Mohon tunggu...
Andreas Doweng Bolo
Andreas Doweng Bolo Mohon Tunggu... Dosen - fides et ratio

Biodata: Nama: Andreas Doweng Bolo Pekerjaan: Dosen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kisah Demokrasi (Baca: Pemilu) di Negeri Pancasila

17 Februari 2023   11:56 Diperbarui: 18 Februari 2023   11:24 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi berarti juga   narasi kekayaan negeri ini terus diberi ruang-Foto kegiatan napak tilas bersama Kepurbakalaan Provinsi Jabar (dokpri)

Sementara para konstituen membutuhkan dana, uang sesegera mungkin karena mereka pun tak percaya calon itu akan memperhatikan mereka jika dia sudah duduk di eksekutif atau legislatif. Sementara penyelenggara pemilu yang ada dalam kitaran koruptif ini menambah lengkap remuknya demokrasi kita.

Nafsu akan uang dan nafsu ingin berkuasa senantiasa mengitari perhelatan pemilihan umum. Pertanyaannya, bagaimana menghentikan atau sekurang-kurangnya meminimalisir situasi ini? Rasanya, perangkat hukum, badan pengawas dan berbagai organ penjaga jalannya pemilu terus dibenahi dengan semakin canggih. Tulisan ini tak ingin masuk keberbagai struktur dan mekanisme yang sudah dibangun dan terus dibenahi. Penulis ingin masuk ke suatu yang sederhana sekaligus yang menjadi ciri martabat manusia yaitu akal budi dan suara hati.

Bung Karno telah menunjukkan pada kita apa artinya
Bung Karno telah menunjukkan pada kita apa artinya "Perjuangan" (dokpri)

 

Akal Budi dan Suara Hati

Immanuel Kant (1724-1804)  dalam bukunya Zum ewigen Frieden (1795) menandaskan: "Tentang pendirian Negara-betapa kerasnyapun peryataan ini-dapat dipecahkan bahkan oleh suatu bangsa setan-setan (asalkan mereka memiliki akal)" (Lih. F. Budi Hardiman Demokrasi dan Sentimentalitas, 2022: 33-34). Bila pernyataan ini kita letakan pada proses demokrasi, terutama pemilu, kita bisa mengatakan bahwa pemilu bahkan dalam bangsa setan-setan, berarti seperti sifat dasar setan yang egois absolut, penuh nafsu mutlak untuk diri sendiri, pun bisa tertata asal punya akal.

Ruang akal dalam pesta demokrasi perlu dilatih, ruang akal itu adalah ruang berbagai pernyataan diuji secara terbuka dan bertanggungjawab demi kepentingan publik. Ruang bagi diskursus berdasarkan akal akan semakin berdaya guna bila ada tempat suara hati di dalamnya. Dua hal ini kedengaran kuno bahkan mungkin sangat kuno, tetapi dua hal itulah yang yang tak pernah boleh dilupakan karena ia juga menjadi fondasi penting kelangsungan hidup manusia makhluk yang tak signifikan ini (Yuval Harari, 2011: 3-4).

Pemilu yang sudah mulai menjadi isu hangat di ruang publik harus terus didasari pada dua humus purba kemanusiaan kita yaitu akal budi dan suara hati. Hanya dengan itu, kekuasaan dan nafsu bisa dikendalikan dan dikritisi secara memadai. Pemilu akhir menjadi ujian bagi setiap generasi sejauh mana menghidupi hakekat dasar kemanusiaan itu. Dengan tumbuhnya dua unsur penting kemanusiaan ini maka juga akan tumbuh ciri martabat manusia lainnya yakni makhluk sosial (homo socius) dan manusia sebagai makhluk unik, personal.

Semakin baik kita mengelola kemanusiaan kita berdasarkan akal budi dan suara hati  semakin tumbuh sehat demokrasi kita menuju peradaban politik yang berdasarkan Pancasila falsafah bangsa kita. Dan itu berarti demokrasi menjadi sebuah suka cita menuju kesejahteraan bersama seluruh warga bangsa. Bila kebahagiaan itu terjadi terjadi, seberapa mahal pun ongkos politik itu akan ditanggung bersama dengan riang gembira karena semua itu demi kebaikan kita semua.  

Demokrasi berarti juga   narasi kekayaan negeri ini terus diberi ruang-Foto kegiatan napak tilas bersama Kepurbakalaan Provinsi Jabar (dokpri)
Demokrasi berarti juga   narasi kekayaan negeri ini terus diberi ruang-Foto kegiatan napak tilas bersama Kepurbakalaan Provinsi Jabar (dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun