Gelagarkan puisi dengan bibir yang gemetar menyebut namamu untuk yang kesekian, Ayah!.
Dasawarsa Kedua...
Hanacaraka hujan berbaris rapi di langit sana, sekan bersiap turun ke bumi mengguyur rindu yang bersemayam dalam jiwa kekasih.
Ilusi seraya berbisik pada sunyi, "biarkan saja! sebab musim mesti berganti." Sedangkan dirimu enggan kembali.
Jemputlah! di ruang ini kami cemas menunggu senjamu.
Kita sama-sama tercabik oleh musim. Juga sama-sama pasrah pada rasi takdir Tuhan di langit sana.
Lantas menjeritkan lagu perkabungan bagi yang tak sanggup meratap kerinduan.
Maknailah diri dalam hidup yang dijanjikan, Ayah!.
 Dasawarsa Ketiga...
Nalam cuaca pertama kali berkenalan dengan sajak salju sebab rindu yang resah kesekian.
Obituari hujan pun membaurkan pertemuan singkat dan perpisahan berkelanjutan seolah tak ada yang mesti diperbincangkan.