Selalu ada yang tertinggal di tepi subuh,
masih tergambar jelas raut wajahmu yang sendu, Ayah...!
kendati ruh yang pergi tanpa pamit,
hanya sisa petuah suci dan jejalan basah
kabut senja ini terlalu tebal tak henti mengejar waktu, dan deru nafas yang berhembus itu senantiasa ingin berkata,
"Ayah, jarak telah kuhamparkan semakin jauh ku melangkah, serasa jejakmu kian abadi tak terhapuskan oleh angin dan cuaca!"
maka dengan sepi aku pun bersitatap,
ada senyum tulusmu di sana
seakan memintaku untuk tidak berhenti mengulun mimpi-mimpi, lalu menyanyikan mazmur do'a atas rindu yang baru.
Di bawah lampu kantor yang redup sebagian, segelas teh
dan buku-buku tebalmu yang kini lusuh, kubaca dengan segenap sepi yang sesak,
"Ayah, silsilah cerita ini terlalu panjang, dan aku tak sanggup meresumenya  menjadi ikhtisar yang berarti, sebab bagiku kau adalah kenangan yang tak pernah mati dalam pikiranku!"
Maka malam-malam pun terlewati.
gelisah kukhidmati seluas ruang kelas dan perpustakaan.
Kau pun pergi.
Tapi wajah sendumu selalu memintaku untuk meng-kuduskan  perjalanan dengan keikhlasan.
Ayah,
terimakasih atas gema do'a dan puisimu sepanjang malam lalu
sungguh,
do'aku dan seluruh anak-anakmu akan tetap mengalir  dan mengairi tanah pekuburanmu yang teduh
Selamat jalan! menemui cinta dan dan kasih Tuhan...!
Malaikat pun mengamini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H