Bencana  memang tidak pernah yang tahu kapan datangnya, dan bila sudah ditentukan oleh Tuhan maka manusia tidak bisa menghindarinya lagi.  Saya akan menceritakan sebuah kisah nyata yang terjadi pada tahun 1996, namanya Kartini (bukan nama sebenarnya) memiliki suami dan 5 orang anak, 3 anak perempuan dan 2 anak lelaki yang bungsunya masih berumur 1 tahun.  Setiap harinya Kartini membantu suami untuk menambah penghasilkan keluarga dengan membuat batik tulis di rumahnya.  Uang penghasilan dari membatik biasanya digunakan untuk uang tambahan memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Sore itu jam 5 sore setelah memandikan si bungsu, Kartini menaruh si bungsu di ayunan kain yang berada di teras. Mumpung si Bungsu tidak rewel, Kartini melanjutkan membatik di teras rumahnya sekaligus menemani suaminya yang sedang membersihkan halaman rumah. Â Suami Kartini membersihkan daun yang jatuh dari rantingnya, dan melihat ada kabel listrik aliran di kampungnya yang putus dan masuk ke halaman rumahnya. Â Kabel listrik dengan ukuran besar berwarna hitam itu masih terhubung dengan tiang listrik di pinggir jalan yang ada di depan rumahnya, tanpa sengaja ternyata suami Kartini memegang kabel yang masih ada aliran listriknya dan tiba-tiba terhempas dan kejang-kejang.
 Kartini melihat suaminya tergeletak ditanah langsung histeris meminta tolong ke tetangga ataupun orang yang melintas depan rumahnya dan Kartini mulai berlari menghampiri suaminya.  Tetangga sekitar mulai berkumpul dan mengecek nadi suami Kartini yang ternyata masih berdetak lemah, selanjutnya mengangkat suami Kartini masuk ke dalam rumah Kartini.  Tak lama setelah suami Kartini diletakan di kursi panjang ruang tamu, ternyata suami Kartini telah menghebuskan nafas terakhirnya.  Kartini shock dan tak bisa mengucapkan sepatah katapun, para tetangga memutuskan supaya dilakukan visum untuk memastikan kematian suami Kartini dan jenasahnya dibawa ke salah satu rumah sakit di Cirebon.Â
Musibah ini tak pernah terpikirkan oleh Kartini dan keluarganya, setelah suaminya meninggal dan dimakamkan membuat Kartini limbung. Â Kartini mengatakan ke orang tuanya bahwa Kartini sudah gila, Kartini tidak tahu harus bagaimana. Â Dengan lima anak yang masih kecil, Kartini hanya memikirkan bagaimana cara membesarkan anak-anaknya ini. Â Memang ada uang santunan dari PLN yang diterima oleh Kartini sekitar 1 juta rupiah namun yang diterima hanya sekitar 700 ribu rupiah yang sudah dipotong pungutan liar yang saat itu masih banyak terjadi. Â Ternyata dengan menerima uang santunan itu, tidak membuat beban Kartini lebih ringan karena mertua Kartini marah dan sedih dengan mengatakan bahwa enak sekali Kartini menerima uang santunan itu padahal anaknya yang mati namun Kartini yang menikmati uangnya. Â Kartini semakin sedih mendengar ucapan itu dari mertuanya, dipikirnya Kartini senang mendapatkan uang santunan. Kalau memang bisa memilih, lebih baik suaminya tidak mengalami kejadian itu dan merengut nyawanya.
