Pada keduluan yang purba, hingga kini
aku tulis sebuah kenangan yang kekal
pada ruh dan jasad huruf yang terangkai elok
dan menghilang di akhir sebuah lam.
Telah kau bangun kota sirah di dadaku
lalu kurawat seumpama nyawaku sendiri
telah kau tanam benih filantropi di batinku
lalu kupelihara semisal darah dan nadi dalam tubuhku
kau bisikkan percik kerinduan
aku mendengarnya
kau madahkan kata yang kau rangkai dari sunyi
aku menyimaknya
itulah kata yang sulit kuingat
sekaligus sulit kulupa
setelah aku mengingatnya.
Musim-musim pun retak
mengawali sebuah parak
akhirnya kita berpisah
menuntaskan perbincangan
menyerahkan kerangka tubuh kita
pada sisa hari dan detak detik
semudah itukah kau artikan pertemuan
setelah entah bangku ke berapa kita huni
dalam simfoni kemesraan?
Sedloif itukah kau maknai diriku?
Aku termangu dalam dekap sunyi yang agung
menepi pada sepi yang rindang
hanya sekadar menunggumu yang tak kunjung pulang Â
menjelang senja, kutapis senyumku yang renta lantaran mengingatmu
dan semua akan pergi, pada akhirnya.
Maka, setelah kuceritakan semuanya
usai kukisahkan padamu mengenai luka,
sebenarnya tak ada yang akan benar-benar pergi
kalau hujan dan kemarau yang kita khidmati bersama
telah selesai kau lukis menjadi kelukur belasungkawa di kepalaku.
Kau jauh lebih sepi dari dunia dan semesta yang kukenali kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H