Mohon tunggu...
Fauziyah Kurniawati
Fauziyah Kurniawati Mohon Tunggu... Penulis - A Genuine Dreamer

Struggling Learner / Random Writer / Poem Addict

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan di Ujung Sabana

14 Oktober 2020   19:38 Diperbarui: 14 Oktober 2020   23:00 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Herman, seharusnya kamu sadar, Aira sudah besar, kita harus bisa menyelesaikan masalah ini tanpa sepengetahuan dia. Aku takut dia akan merekam tingkah laku kita kelak jika dia sudah berkeluarga."

Seketika itu ruangan penuh dengan perkataan ibu. Dan aku, yang dari tadi hanya menjadi penonton setia di balik pintu kamarku, dengan segenap perasaan pilu berteriak, "Cukup! Tanpa  Ayah dan Ibu khawatirkan, aku sudah mengetahui semuanya. Ibu, apakah Ibu tidak sayang pada Aira? Ayah, apakah Ayah tidak peduli pada Aira, sehingga Ayah dan Ibu memperlakukan Aira seperti ini? Aira benci pada Ayah dan Ibu!"

Akupun berlalu dari tatapan mereka dan membiarkan mereka berdiskusi sampai hati mereka benar-benar penuh dengan keputusan yang mereka hakimi sendiri.

@@@

Hari ini aku mencoba menghapus sesalku dengan membersihkan tempat tidur ayah dan ibuku. Aku memulainya dengan membersihkan lemari kecil di samping tempat tidur mereka. Kubuka pintu lemari dengan maksud merapikan isi-isinya yang sudah lama tak terawatt semenjak perselisihan menjadi teman karib mereka setiap pagi.

Ketika itu, mataku nanar, terpojok pada map merah yang sepertinya berisi dokumen baru dan terasa tabu untuk tidak kulihat. Perlahan aku membukanya dengan tangan gemetar dan hati yang tak karuan. Mataku terbelalak saat kulihat tulisan besar pada halaman pertama surat itu, "Surat Cerai".

Akupun lunglai dan tak ingat lagi dengan niatku yang semula ingin membersihkan tempat tidur ayah dan ibuku. Pikiranku langsung menebak bahwa surat itu adalah milik ayah dan ibuku yang telah mengakhiri memori mereka dengan keputusan di meja hijau sang hakim kemarin malam. Aku sedikit jengkel mengapa mereka tak memberitahuku sebelumnya tentang hal itu. Ternyata, mereka benar-benar telah menciptakan air mata di pelupuk mataku dan menggores luka di batinku.

Aku hanya bisa berharap dan berharap semoga ayah dan ibuku tetap dalam lindungan-Nya meskipun sudah tak berada dalam satu bahtera lagi dan akan menjalani hidup mereka masing-masing. Begitupun dengan diriku yang hanya akan bersandar pada perhatian nenek dan berlalu dengan kemandirian yang mesti kupupuk mulai saat ini.

@@@

Deru tangis kini menjadi harian pribadiku semenjak aku bergegas menuju palung kerinduan serupa peluk sayang ayah dan ibuku dulu. Aku yang dulu selalu dimotivasi Ayah untuk selalu berprestasi dalam dunia pendidikan dan aku yang dulu sering dimanjakan ibu untuk menjadi abdi keluargaku, kini hanya dapat mengais kelam di atas mimbar kelabu perjalanan hidupku.

Selama tinggal, Ayah! Selamat tinggal, Ibu! Aku akan selalu mengenal kalian sebagai sutradara kisahku yang penuh senyum, pun juga luka yang mendalam. Do'aku akan selalu menyertai kalian menuju tempat yang diridhoi-Nya, kekekalan surga-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun