Cuaca diluar agak dingin. Sore tadi hujan turun lumayan deras. Agaknya itulah sebabnya yang membuat aku memikirkan untuk membuat segelas kopi malam itu. Tapi dasar sialan, persediaan kopiku habis.Â
Iwan rupanya mendengar keluhku. Ia menawarkan sebungkus kopi kemasan padaku. Tawarannya itu sudah pasti akan aku tolak jika saja malam itu aku tak sedang benar-benar mau membutuhkan segelas kopi untuk diminum. Aku tak terlalu suka kopi dengan campuran susu dan gula didalam satu kemasan. akan susah mengatur rasanya. biasanya akan terasa terlalu manis. Aku suka kopi dengan sedikit sekali gula bercampur didalamnya.
Stepi. Dia itu kawan lamaku. Orang Dayak, yang dengan segala bekal kemampuan dan pengalamannya, sudah duluan menyeduh segelas teh manis. Ia tak pernah bisa minum kopi. Kalau minum kopi, dia selalu bingung menjelaskan rasanya.Â
"Dirumahku tak pernah ada kopi" tegasnya. Lalu ia berkata lagi, "Dari dulu, kami satu rumah hanya minum teh manis saja" katanya. Ia bicara dengan gaya khasnya. Rokok menyelip di jari tangan, kami bersila dan tentu saja, logat dayak benuaq yang kental. Aku segera menyalakan sebatang rokok juga. dengan cara apa? dengan cara membakarnya menggunakan korek api gas. Kami berdua adalah perokok berat. Tapi Stepi lebih sinting. Ia bisa menghabiskan tiga bungkus rokok jenis mild dalam rentang dua puluh empat jam.
Dia ini seorang kawan lama yang bengal. Ayahnya dulu adalah salah satu tokoh adat terpandang di sebuah daerah bernama Damai, bagian dari wilayah Kabupaten Kutai Barat sekarang. Rumah mereka besar dan luas. Disanalah biasanya ayahnya mempertemukan dan mendamaikan warga bila ada yang bertikai atau mengadu soal-soal berkaitan hubungan dengan kehidupan sosial dan pemerintahan setempat. Tak jarang mereka semua yang tengah bertikai diajak untuk menginap bersama dirumah itu. Sebuah rumah bertipe panggung, khas rumah-rumah suku-suku pedalaman Kalimantan Timur. Tempat Stepi mengarungi masa kecilnya.
Tapi si bengal itu pulalah yang dulu menjual rumah legendaris itu. Â Ia perlu uang untuk membela kebiasaannya bermain judi adat. Mamaknya marah besar. Tapi ia adalah kesayangan sang ayah. Ayah Stepi juga adalah seorang yang senang berjudi adat tapi ia tak pernah sebangkrut si bengal itu. meski bengal, Stepi mewarisi sifat setia kawan dan toleransi tinggi dari ayahnya. Tidak usah heran. Etika dan toleransi adalah ajaran penting dalam kebanyakan rumpun-rumpun suku dayak, termasuk pula suku dayak benuaq. berabad-abad lamanya, tak pernah kita mendengar ada suku dayak menyerang kampung orang lebih dahulu. Begitu pula bila kedatangan tamu dari luar kampung mereka akan mengerahkan segenap sumber daya pelayanannya untuk menjamin kesenangan dan kenyamanan sang tamu.
"Hampir disetiap rumah warga-warga kami, kami punya lemari khusus untuk tamu muslim. Didalamnya kami simpan alat-alat minum dan makan". Ia menjelaskannya sambil meletakkan rokoknya di asbak.Â
Semua peralatan itu hanya akan dikeluarkan jika mereka kedatangan sanak famili atau tamu dari kalangan umat muslim. jadi itu semacam lemari "beragama" islam. mereka paham, umat muslim sangat menjaga kesucian makanan berikut alat-alat makannya dan itu semua sudah dilakukan selama bertahun-tahun seiring dengan menyebarnya ajaran islam di daerah mereka.Â
CERITA IBUKU
Aku ingat cerita ibuku. Suatu malam di tahun 70an ibuku dijemput seorang lelaki dayak. lelaki itu meminta ibuku membantu proses kelahiran anaknya di Lamin, rumah adat mereka yang terletak jauh dipinggiran kampung dengan hutan yang lebat. Waktu itu, ibuku masih seorang bidan muda yang ditugaskan di pedalaman Kutai Barat. Dulu, daerah itu masih bernama Kutai, sebelum dimekarkan di masa pemerintahan Presiden Gus Dur tahun 1999. Jarak antar kampung yang cukup jauh, lebatnya hutan dan belum adanya penerangan dari pemerintah waktu itu membuat ibuku tak bisa diantarkan kembali pulang sehabis membantu proses kelahiran.Â
Mereka menawari ibuku menginap di lamin, malam itu. Disana, ibuku disediakan alas tidur khusus, lalu paginya disediakan pula peralatan masak tersendiri. Mereka mempersilahkan ibuku memasak sendiri untuk minum dan makan pagi. Beras, ikan lengkap dengan bumbu-bumbu masaknya telah disiapkan. Setelah hari sudah cukup terang dan cerah barulah ibuku diantar kembali pulang.
Begitulah cara kebanyakan orang dayak memperlakukan tamu yang berbeda keyakinan. jadi tak usah sengit bicara toleransi dengan mereka. Mereka tak butuh facebook untuk sekedar berkoar-koar apalagi mencitrakan dirinya soal toleransi.
Ada pula cerita lainnya, dari seorang kawanku yang lainnya. Ia bersama beberapa kawannya sesama nasrani pernah tinggal dalam satu asrama dengan beberapa kawan muslim. Karena jumlah kamar mandi yang terbatas, tepatnya hanya ada satu kamar mandi di asrama mereka, maka mereka sepakat untuk mendahulukan giliran mandi kawan-kawan muslimnya di waktu sore. Tujuannya, tentu saja agar kawan-kawan muslimnya bisa berangkat sholat maghrib dengan tepat waktu di masjid.
SANG KHALIFAH DAN USKUP SOPHRONIUS
Tahun 627 masehi, Yerusalem yang dikuasai Imperium Byzantium berhasil dibebaskan oleh pasukan islam dibawah komando Abu Ubaidah. Patriarch Yerusalem waktu itu, Uskup Agung Sophronius hanya mau menyerahkan kunci kota Yerusalem kepada Umar bin Khatthab sebagai pemimpin tertinggi kekhalifahan islam. Usai seremoni penyerahan kunci kota, Uskup Sophronius mengajak sang khalifah berkeliling kota untuk memperkenalkan sudut-sudut kotanya. Perjalnan berkeliling tak terasa sampai ke waktu sholat bagi Umar. Uskup Sophronius menawarkan The Holy Sculpture, gereja makan suci Yesus untuk tempat sang khalifah melaksanakan sholat. Umar dengan sopan menolak tawaran baik itu.
"Aku takut bila aku sholat disitu, umat islam setelah generasiku nanti akan mengubah gereja-gereja kalian menjadi masjid-masjid" ujar sang khalifah.
Ia memilih melaksanakan sholat beberapa meter diluar bangunan gereja tersebut. Kelak, ditempat Khalifah Umar sholat itulah yang dimonumentasikan umat muslim dengan membangun sebuah masjid yang dikenal dengan nama Masjid Umar bin Khatthab.
Toleransi antar umat beragama bukanlah sebuah mitos. Adab semacam ini telah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw. Masyarakat masa kini yang masih skeptis pada konsep toleransi keberagamaan sudah seharusnya memiliki kesadaran pandangan yang terbuka dan luas dengan mempertimbangkan lagi faktor sejarah dan esensi dasar keberagamaan dan keberagaman. Pun halnya dengan umat islam yang punya sejarah besar dan megah soal toleransi.Â
Islam yang rahmatan lil alamin tidak boleh menyempit menjadi islam yang "rahmatan lil muslimin". Jangan kita menistakan kesemestaan islam dengan lokalitas dan segmentasi keislaman kita.
Selamat merayakan natal untuk kawan-kawanku, sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, orang-orang yang aku kasih sayangi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H