Mohon tunggu...
Fauziyah Kurniawati
Fauziyah Kurniawati Mohon Tunggu... Penulis - A Genuine Dreamer

Struggling Learner / Random Writer / Poem Addict

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan di Ujung Sabana

14 Oktober 2020   19:38 Diperbarui: 14 Oktober 2020   23:00 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Remang. Bagiku hidup ini seperti kecubung layu di antara semai perasaan berairmata. Aku dilahirkan dari rahim seorang wanita  yang selalu menciptakan riuh di gendang para penemu Tuhan dan dihasilkan dari benih seorang lelaki yang  jauh dari takbir para malaikat Tuhan. Aku biasa memanggil mereka dengan sebutan ayah dan ibu, meski sebenarnya hati ini masih menyimpan gundah di balik karakter yang belum sempat kupahami dari keduanya.

Aku melalui waktu dan perasaan, dengan hati yang tak pernah damai karena silsilah karang yang terhempas nafsu oleh cinta yang tak pernah puas di antara ayah dan ibuku. Setiap hari yang kudengar hanyalah gendoran pintu dan suara yang menggelegar pilu pada bilik kamar yang bisu.

Terkadang aku berpikir, mengapa mereka mengajarkan aku ketidakdamaian dan ketidakpuasan, padahal aku berharap dalam keluargaku terjalin sebuah ukhuwah yang bisa mengantarkanku pada gerbang kasih sayang yang dipenuhi rahmat-Nya.  Ayah! Ibu! Aku rindu nasehat  kalian, aku rindu belaian kasih kalian, dan aku juga rindu senyum yang dulu senantiasa menghiasi bibir kalian hingga sempat menitikkan keharmonisan dalam bahtera keluarga ini. Ya, aku rindu.

@@@

Sendiri, sepi. Aku hanya terdiam tepat  di depan televisi memandangi bibir sayu ibuku  yang selalu membeku. Hanyalah cucuran airmata mengalir tak henti saat kulihat sosoknya tersorot lampu kamera bersama seorang lelaki durjana, bercumbu pada kelam yang menimang ratap airmata. Aku masih di sini menatap langit yang haru biru dengan kepedihanku. Keindahan seakan berbalik menjadi sekelumit duka yang tak pernah kuharap sejak terdengarnya kabar yang tak senonoh tentang ibuku.

Ruangan yang penga ini serasa seperti penjara tanpa sipir dengan aku sebagai penghuni tunggal. Saat ini fikiranku tak karuan. Aku stres. Kepalaku berat. Hari ini takdir telah menginjak-injak harga diriku dengan menciptakan skenario bahwa ayah dan ibuku akan berpisah. Hari ini aku sendirian. Yang jelas aku akan kehilangan semuanya. Dan sekarang aku belajar mengeksplorasi fikiranku ketataran hidup yang lebih leluasa ketika aku harus belajar pad akenyataan pahit ini.

@@@

Daarrr...! Daarrr...! Suara pecahan kaca terdengar dari ruang tamu. Dari situ, aku yakin bahwa suara itu adalah buah dari perselisihan ayah dan ibuku.

"Sebelumnya aku sudah menyangka bahwa omongan tetangga tentang sikapmu yang buruk itu memang benar." Suara ayah menggelegar bak seorang raja yang marah pada hulubalangnya karena tidak becus dalam pekerjaannya. Sedangkan ibu dengan santainya tetap memainkan rokok di tangannya tanpa memperdulikan celotehan ayah.

"Rita! Apa sih maumu, mengapa kamu tidak mendengarkan perkataanku dari tadi, memangnya kamu  anggap aku ini apa?" kata ayah menggertak ibu.

"Herman...! Asal kamu tahu ya, aku tidak puas dengan pelayananmu. Kamu terlalu egois dengan pekerjaanmu. Memangnya aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana. Ku tahu kebusukanmu. Aku juga tahu perlakuanmu terhadap wanita-wanita lain." Akhirnya ibu membalas perkataan ayah yang tak kalah panasnya. Ibupun melanjutkan perkataannya.

"Herman, seharusnya kamu sadar, Aira sudah besar, kita harus bisa menyelesaikan masalah ini tanpa sepengetahuan dia. Aku takut dia akan merekam tingkah laku kita kelak jika dia sudah berkeluarga."

Seketika itu ruangan penuh dengan perkataan ibu. Dan aku, yang dari tadi hanya menjadi penonton setia di balik pintu kamarku, dengan segenap perasaan pilu berteriak, "Cukup! Tanpa  Ayah dan Ibu khawatirkan, aku sudah mengetahui semuanya. Ibu, apakah Ibu tidak sayang pada Aira? Ayah, apakah Ayah tidak peduli pada Aira, sehingga Ayah dan Ibu memperlakukan Aira seperti ini? Aira benci pada Ayah dan Ibu!"

Akupun berlalu dari tatapan mereka dan membiarkan mereka berdiskusi sampai hati mereka benar-benar penuh dengan keputusan yang mereka hakimi sendiri.

@@@

Hari ini aku mencoba menghapus sesalku dengan membersihkan tempat tidur ayah dan ibuku. Aku memulainya dengan membersihkan lemari kecil di samping tempat tidur mereka. Kubuka pintu lemari dengan maksud merapikan isi-isinya yang sudah lama tak terawatt semenjak perselisihan menjadi teman karib mereka setiap pagi.

Ketika itu, mataku nanar, terpojok pada map merah yang sepertinya berisi dokumen baru dan terasa tabu untuk tidak kulihat. Perlahan aku membukanya dengan tangan gemetar dan hati yang tak karuan. Mataku terbelalak saat kulihat tulisan besar pada halaman pertama surat itu, "Surat Cerai".

Akupun lunglai dan tak ingat lagi dengan niatku yang semula ingin membersihkan tempat tidur ayah dan ibuku. Pikiranku langsung menebak bahwa surat itu adalah milik ayah dan ibuku yang telah mengakhiri memori mereka dengan keputusan di meja hijau sang hakim kemarin malam. Aku sedikit jengkel mengapa mereka tak memberitahuku sebelumnya tentang hal itu. Ternyata, mereka benar-benar telah menciptakan air mata di pelupuk mataku dan menggores luka di batinku.

Aku hanya bisa berharap dan berharap semoga ayah dan ibuku tetap dalam lindungan-Nya meskipun sudah tak berada dalam satu bahtera lagi dan akan menjalani hidup mereka masing-masing. Begitupun dengan diriku yang hanya akan bersandar pada perhatian nenek dan berlalu dengan kemandirian yang mesti kupupuk mulai saat ini.

@@@

Deru tangis kini menjadi harian pribadiku semenjak aku bergegas menuju palung kerinduan serupa peluk sayang ayah dan ibuku dulu. Aku yang dulu selalu dimotivasi Ayah untuk selalu berprestasi dalam dunia pendidikan dan aku yang dulu sering dimanjakan ibu untuk menjadi abdi keluargaku, kini hanya dapat mengais kelam di atas mimbar kelabu perjalanan hidupku.

Selama tinggal, Ayah! Selamat tinggal, Ibu! Aku akan selalu mengenal kalian sebagai sutradara kisahku yang penuh senyum, pun juga luka yang mendalam. Do'aku akan selalu menyertai kalian menuju tempat yang diridhoi-Nya, kekekalan surga-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun