dari wajah langitlah puisi ini pertama kali kubacakan
kau tinggalkan fosil kupu-kupu di teras rumah tuan tanah
seperti badai bulan april yang berkecamuk di antara celah hujan dan matahari
beberapa pekan lalu, ketika aku masih terlalu belia untuk berpuisi.
karena di atas tungku cinta pun terbakar menjadi abu
di antara ruas merah saga awan dan malam-malam khidmat
kau terbelalak mendekap segala tatap di mataku
sampai semua catatan yang tertulis pada lintas memo
untuk sekedar menghilangkan pengap
sambil menunggu jemputan angin yang akan  membawa senyum kita,
dari melodrama malam yang digelar semaunya.
setelah itu kita tidak saling sapa
dan melukis jejak-jejak bisu pada selembar papirus.
di ruas malam ini ada yang tersesat
-ada yang tidak tahu arah jalan pulang
karena cinta yang direnggut angin malam
karena tawa yang terlanjur bungkam dalam rongga dada
;begitulah kusebut kau yang tersesat
hanya jelempah yang beringsut pada musim yang kuncup
tanpa menanyakan kabar terakhirmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H