Untungnya orang tua Kartini masih hidup dan mulai membantunya dengan member Kartini modal untuk berjualan di pasar, Kartini hanya memikirkan mendapatkan uang dengan berdagang di pasar dan bekerja mati-matian untuk anak-anaknya.  Setiap pagi  setelah sholat Shubuh, Kartini mengayuh sepedanya menuju pasar dan berjualan, orang tua Kartini membantu merawat anaknya yang masih balita dan anak tertua yang saat itu masih berumur 12 tahun tetap bersekolah dan sepulang sekolah membantu pekerjaan rumah serta merawat adik-adiknya yang masih kecil.Â
Sore hari setelah menutup warung di pasar, Kartini pulang ke rumah dan malam harinya tetap bekerja  membatik di rumah.  Kartini bekerja tak kenal waktu selama bertahun-tahun hingga 3 anak perempuannya mulai lulus SMA dan merantau bekerja.  Masih ada dua anak laki-laki yang bungsu yang masih harus dirawat oleh kartini, namun tanpa disangka Kartini mulai mengalami kebangkrutan.  Warungnya tidak lagi selaris dulu dan Kartini mulai terlilit hutang ke pemasok warungnya.  Kebangkrutan Kartini salah satunya karena pelanggan yang biasanya berhutang tidak lagi membayar ke Kartini.Â
Tahun 2008 dengan kondisi terlilit hutang, Kartini akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan merantau ke ibu kota dengan menjadi seorang pembantu/asistan rumah tangga. Â Merantau menjadi seorang pembantu ini sebenarnya karena Kartini ingin membayar hutangnya yang menumpuk lebih dari 10 juta rupiah. Â Kartini tidak mau mati dengan meninggalkan utang, jadi uang gaji tiap bulan dikirimkan ke adiknya untuk mencicil utang ke pemasoknya. Â Kartini hidup prihati selama di Jakarta dan bertekad melunasi utangnya tanpa memikirkan hal lain. Â Kartini menceritakan hal ini ke saya dengan mengatakan bahwa selama ini dia seperti sudah kayak orang gila hanya memikirkan mendapatkan uang yang halal dan membayar utangnya. Â Kartini juga mengatakan kalau dia sangat trauma dengan kematian suaminya, selama hidupnya ini takut kalau terjadi kecelakaan pada dirinya dan kalau Kartini sampai mati maka siapa yang akan merawat anak-anaknya.Â
Kisah hidup Kartini dalam menjalani hidup ini sangatlah berat selama bertahun-tahun, yang dipikirkan oleh Kartini hanyalah bagaimana bertahan hidup bersama kelima anaknya.  Kejadian yang menimpa suaminya dan warung yang disudah berdiri bertahun-tahun pun tidak bisa bertahan, inilah salah satu pengalaman hidup yang sangat beresiko terjadi kecelakaan berakibat kematian dan kebangkrutan akan terjadi bila tidak memiliki asuranasi.  Hanya orang yang kuat dan tangguh seperti Kartini bisa menjalani, namun tetap  akan merasakan kecemasan bila nantinya terjadi musibah lagi. Itulah resiko bila seseorang tidak memiliki asuransi, baik jiwa ataupun bisnis.  Saat ini sudah ada asuransi yang sangat tepat dengan untuk melindungi keluarga seperti Kartini yaitu Asuransi Zurich.
Protection Ziaga Jiwa BMI
Kekhawatiran Kartini bila suatu saat terjadi sesuatu dengannya ini harusnya tidak perlu dirasakan bila kita tanggap resiko bencana dengan bergabung Asuransi  Ziaga Jiwa Zurich, dimana asuransi Ziaga Jiwa ini didistribusikan oleh Bank Mayapada International, Tbk.  Asuransi Ziaga Jiwa Zurich membantu menyelesaikan kewajiban keluarga hingga masa depan anggota keluarga terjamin, memiliki masa waktu perlindungan asuransi selama 10, 15, 20, 25 tahun atau hingga Tertanggung berusia 80 tahun.  Lama banget yaaa...dan tak perlu khawatir lagi seperti Kartini. Premi yang dibayarkannya pun tidak ada perubahan selama masa perlindungan asuransi serta tidak ada tambahan biaya lainnya selain premi asuransi Ziaga Jiwa ini.  Untuk pembayarannya bisa menggunakan metoda bulanan, triwulan atau tahunan sesuai kemampuan/perencanaaan keuangan keluarga.Â
Apabila terjadi kematian pada pemilik polis, Asuransi Ziaga Jiwa Zurich sangatlah mudah bagi keluarga/tertanggung untuk melakukan klaim dengan batas waktu 60 hari sejak kematian, yaitu hanya dengan mengisi klaim asuransi ini, mengembalikan polish asurasi yang asli dengan melengkapi dengan surat kematian dari rumah sakit dan instansi pemerintah, surat keterangan dari polisi bila terjadi kecelakaan seperti suami Kartini. Â Asuransi Ziaga Jiwa Zurich bisa diikuti oleh usia masuk tertanggung dari 15 hari hingga 54 tahun (ulang tahun terakhir) dan usia masuk pemegang polis dari 18 tahun hingga 99 tahun.Â
Zurich Insurance Group (Zurich Group) merupakan penyedia jasa asuransi yang telah berdiri sejak tahun 1872 di Zurich Swiss dan saat ini sudah memiliki nasabah perorangan, usaha kecil dan menengah maupun multinasional yang ada di 170 negara.  Di Indonesia, PT Zurich Insurance  Indonesia berdiri sejak tahun 1991 telah terdaftar sebagai penyedia jasa asuransi dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan  Indonesia, dengan memberikan perlindungan untuk nasabahnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H