“Hingga waktunya tiba, kantong kepompong itu perlahan terbuka dan si Ulat yang ada di dalamnya perlahan keluar. Di balik punggungnya ada sayap. Ketika mengepakkannya sayapnya terlihat sangat besar dan sangat indah lebih dari sayapnya si Kupu-kupu.”
“Begitu si Ulat yang berubah jadi kupu-kupu, ia terbang di suatu siang melewati serangga-serangga yang dulu menjelekkannya. Mereka terkejut sekaligus takjub melihat kecantikan yang dimilikinya. Termasuk si Kupu-kupu yang juga ada di sana yang menjadi saingannya merasa kagum dengan perubahan si Ulat.“
Aku pun menutup cerita itu dengan senyuman yang tak luntur ketika menceritakan bagian akhir dari kisah si Ulat dan Kupu-kupu. Kulihat adikku sudah mulai mengantuk. Dia beberapa kali ketahuan menguap. Tetapi, ia berusaha untuk menahannya agar tetap menyimak ceritaku sampai tuntas.
“Nah, ceritanya sudah selesai.“ Aku mengingatkannya. “Waktunya tidur.“
“Nanti dulu kak … masih banyak pertanyaan di kepalaku.“
“Apa hubungannya kupu-kupu dengan masalahku?“
Aku menggelengkan kepala “Tidak-tidak, Tuan Puteri. Simpan saja pertanyaanmu untuk besok.”
“Kamu akan mengerti nanti. Sekarang ayo pergi ke kamarmu.” Aku pun mengantar Nadin ke kamarnya.
“Kak, apakah aku bisa menjadi kupu-kupu yang indah itu?“ ucap Nadin masih bertanya, meski sudah sampai di tempat tidurnya.
Aku mengangguk dan segera menyelimutinya tak lupa mengucapkan selamat malam padanya.
“Jadilah dirimu sendiri dan berusahalah. Kamu akan menjadi kupu-kupu yang sangat cantik seperti yang kamu inginkan, Adikku.“