Begitulah cara kebanyakan orang dayak memperlakukan tamu yang berbeda keyakinan. jadi tak usah sengit bicara toleransi dengan mereka. Mereka tak butuh facebook untuk sekedar berkoar-koar apalagi mencitrakan dirinya soal toleransi.
Ada pula cerita lainnya, dari seorang kawanku yang lainnya. Ia bersama beberapa kawannya sesama nasrani pernah tinggal dalam satu asrama dengan beberapa kawan muslim. Karena jumlah kamar mandi yang terbatas, tepatnya hanya ada satu kamar mandi di asrama mereka, maka mereka sepakat untuk mendahulukan giliran mandi kawan-kawan muslimnya di waktu sore. Tujuannya, tentu saja agar kawan-kawan muslimnya bisa berangkat sholat maghrib dengan tepat waktu di masjid.
SANG KHALIFAH DAN USKUP SOPHRONIUS
Tahun 627 masehi, Yerusalem yang dikuasai Imperium Byzantium berhasil dibebaskan oleh pasukan islam dibawah komando Abu Ubaidah. Patriarch Yerusalem waktu itu, Uskup Agung Sophronius hanya mau menyerahkan kunci kota Yerusalem kepada Umar bin Khatthab sebagai pemimpin tertinggi kekhalifahan islam. Usai seremoni penyerahan kunci kota, Uskup Sophronius mengajak sang khalifah berkeliling kota untuk memperkenalkan sudut-sudut kotanya. Perjalnan berkeliling tak terasa sampai ke waktu sholat bagi Umar. Uskup Sophronius menawarkan The Holy Sculpture, gereja makan suci Yesus untuk tempat sang khalifah melaksanakan sholat. Umar dengan sopan menolak tawaran baik itu.
"Aku takut bila aku sholat disitu, umat islam setelah generasiku nanti akan mengubah gereja-gereja kalian menjadi masjid-masjid" ujar sang khalifah.
Ia memilih melaksanakan sholat beberapa meter diluar bangunan gereja tersebut. Kelak, ditempat Khalifah Umar sholat itulah yang dimonumentasikan umat muslim dengan membangun sebuah masjid yang dikenal dengan nama Masjid Umar bin Khatthab.
Toleransi antar umat beragama bukanlah sebuah mitos. Adab semacam ini telah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw. Masyarakat masa kini yang masih skeptis pada konsep toleransi keberagamaan sudah seharusnya memiliki kesadaran pandangan yang terbuka dan luas dengan mempertimbangkan lagi faktor sejarah dan esensi dasar keberagamaan dan keberagaman. Pun halnya dengan umat islam yang punya sejarah besar dan megah soal toleransi.Â
Islam yang rahmatan lil alamin tidak boleh menyempit menjadi islam yang "rahmatan lil muslimin". Jangan kita menistakan kesemestaan islam dengan lokalitas dan segmentasi keislaman kita.
Selamat merayakan natal untuk kawan-kawanku, sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, orang-orang yang aku kasih sayangi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H