Mohon tunggu...
Vox Pop Artikel Utama

Perlukah Merelokasi Permukiman Kumuh di Jakarta?

15 Desember 2016   17:20 Diperbarui: 18 Desember 2016   15:00 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DKI Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar di Indonesia dengan luas sekitar 661,52 km² dan penduduk berjumlah 10.187.595 jiwa (2011). Kota sebesar itu menjadi daya tarik bagi orang-orang dari luar daerah untuk mencari penghidupan di Jakarta dikarenakan besarnya aktivitas ekonomi yang berlangsung menghasilkan banyak lapangan pekerjaan. Namun, tak semua orang yang datang untuk mencoba peruntungannya di Jakarta dapat menggapai keinginannya. Banyak sekali dari mereka justru menjadi penduduk ilegal yang tinggal di tanah Pemerintah dan membentuk permukiman kumuh (slum area).

Pada dasarnya, permukiman kumuh (slum area) di Jakarta timbul akibat besarnya pertumbuhan penduduk dan banyaknya migrasi dari luar daerah. Adanya pertumbuhan penduduk di Jakarta sekitar 1% per tahun dan tidak diimbanginya pembangunan sarana dan prasarana kota dan peningkatan pelayanan perkotaan membuat permukiman kumuh semakin meluas di beberapa daerah di Jakarta.

Sebagian penghuni kota berprinsip bahwa kota merupakan tempat untuk mencari penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian prinsip mereka harus hemat dalam arti yang luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sistem strukturnya (Sobirin, 2001). Dengan prinsip itu, hal yang terjadi justru kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan kawasan permukiman kumuh.

Mengapa kawasan permukiman kumuh dapat terbentuk?

Penyebab utama munculnya kawasan permukiman kumuh di Jakarta ialah karena Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi dan bisnis terbesar di Indonesia. Kota ini memiliki daya tarik bagi penduduk dari daerah luar Jakarta untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan. Hal inilah yang membuat penduduk daerah berlomba-lomba mengadu nasib di Jakarta dengan harapan bisa menjadi kaya.

Namun tak semua orang menyadarinya. Banyak dari mereka yang hanya bermodalkan tekad yang membara, namun tak memiliki keterampilan yang memadai sehingga mereka harus mati-matian bekerja untuk hidup di kota besar ini. Mereka, khususnya para pendatang, tak mampu membeli tempat tinggal yang layak dan akhirnya menempati permukiman tanpa izin dan melanggar peraturan daerah. Demi menyambung hidup, mereka terpaksa tinggal di gubug-gubug di bantaran kali, dibawah jembatan, di pinggir rel kereta dan wilayah kumuh lainnya.

Ironisnya, hal ini juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab dengan membangun rumah-rumah petak liar yang disewakan kepada warga tak mampu. Lebar sungai menjadi menyempit dikarenakan daerah pinggiran sungai dibuat untuk tempat tinggal. Sungai menjadi kotor dan menimbulkan penyakit dikarenakan sungai dibuat menjadi tempat membuang sampah.

Mengapa permukiman kumuh terus meluas?

Semakin luasnya kawasan permukiman kumuh di Jakarta disebabkan oleh tidak tegasnya aparat dalam menindak tegas warga yang tidak memiliki izin. Ketidaktegasan itu bisa disebabkan karena alasan tidak tega, atau malah memang adanya permainan oknum yang mengambil keuntungan dibalik adanya kawasan permukiman kumuh ini. Para oknum tersebut bermain dengan aparat pemerintahan setingkat kelurahan/kecamatan agar mereka “dilindungi” dari sanksi yang bisa dikenakan. Karena hal-hal tersebut, permukiman kumuh ini terus ada dan persoalannya menjadi berlarut-larut.

Pantaskah mereka di relokasi?

Jawaban dari pertanyaan ini bisa dilihat melalui dua sisi. Jika dilihat dari sisi penegakan peraturan, mereka yang tinggal di permukiman kumuh tak berizin harus di relokasi ke tempat lain seperti rusunawa. Mereka dapat diberikan tempat tinggal yang layak dengan biaya sewa yang rendah agar mereka tak lagi menjadi beban bagi kota Jakarta. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki KTP DKI, dengan terpaksa mereka harus dipulangkan ke daerah masing-masing

Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sangat gencar melakukan relokasi beberapa permukiman kumuh di bantaran kali sungai Ciliwiung di Kampung Pulo Jatinegara dan di Kalijodo, melanjutkan program normalisasi sungai di Jakarta yang pernah dicanangkan sebelumnya oleh Gubernur Jokowi pada tahun 2012 lalu.

Target pertama adalah sungai Ciliwung, sebagai sungai terbesar yang membelah kota Jakarta dan yang paling potensial untuk dibenahi. Untuk itulah Ahok melakukan program relokasi warga yang bermukim di bantaran kali. Ahok bukan sekadar menggusur warga., namun sebelumnya Ahok telah mempersiapkan ribuan rusunawa yang akan digunakan untuk menampung warga yang terkena program normalisasi sungai Ciliwung tersebut.

Kebijakan tersebut jelas memicu pendapat pro-kontra. Kaum pro menilai apa yang telah di Ahok adalah tepat dan sudah semestinya dilakukan. Kaum kontra justru menilai bahwa Ahok menindas rakyat kecil karena melakukan penggusuran. Bila mengikuti pendapat kontra yang menolak relokasi warga, maka hal ini jadi serba salah. Sebab bila kawasan kumuh tidak ditertibkan, maka masalah banjir tak akan bisa diselesaikan. Di sisi lain, kawasan kumuh telah melanggar peraturan daerah dan tidak boleh terus menerus dibiarkan keberadaannya.

Jakarta sebagai ibukota seharusnya bisa menjadi barometer dan contoh bagi kota-kota lainnya di Indonesia. Kawasan permukiman kumuh yang tidak segera dibenahi akan menjadi semakin luas dan menimbulkan masalah lain yang seharusnya tidak pernah terjadi dan mengganggu keberlangsungan seluruh aktivitas baik pemerintahan, bisnis, dan kehidupan sehari-hari.

Dalam penyelesaian masalah ini, kota ini perlu kerjasama semua pihak. Seluruh warga Jakarta harus patuh dan taat terhadap peraturan dan ketentuan yang telah di tetapkan Pemerintah. Warga yang ingin mengadu nasib dan mencari nafkah di Jakarta juga seharusnya mempersiapkan diri mereka dengan kemampuan dan keterampilan memadai.

Kota ini perlu berbenah. Kota ini harus bisa sejajar dengan kota metropolitan lainnya di dunia ini.

Ditulis oleh Ahmad RIzky Alfian, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun