"Tahun depan Tania"
Aku mengumpat dalam hati. Kalau begitu kau harus memberitahunya Tania. Setidaknya, ia harus tahu. Dan kaupun tidak terjebak pada prasangka yang kau bangun sendiri.
Hingga waktu telah lama bergulir. Hujan pun juga telah mereda. Tapi tidak ada sepatah katapun yang terlontar di bibir. Ah, cinta. Selain bisa membutakan mata, cinta pun bisa membisukan ya?
"Akhirnya hujan telah reda. Kalau begitu, Aku pergi ya"
Sejurus kalimatnya, membuat mataku meremang.
"Kenapa cepat sekali?"
"Hari telah sore Tania. Lain kali kalau ada waktu, aku akan mengunjungimu. Aku pergi ya" katanya sambil mengusap pelan puncak kepalaku. dan tiba-tiba tubuhku seperti tersetrum.
Aku hanya bisa melihat punggungnya yang kian menjauh, langkahnya pun kian samar terdengar. Hingga seketika sosoknya tak bisa tertangkap kedua bola mataku. Mencegahnya untuk tidak pergi saja aku tak bisa, apalagi mengutarakan perasaanku padanya?
Aku melenguh. Untuk kesekian kalinya aku tidak berani mengatakannya kepadamu. Ah Biarlah! meskipun aku tak mengutarakan padanya, meskipun perasaan ini begitu rapi kubungkus dalam bungkam. Dikatakan atau tidak, itu tetap cinta bukan?. Lagipula meskipun aku tak berani mengutarakan langsung padamu. Tapi, aku selalu terang-terangan merapal namamu dalam setiap untaian doaku. Barangkali, Tuhan mengizinkan hatimu berlabuh padaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H