demi puisi yang kukandung sendiri,
sejarah baru saja dilahirkan dari rahim gestalt dan sketsa rindu
bait-baitnya menebas jarak langit dan tanah
kemudian bercerita tentang samudera yang tak habis-habis menatap
kapal-kapal
demi intuisi mimpi khairan tadi malam,
angin mengajaknya melempar batu cadas kelam
sebelum akhirnya menemui tuan skeptis lorong-lorong
untuk sekedar menyampaikan saham kekasihnya
demi narasi yang berbicara untuk matahari,
bukanlah rahasia yang mesti diungkap dari surat-surat perih
bukanlah harapan yang terlampau lama mengendap
tapi jiwa yang bisa memahami siklus air dan cahaya
demi revolusi yang waktu cetuskan untukku,
biarkanlah aku bicara hari ini
lewat suara telephone yang berdering nyaring-nyaring
lewat kedamaian hati orang-orang yang berucap mazmur
dan doa
untuk sebaris abjad yang maknanya kusakralkan setiap harinya
demi destinasi yang dimensinya adalah nafas bagi segala ruang
dan berkias tentang sepasang camar yang mematuk
tebing laut asin bergantian
berdiam diantara batu karang
kulihat kau masih tegar bersandar pada bebatuan
milikku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H