Aku menatap rintik hujan yang kian deras turun dari langit. Sungguh, pada detik itu hatiku melompat senang. Sebab itu pertanda kamu tertahan disini, bersamaku lebih lama. Meskipun bukan aku yang menahanmu, tetapi hujan. Tapi sungguh hatiku berdesir senang.
"Hujannya semakin lebat ya?" katamu, memecah keheningan diantara kami sejak tadi.
Aku mengangguk, bingung ingin bicara apa.
"Kau selalu saja hapal minuman kesukaanku" katanya. Sambil menyesap secangkir minuman kesukaanmu, kopi tanpa gula.
 "Kau kan memang selalu suka itu" kataku, sambil menahan agar pipiku tidak bersemu merah.
Kali ini ia hanya tertawa, menunjukkan gusinya yang kemerahan. Dan aku selalu suka itu.
Secangkir kopi dan teh yang mengepul, lantai ubin yang dingin, juga rintik hujan yang enggan pergi merupakan saksi betapa pengecutnya aku. Ah Lihatlah, bahkan burung kenari di sangkar pun bersiul seolah menertawakan tingkahku. Dalam hati aku merutuk, untuk hari ini saja Tania, beranikan diri. Memang, apa susahnya?
Sungguh bukan hari ini saja, aku berniat untuk mengungkapkannya pada Radit. Iya Radit, pria yang lima tahun telah menempati ruang teristimewa dalam hati. Tapi jauh sebelum itu, aku sudah berniat memberitahu. Namun niat itu selalu pupus. Sebab mulutku yang tiba-tiba jadi kelu, tiap kali bertemu dengan manik matanya. Sebab tiba-tiba kegugupan melandaku, tiap aku mendengar langkahnya semakin mendekat. Hingga pada detik ini, ia pun sama sekali tidak tahu bahwa aku menyukainya.
"Esok aku akan berangkat lagi ke Kalimantan Tania. Masa libur kerjaku telah usai"
Aku menatapnya terjerembab. Jika sejurus kalimat itu terlontar. Maka itu sebuah pertanda untuk menyambut rutinitas yang selama ini kujalani, menantinya.
"Kapan kau kembali?" tanyaku, yang ingin tahu seberapa lama lagi aku harus menunggu.
"Tahun depan Tania"
Aku mengumpat dalam hati. Kalau begitu kau harus memberitahunya Tania. Setidaknya, ia harus tahu. Dan kaupun tidak terjebak pada prasangka yang kau bangun sendiri.
Hingga waktu telah lama bergulir. Hujan pun juga telah mereda. Tapi tidak ada sepatah katapun yang terlontar di bibir. Ah, cinta. Selain bisa membutakan mata, cinta pun bisa membisukan ya?
"Akhirnya hujan telah reda. Kalau begitu, Aku pergi ya"
Sejurus kalimatnya, membuat mataku meremang.
"Kenapa cepat sekali?"
"Hari telah sore Tania. Lain kali kalau ada waktu, aku akan mengunjungimu. Aku pergi ya" katanya sambil mengusap pelan puncak kepalaku. dan tiba-tiba tubuhku seperti tersetrum.
Aku hanya bisa melihat punggungnya yang kian menjauh, langkahnya pun kian samar terdengar. Hingga seketika sosoknya tak bisa tertangkap kedua bola mataku. Mencegahnya untuk tidak pergi saja aku tak bisa, apalagi mengutarakan perasaanku padanya?
Aku melenguh. Untuk kesekian kalinya aku tidak berani mengatakannya kepadamu. Ah Biarlah! meskipun aku tak mengutarakan padanya, meskipun perasaan ini begitu rapi kubungkus dalam bungkam. Dikatakan atau tidak, itu tetap cinta bukan?. Lagipula meskipun aku tak berani mengutarakan langsung padamu. Tapi, aku selalu terang-terangan merapal namamu dalam setiap untaian doaku. Barangkali, Tuhan mengizinkan hatimu berlabuh padaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H