Mohon tunggu...
Humaniora

Urban Sprawl, Dampak dari Manajemen Perkotaan yang Tidak Optimal?

28 Maret 2018   12:02 Diperbarui: 28 Maret 2018   12:09 2806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penataan ruang perkotaan dapat diartikan sebagai proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian wilayah perkotaan dari kondisi yang ada menjadi kondisi yang lebih baik (ideal). Kondisi ideal tersebut, dari sistem kegiatan serta sistem jaringannya, juga dipengaruhi oleh sistem kelembagaan (Kusbiantoro, 1993). Ridwan Sutriadi ST MT PhD saat mengisi kuliah tamu di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember pada Selasa (23/03) mengatakan bahwa ide utama dari konsep pengembangan kota ialah berupa dukungan manajerial seperti sumber daya manusia dan bagaimana dampak pembangunan kepada seluruh masyarakat secara inklusif.

Dalam era globalisasi, dengan keterbukaannya sistem perkotaan, segala perubahan yang terjadi berlangsung begitu cepat. Salah satu aspek yang paling cepat mengalami perubahan ialah tata guna lahan. Seiring dengan cepatnya pertumbuhan penduduk terutama di kota-kota di negara berkembang, manajemen perkotaan diharapkan dapat mencegah dan mengatasi persoalan di perkotaan untuk mencapai wilayah kota yang ideal, produktif, pembangunan yang merata, dan berwawasan lingkungan.

Proses manajemen perkotaan harus melibatkan banyak peran dari berbagai disiplin ilmu dikarenakan fokus manajemen perkotaan berhubungan dengan kebutuhan aspek fisik, aspek sosial, maupun ekonomi masyarakat (Kusbiantoro, 1993). Ridwan mengatakan bila mengacu kepada Kusbiantoro, terdapat enam komponen tata kelola perkotaan:

  1. Proses perencanaan (Planning Process). Proses perencanaan merupakan sebuah proses untuk menentukan langkah-langkah masa depan yang tepat melalui serangkaian pilihan. Perencanaan tidak berorientasi masa sekarang dengan melihat tren perubahan yang terjadi untuk diproyeksikan agar dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan di masa depan. Proses perencanaan secara komprehensif tersusun atas diagnosis masalah, artikulasi tujuan, prediksi dan proyeksi, desain alternatif atau skenario, uji perencanaan, dan evaluasi.
  2. Daya saing kota (City Competitiveness). Konsep daya saing umumnya dikaitkan dengan kemampuan suatu perusahaan, kota, daerah, wilayah atau Negara dalam mempertahankan atau meningkatkan keunggulan kompetitif secara berkelanjutan (Porter, 2000). Dalam konteks perencanaan, daya saing berarti kemampuan kota untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan pasar untuk menciptakan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi.
  3. Manajemen lahan dan bentuk kota (Land and Urban Form Management). Suatu sistem pengendalian, pengelolaan, dan pengawasan terhadap penggunaan lahan perkotaan untuk untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem ini terdapat key actor yang dapat menjalankan ketiga peran tersebut demi pembangunan kota yang berkelanjutan
  4. Infrastruktur dan Pengelolaan Pelayanannya. Dalam tata kelola perkotaan, infrastruktur beserta pengelolaan pelayanannya dituntut agar dapat melayani semua masyarakat sembari memperhatikan lingkungan, keunikan, dan sumber daya di kota atau daerah tempat perencanaan. Infrastruktur dan sarana prasaran di dalamnya diharuskan bisa sustainable.
  5. Pengelolaan Institusi Perkotaan. Komponen institusi atau kelembagaan dalam perkotaan dapat berupa sistem kelembagaan (sistem penunjang), aspek legal (kebijakan, hukum, peraturan perundangan), keuangan (sumber dana), dan organisasi (pelaku terkait) dan diperlukan adanya hubungan intrasistem. Bentuk konkretnya ialah adanya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengendalian, keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan melalui investasi, kerjasama antar kota, dan sistem lainnya.
  6. Manajemen ruang perkotaan dan pedalaman (Urban Space and Hinterland Management). Selain wilayah perkotaan, wilayah disekitar kota juga perlu dikelola dikarenakan pada dasarnya kota akan membutuhkan daerah pendukung di sekitarnya, meski hanya sebatas daerah penyangga, atau sebagai kawasan konturbasi yang lebih luas.

Manajemen kota dapat mencegah Urban Sprawl.

Urban sprawl, berasal dari Bahasa Inggris. Urban didefinisikan sebagai sebuah kota, sprawl memiliki arti datang, pergi, tersebar secara acak. Urban sprawl adalah urban terkapar, dikenal sebagai pemekaran kota ke daerah-daerah di sekitarnya secara tidak terstruktur, acak, tanpa adanya rencana. Ada kesepakatan umum bahwa urban sprawl adalah efek gabungan dari peningkatan kemakmuran, perubahan gaya hidup dan kemajuan besar dalam mobilitas pribadi yang dimungkinkan oleh mobil pribadi. Mobil menjadi faktor utama di dalam kota metropolis modern dan telah menyebabkan metropolis bergantung pada mobil (Newman dan Kenworthy, 1998). Urban sprawlpada dasarnya perkembangan perkotaan yang unplanned, uncontrolled, uncoordinated.

Pertumbuhan penduduk di Kota Surabaya sudah mencapai angka 2.862.406 penduduk pada tahun 2017. Pertumbuhan yang pesat menimbulkan permasalahan dan tantangan yang kompleks. Pertumbuhan populasi ini memberikan kontribusi pada peningkatan intensitas bentuk dan penggunaan lahan. Pembangunan perkotaan akan mengalami kejenuhan daerah permukaan dan memicu arah penyebaran penduduk ke sekitar daerah pinggiran. Daerah yang tadinya merupakan RTH dan lahan kosong seketika berubah menjadi lahan permukiman. Masyarakat akan memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju lokasi kegiatan yang sebagian besar berpusat di perkotaan.

Fenomena urban sprawl tidak bisa dihindari dikarenakan peningkatan pertumbuhan masyarakat yang bersifat dinamis sedangkan luas lahan bersifat statis. Peran Pemerintah dalam kelembagaan tata kelola perkotaan sebetulnya dapat lebih ditingkatkan. Pemerintah termasuk planner di dalamnya seharusnya bisa memberikan kontribusi berupa membuat bentuk perencanaan yang menentang perilaku car-dependant atau ketergantungan kepada kendaraan pribadi. Penataan dalam menangani urban sprawl dapat berupa:

  • Upgrading, usaha untuk pembenahan suatu kawasan kembali seperti kondisi semestinya (sesuai perencanaan).
  • Resettlement, mendirikan pemukiman baru yang ditata secara baik (modern), yang diharapkan nantinya dapat memacu pertumbuhan dan pengembangan wilayah.
  • Urban Renewal, upaya perawatan kembali suatu wilayah dengan mengganti sebagian atau seluruh unsur-unsur lama dengan unsur-unsur baru dengan tujuan untuk meningkatkan vitalitas dan kualitas lingkungan sehingga kawasan tersebut memberikan konstribusi yang lebih baik bagi kota secara keseluruhan.

Selain tiga cara penanganan diatas, satu konsep kota yang sudah lama di godog oleh para ahli ialah compact city. Compact city adalah suatu konsep desain dan perencanaan perkotaan yang terfokus terhadap pembangunan berkepadatan tinggi dengan penggunaan yang beragam dan bercampur jadi satu dalam suatu lahan yang sama untuk mengefisienkan lahannya semaksimal mungkin. Konsep ini meminimalkan jarak tempuh sehingga ketergantungan akan kendaraan bermotor akan berkurang. Keunggulan dari kota kompak ialah menghemat sumber daya dan energi (lahan, transportasi, polusi, sampah).

Peran kelembagaan perkotaan dalam aspek legal dapat diwujudkan dalam pengendalian pertumbuhan di kota. Selama ini, peran pemerintah masih dapat dibilang kurang dalam pengendalian pertumbuhan penduduk dan persebarannya yang mempengaruhi tata guna lahan. Oleh karena itu dibutuhkan ketegasan dan konsistensi Pemerintah dalam menangani pengaturan dan pengendalian lahan kota, dan tidak luput peran masyarakat sebagai institusi sosial untuk mematuhi peraturan tata ruang yang ada untuk kesejahteraan masyarakat kota.

Daftar Pustaka

Newman, P. Kenworthy, J. (1998) Sustainability and Cities: Overcoming Automobile Dependence. Washington, DC: Island Press.

Kusbiantoro, B.S. (1993). Penataan Ruang Perkotaan dan Manajemen Pertanahan, makalah tanggapan dalam Lokakarya Konsolidasi Pelatihan untuk Meningkatkan Manajemen Perkotaan, Depkeu-Depdagri-Pemda TK I Bali, USAID, Denpasar, 4-6 Februari.

Porter, M.E. (2000). Location, Competition, and Economic Development: Local Clusters in Global Economy. Economic Development Quarterly. Vol. 14 No. 1, February 2000, hal. 15 -- 34.

Ramlan, N. Rudiarto, I. (2015). Pengendalian Urban Sprawl di Wilayah Pinggiran (Studi Kasus:  Perkembangan Kota di Indonesia dan Perancis).

Ditulis oleh Ahmad Rizky Alfian, Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota ITS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun