Mohon tunggu...
Andreas Doweng Bolo
Andreas Doweng Bolo Mohon Tunggu... Dosen - fides et ratio

Biodata: Nama: Andreas Doweng Bolo Pekerjaan: Dosen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kisah Demokrasi (Baca: Pemilu) di Negeri Pancasila

17 Februari 2023   11:56 Diperbarui: 18 Februari 2023   11:24 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi berarti juga   narasi kekayaan negeri ini terus diberi ruang-Foto kegiatan napak tilas bersama Kepurbakalaan Provinsi Jabar (dokpri)

Demokrasi (baca: Pemilu) merupakan pilihan manusia sampai abad 21 ini dalam mengelola hidup bersama yang paling kecil resikonya bagi kehancuran ruang publik dan lebih dari itu umat manusia. 

Pemilihan umum merupakan salah satu praktik demokrasi yang paling banyak mendapat sorotan. Hal ini tentu lumrah karena pemilu menjadi praktik demokrasi paling besar terutama dalam hal pelibatan rakyat. Pelibatan rakyat yang banyak juga berarti pengeluaran dana yang besar untuk  ritual limatahunan sebagaimana di Indonesia. 

Biaya pemilu dibebankan kepada negara, partai, kelompok, dan individu-individu dan sesungguhnya kepada semua warga negara yang telah dengan setia membayar pajak untuk jalannya negara ini. Acapkali yang menjadi sorotan sekurang-kurangnya di era reformasi ini adalah biaya pemilu yang besar. 

Biaya Pemilu yang tinggi bagi calon eksekutif atau legislatif dari tingkat pusat sampai daerah yang menjadi bincangan di negeri, baik terbuka, semi terbuka, maupun tertutup. Untuk wilayah ini, semakin terbuka informasi sebenarnya tak banyak diperoleh kejelasan besarnya biaya itu. Namun bila bincangan itu semakin tertutup informasi mahalnya ongkos politik itu lebih jelas. Adalah Ridwan Kamil yang menyebut biaya pilpres yang fantastik dalam sebuah acara di  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2/12-2022). 

Angka yang disebutkan RK (panggilan akrab Gubernur Jawa Barat itu) adalah Rp. 8 triliyun, angka yang diperoleh RK dari hasil riset, walaupun RK tak menyebut hasil riset dari lembaga mana. Perludem kemudian juga melontarkan pertanyaan, mengapa biaya calon eksekutif atau legislatif yang besar itu tak terekrepresi dalam laporan kandidat?

Ongkos yang tak sedikit itu juga bisa terkonfirmasi dengan mencuatnya berita di bulan Februari  tentang kitaran uang 50 milyar dalam Pilkada DKI antara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno diungkapkan Erwin  Aksa di  channel YouTube Akbar Faizal.  Berita perihal utang piutang ini masih diangkat lagi oleh Kompas.com, Senin 13/12-2023 berjudul  "Lika-liku Utang Piutang Anies Baswedan dan Sandiaga Uno". 

Sebenarnya pada bulan Juni 2022, Alexander Marwata, salah seorang Komisioner KPK (Kompas.com, 30/06/2022) mengatakan bahwa riset KPK tentang biaya calon kepala daerah tingkat-2 yang akan maju dikitaran 20-30 milyar dan untuk gubernur di atas 100 milyar. Hal ini tentu tidak mengagetkan bila kita juga menyimak riset yang dilakukan UGM sebagaimana dikatakan pengamat politik UGM Sukmajati bahwa laporan dana kampanye pilkada kabupaten/kota tak mencerminkan realitas sesungguhnya. Karena sesungguhnya yang terjadi 15 kali sampai 20 kali angka yang dilaporkan itu (Kumparan News, 3/12/2022).

Tantangan di setiap zaman

Setiap era kepemimpinan memiliki tantangan tersendiri perihal demokrasi, terutama praktik pemilu. Setelah kemerdekaan di masa Presiden Sukarno tantangan demokrasi bisa dikatakan berasal dari luar yaitu dari para penjajah yang ingin kembali menguasai wilayah ini. Dalam suasana ini pemilihan umum tak bisa diselenggarakan dan baru kemudian dilaksanakan di tahun 1955 atau sepuluh tahun setelah kemerdekaan. Di zaman Presiden Suharto hambatan pemilu berasal dari dalam negeri terutama dari penguasa yang menyebut diri Orde Baru (Orba). Rezim diktaktor dan otoriter ala Suharto membuat praktik pemilihan umum di era ini penuh manipulasi, intimidasi, dan kekerasan oleh penguasa.

Selepas reformasi persoalan yang muncul silih berganti dalam pemilu yaitu politik identitas dan politik uang (money politic). Kedua persoalan itu paling mencemaskan dalam praktik demokrasi (baca: pemilu) di era reformasi ini. Kedua persoalan ini biasanya berhimpitan satu dengan lainnya. Politik identitas acapkali digerakan oleh modal yang besar untuk membentuk opini publik, mengerahkan massa, dan berbagai aktivitas anti demokrasi lainnya. Seringkali dikatakan bahwa politik identitas itu berbiaya kecil tetapi sejatinya dia mengorbankan biaya politik sangat tinggi. Karen ia merusak sendi-sendi hidup bersama sebagai manusia. 

Politik identitas sering muncul karena ketakmampuan kita sebagai warga negara berpartisipasi dalam ruang publik atau partisipasi kita hanya setengah-setengah. Dalam tulisan, Luky Djani berjudul "Peran Uang dalam Demokrasi Elektoral Indonesia" dalam buku, Merancang Arah Demokrasi Indonesia Pasca-Reformasi (KPG 2014:185) dijabarkan bahwa   ada ketidakpercayaan fatal dan nafsu akan kekuasaan dan uang yang besar dalam diri konstituen dan calon. Calon yang tidak percaya diri namun ingin berkuasa acapkali menggelontorkan dana besar walaupun para konstituen belum tentu memilihnya. 

Sementara para konstituen membutuhkan dana, uang sesegera mungkin karena mereka pun tak percaya calon itu akan memperhatikan mereka jika dia sudah duduk di eksekutif atau legislatif. Sementara penyelenggara pemilu yang ada dalam kitaran koruptif ini menambah lengkap remuknya demokrasi kita.

Nafsu akan uang dan nafsu ingin berkuasa senantiasa mengitari perhelatan pemilihan umum. Pertanyaannya, bagaimana menghentikan atau sekurang-kurangnya meminimalisir situasi ini? Rasanya, perangkat hukum, badan pengawas dan berbagai organ penjaga jalannya pemilu terus dibenahi dengan semakin canggih. Tulisan ini tak ingin masuk keberbagai struktur dan mekanisme yang sudah dibangun dan terus dibenahi. Penulis ingin masuk ke suatu yang sederhana sekaligus yang menjadi ciri martabat manusia yaitu akal budi dan suara hati.

Bung Karno telah menunjukkan pada kita apa artinya
Bung Karno telah menunjukkan pada kita apa artinya "Perjuangan" (dokpri)

 

Akal Budi dan Suara Hati

Immanuel Kant (1724-1804)  dalam bukunya Zum ewigen Frieden (1795) menandaskan: "Tentang pendirian Negara-betapa kerasnyapun peryataan ini-dapat dipecahkan bahkan oleh suatu bangsa setan-setan (asalkan mereka memiliki akal)" (Lih. F. Budi Hardiman Demokrasi dan Sentimentalitas, 2022: 33-34). Bila pernyataan ini kita letakan pada proses demokrasi, terutama pemilu, kita bisa mengatakan bahwa pemilu bahkan dalam bangsa setan-setan, berarti seperti sifat dasar setan yang egois absolut, penuh nafsu mutlak untuk diri sendiri, pun bisa tertata asal punya akal.

Ruang akal dalam pesta demokrasi perlu dilatih, ruang akal itu adalah ruang berbagai pernyataan diuji secara terbuka dan bertanggungjawab demi kepentingan publik. Ruang bagi diskursus berdasarkan akal akan semakin berdaya guna bila ada tempat suara hati di dalamnya. Dua hal ini kedengaran kuno bahkan mungkin sangat kuno, tetapi dua hal itulah yang yang tak pernah boleh dilupakan karena ia juga menjadi fondasi penting kelangsungan hidup manusia makhluk yang tak signifikan ini (Yuval Harari, 2011: 3-4).

Pemilu yang sudah mulai menjadi isu hangat di ruang publik harus terus didasari pada dua humus purba kemanusiaan kita yaitu akal budi dan suara hati. Hanya dengan itu, kekuasaan dan nafsu bisa dikendalikan dan dikritisi secara memadai. Pemilu akhir menjadi ujian bagi setiap generasi sejauh mana menghidupi hakekat dasar kemanusiaan itu. Dengan tumbuhnya dua unsur penting kemanusiaan ini maka juga akan tumbuh ciri martabat manusia lainnya yakni makhluk sosial (homo socius) dan manusia sebagai makhluk unik, personal.

Semakin baik kita mengelola kemanusiaan kita berdasarkan akal budi dan suara hati  semakin tumbuh sehat demokrasi kita menuju peradaban politik yang berdasarkan Pancasila falsafah bangsa kita. Dan itu berarti demokrasi menjadi sebuah suka cita menuju kesejahteraan bersama seluruh warga bangsa. Bila kebahagiaan itu terjadi terjadi, seberapa mahal pun ongkos politik itu akan ditanggung bersama dengan riang gembira karena semua itu demi kebaikan kita semua.  

Demokrasi berarti juga   narasi kekayaan negeri ini terus diberi ruang-Foto kegiatan napak tilas bersama Kepurbakalaan Provinsi Jabar (dokpri)
Demokrasi berarti juga   narasi kekayaan negeri ini terus diberi ruang-Foto kegiatan napak tilas bersama Kepurbakalaan Provinsi Jabar (dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun