tak karuan. Aku mulai masuk rumah dengan pikiran tak tentu. Aku duduk di samping ayah.

“Yah, tadi ada pengumuman tentang sirnas semarang. Aku terpilih mewakili clubku akhir bulan depan.”

“Bagus itu. Latihan yang serius. Jangan mebuat kecewa orang lain.”

“Ayah mau datang melihatku kan ?” tanyaku dengan nada yang tertahan.

“Ayah usahakan.”

Lagi. Jawaban yang sama . Akankah sama dengan pertandingan yang sudah-sudah ?

Waktu berlalu begitu cepatnya. Saat yang kutunggu-tunggu dating juga. Sirnas semarang telah didepan mata. Untuk hari ini sampai hari-hari selanjutnya, terpaksa aku absen sekolah.

Perjuanganku dimulai hari ini. Babak kualifikasi. Selalu berdoa, berusaha dan focus. Itu kunciku hingga aku berhasil lolos dari kualifikasi. Babak-babak selanjutnya sama. Kuhadapi dengan mudah, 2 set langsung. Seperti yang sudah ku duga. Ayah tak lagi dating melihatku. Ayah tak datang di semi final ini. Kepercayaanku semakin memudar. Tapi untunglah. Aku masih di beri kesempatan melewati babak ini dengan baik.

Kamis, dua desember 2010.

Kali ini adalah penentuan perjuanganku slama ini. Takkan ku biarkan emas lari dari genggamanku. Final !

Akan ku buktikan bahwa aku bisa. Doa ibu, ayah, sahabta, teman semua menyertaiku dalam langkah pastiku. Masih ku tunggu kehadiran ayah di tempat ini. Tapi tak kunjung kulihat parasnya. Aku mulai sadar. Ayah takkan dating lagi. Aku sadar. Ayah tak lagi menginginkanku mengambil langkah ini. Harusnya aku ada di sekolah saat ini. Belajar agar aku menjadi yang terbaik. Agar aku bisa membanggakan beliau !

Sesaat sebelum aku memasuki lapangan, kupandangi tribun di belakangku. Ada Ibu yang setia disana, ada Doni (sahabatku) yang juga duduk disana yang baru saja menyabet emas pencak silat tingkat nasional, ada juga rara (sahabatku) yang meninggalkan latihan panahan hari ini demi aku. “Aprilia Luna” namaku telah dipanggil. Aku bersiap bangun dari dudukku. Kulihat lagi tribun di sebelah ibu. Ayah tak juga ada. “ayah, aku janji, akan ku buktikan yang terbaik disini!” ucapku lirih sesaat sebelum masuk lapangan.

Perjuanganku kali ini tak semudah yang ku bayangkan. Erina bermain bagus hari ini. Butuh 43 menit untuk mengakhiri pertandingan ini. Dan point terakhir berhasil saat service dinyatakan fault oleh wasit. Saat bersamaan pula ku dengar teriakan Doni dan Rara yang melengking. Aku menangis seketika. Sangat sangat bahagia dengan ini. Tak pernah ku bayangkan podium tertinggi di event terbesar pertamaku.

Upacara penyerahan medali telah usai 15  menit yang lalu. Aku kembali ke pelukan ibu. Duduk di sebelah ibu, Doni, Rara, dan Ayah. “Ayah??”   “ayah datang??” tanyaku tak percaya.

“Ayah…ayah, aku bisa !” ucapku sembari memeluk erat tubuh ayah. Tak bisa ku sembunyikan air mata kebahagiaan ini. Tak ku sadari, ayah mulai menitikan air mata yang jatuh membasahi pundakku.

Dan untuk pertama kalinya, ku raih kemenangan ini dengan kebahagiaan yang utuh..

‘Ayah, aku bisa !’

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun