Mohon tunggu...
Zahir Makkaraka
Zahir Makkaraka Mohon Tunggu... Dosen - Belajar dalam segala hal

Lagi mencari guru dan tempat berguru!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Terlarang (3)

2 Januari 2018   08:13 Diperbarui: 2 Januari 2018   08:32 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada tiga resolusi terbesarku tahun ini: segera menyelesaikan studi, bekerja dan menikah. Pragmatis sekali. Iya, mungkin aku sudah menjadi pengikut Pierce, William James atau instrumentalisme ala Jhon Dewey. 

Entahlah. Kobar idealisme kala mahasiswa S1 dulu, kini sekedar koar-koar saja. Mungkin pula sosok Aristippus telah mewujud dalam diriku, murid Socrates yang menekankan kebahagiaan dengan pemenuhan kesenangan-kesenangan materil. Mata sayu nan ayu yang ingin kumiliki, hedonkah aku? atau inikah Eudaimonia terbaikku kini? "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu...."

Tentang kesendirian, adalah temanku yang sudah lama. Umurku yang belum cukup dua tahun, ibu telah meninggalkanku sendiri, menghadap ke Ilahi Rabbi. Ayah..., aku tak pernah mengenal sosok itu. 

Aku hanya mengenal kakek  dan adik-adik dari ibuku. Berbilang ratusan kilo meter jarak antara tempat aku dibesarkan hingga menamatkan SMA dengan tempatku sekarang. Aku melanjutkan S1 berkat adik-adik ibuku. Aku adalah cucu pertama dari kakek dan merekalah yang mengganti kasih sayang seorang ibu bagiku. Tentang wanita, aku hanya menjadi pemuja rahasia. 

Aku tak pernah mengenal pacaran, tapi jatuh cinta adalah sesuatu yang sering bagiku. Dan pada pemilik mata sayu nan ayu adalah yang kesekian kalinya, harapku membuncah agar kesendirian segera tak bersuasa lagi.

Kau,
Disini saat kusapa dirimu,
Ragu dan malu hantui diriku,
Tiada kata terucap tanpamu,
Tersenyum menatap malu-malu.

Rona merah pipimu,
Terlukis jelas di wajahmu,
Diam membisu kuingat,
Senyuman manis walau sesaat.

Bayangan dirimu,
Selalu mengisi hatiku,
Bilakah kan terjadi,
Kau 'kan jadi milikku selamanya.

Kau,
Tiada kata terucap 'tuk,
Ungkapkan isi hati,
Dan,
Beri aku asa yang datang mengisi hidupku.
Kau,
Mungkinkah kau tahu apa,
Yang ada di hati dan,
Kau,
Pergi di saat kuyakini hatiku untukmu.
('Kau'- T-Five)
*****

"Pak, bapak lihat tadi perempuan yang berjilbab biru di sini menunggu?" Tanyaku kepada Pak Satpam yang lagi berdiri di depan pintu utama gedung B tak jauh dari ruang tunggu. Darinya kudapatkan informasi bahwa sepanjang bersamaku ke gedung A, hanya waktu itulah Pak Satpam melihat gadis bermata sayu nan ayu itu.

"Ah..., kampret!" Baru aku sadar bahwa dia ketika kusampaikan kepadanya untuk menungguku, dia hanya berbalik melihatku. Tidak mengangguk atau mengatakan iya sebagai tanda persujuan. Serapah meluncur dari mulutku untuk diriku sendiri.

Urusan administrasi seminar proposalku sudah rampung. Salah satu kebahagiaanku hari ini, kebahagiaan terbesarnya adalah meski hanya hitungan menit bersama pemilik mata sayu nan ayu itu. Dimana dia sekarang? Batinku.

Aku putuskan untuk ke salah satu gerai buku terbesar yang ada di mall yang tak jauh dari kampus. Hari jum'at kemarin di ponselku ada tiga kali pesan masuk dari 3346, berarti uang bulan dari saudara ibu yang lain masuk ke rekeningku. 

Cukuplah untuk membeli tiga atau empat buku. Pamanku yang kutemani sekarang adalah saudara ibu yang menanggung biaya kuliahku selama S1 dulu, sedang S2-ku saat ini kujalani dari beasiswa dari pemerintah. Aku bersyukur punya paman dan tante yang sangat perhatian padaku. Maklum aku adalah ponakan pertama mereka. Sepupu di bawahku baru kelas X SMA. Berselisih 8 tahun dariku.

Memasuki gerai buku itu, lagu 'Akad' dari Payung Teduh melantun indah memenuhi seluruh ruang. Tas dan jaket aku simpan di tempat penitipan barang. Baris buku filsafat menjadi arah pertamaku. 'Sejarah Barat Kontemporer: Prancis' karya K. Bertens adalah pilihanku. Sebenarnya aku tertarik dengan novel 'Dunia Anna' yang serupa 'Dunia Sophie' karena penulisnya sama, Jostein Gaarder.

 Tapi nantilah bulan depan, sudah kumasukkan dalam target belanjaku bulan depan. Harganya masih tergolong murah, kiranya lembaran wajah proklamator disodorkan pada kasir masih ada kembaliannya. 

'Be Moslem Scientists - Juz 1' tulisan Muslim Iqbal Ramadhoni dan Iis Haryati menjadi pilihanku. Lebih murah dibanding buku yang kubeli sebelumnya. berselisih melebihi nominal lembaran yang bergambar pahlawan dari Papua. 

Kalau sekiranya saya mengambil satu buku yang berkaitan dengan agama, berarti target 1 novel indie tak bisa kupenuhi. "Ah..., nantilah. Bulan depan lagi baru ke sini." Kutinggalkan deretan buku-buku tentang agama. Aku ke sudut ruangan dengan lampu yang sedikit temaram. Lumen lampunya berbeda dengan lumen lampu di deretan buku lain. Aku berjalan ke sana.

"Mas suka baca novel juga ya?" Aku menoleh ke kanan, ke arah sumber suara yang menyapaku.

................

*****

(Tunggu lanjutannya sekiranya berkenan....)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun