Mohon tunggu...
Hairun Fahrudin
Hairun Fahrudin Mohon Tunggu... IG: pelancongirit -

Penghobi jalan-jalan dengan bujet murah. Baca cerita perjalanan saya lainnya di blog pelancongirit.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama FEATURED

Secuil Cerita dari Lapangan Tiananmen

11 Juli 2018   13:05 Diperbarui: 4 Juni 2020   09:15 3235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monument to the People's Heroes

Bila Anda belum sekalipun mengunjungi Beijing, pastinya Anda pernah melihat foto lapangan Tiananmen melalui majalah atau media lainnya. Memang, ini adalah ikon Kota Beijing yang paling kondang. 

Namun, tempat wisata yang sangat tersohor ini juga menyimpan cerita kelam tentang pembantaian demonstran yang terjadi 19 tahun lalu. Tak jauh dari sini juga ada Mauseloum of Mao Tse Tung, tempat jenazah Mao yang telah diawetkan itu disemayamkan.

Waktu masih menunjukkan pukul 4.30 pagi waktu setempat, tetapi antrean untuk masuk ke lapangan Tiananmen sudah mengular.

Saya datang ke Tiananmen begitu awal karena ingin menyaksikan upacara penaikan bendera yang rutin digelar menjelang matahari terbit.

Meski lapangan Tiananmen adalah area terbuka, pengamanannya ternyata cukup ketat. Pengunjung harus melewati detektor logam dan tak jarang barang bawaan kita juga perlu digeledah. Saya bersama ribuan warga lokal harus rela berbaris di antrean, lalu masuk satu-persatu ke area alun-alun kota Beijing itu. 

Baca juga: Tip Backpacking ke Tiongkok

Meski sudah bersusah payah datang ke Tiananmen pagi-pagi sekali, saya mendapati pengunjung sudah begitu padat. Posisi bagian depan sudah penuh  semuanya, dan saya pun harus puas menyaksikan seremoni penaikan bendera tersebut dari kejauhan. 

Banyak orang ternyata sudah datang sejak dini hari, bahkan ada yang menginap hanya untuk menyaksikan upacara bendera yang legendaris tersebut.

Seremoni penaikan bendera itu berlangsung singkat dan sederhana. Diawali dengan barisan tentara yang berjalan dengan koreografi khas serdadu Tiongkok, lalu bendera dinaikkan pada tiang raksasa yang berada di depan gerbang Kota Terlarang. 

Bagaimana seremoni tersebut berlangsung? bisa disaksikan pada video Youtube di bawah ini. Ini bukan video yang saya buat, namun hasil rekaman seorang turis dari Eropa yang juga menyaksikan acara tersebut.

Suasana di video tersebut mirip seperti yang saya saksikan. Saat lagu kebangsaan Tiongkok dikumandangkan, hampir semua orang sibuk dengan ponsel masing-masing untuk merekamnya dengan video.

Di video tersebut pengunjung nampak tak terlalu penuh. Namun saat saya menyaksikan seremoni ini, pengunjungnya jauh lebih ramai, hampir memenuhi sepertiga area tengah lapangan Tiananmen. Saat itu memang sedang masa liburan sehingga ada banyak pengunjung dari luar Beijing.

Setelah bendera selesai dinaikkan, kebanyakan pengunjung langsung bubar. Awalnya saya mengira bakal ada tepuk tangan atau pekik heroik setelahnya, namun warga lokal berlalu begitu saja. Sebagian lainnya sibuk berswafoto, mencoba mengambil gambar berlatar tentara Tiongkok yang sedang berjaga di depan gerbang Kota Terlarang.

Karena mata yang mengantuk akibat bangun terlalu awal, saya memutuskan langsung kembali saja ke hostel untuk tidur lagi. Hostel saya terletak di kawasan Qianmen. bisa dijangkau dengan berjalan kaki sekitar 30 menit dari lapangan Tiananmen. 

Menjelang tengah hari, saya kembali lagi ke lapangan Tiananmen. Pengunjung masih tetap padat, namun kerumunan lebih tersebar, tak hanya terpusat di sekitar tiang bendera Tiananmen seperti saat pagi hari. 

Cuaca Kota Beijing hari itu sangat cerah dengan langit yang biru. Usaha pemerintah Tiongkok untuk mengurangi polusi udara agaknya cukup berhasil. Setidaknya di musim panas udara Beijing sekarang jauh lebih bersih. 

Siang itu, antrean masuk ke lapangan Tiananmen terlihat lebih pendek dibandingkan pagi hari saat saya ingin menyaksikan upacara penaikan bendera. Tapi ada hal yang cukup mengundang perhatian saya, yakni perbedaan perlakuan dari petugas keamanan. 

Mereka yang berpenampilan seperti warga kelas bawah sering jadi target interogasi dan penggeledahan. Mereka juga diminta menunjukkan kartu identitasnya. 

Anehnya, orang asing terutama turis bule malah langsung disuruh lewat saja, bahkan barang bawaannya juga tak diperiksa. Hmm.... 


Situasi seperti ini tak hanya saya saksikan di Tiananmen. Saya pernah melihat sendiri di tempat lain di mana seorang laki-laki yang berpenampilan seperti orang desa tiba-tiba dihentikan oleh polisi saat sedang berjalan kaki di tempat umum.

Hanya gara-gara penampilannya berbeda dengan warga kelas menengah Beijing, laki-laki itu langsung jadi target. Keberadaan mereka di kota besar seperti Beijing yang didominasi kaum urban kelas menengah seolah menjadi gangguan bagi polisi setempat.

Meski baru pertama kali mengunjungi Beijing, berdiri di tengah lapangan Tiananmen memberi kesan yang familiar bagi saya. Seperti juga Anda, saya juga sudah sering melihatnya melalui foto maupun video. 

Bagian yang paling menarik dari lapangan Tiananmen tentu saja gerbang Kota Terlarang yang kerap disebut Gate of Heavely Peace. Potret raksasa Mao Tse Tung yang dipasang di dindingnya membuat Gate of Heavenly Peace ini makin ikonik saja. 

Letak lapangan Tiananmen tepat berada di sisi selatan Kota Terlarang. Selain kompleks Kota Terlarang yang berarsitektur tradisional Tiongkok, bangunan di sekeliling lapangan Tiananmen didominasi oleh gedung-gedung besar bergaya Soviet. 

Di sisi barat ada Great Hall of The People, dan di sisi timurnya berdiri bangunan National Museum yang megah. Objek lain yang tak kalah menariknya adalah Monument to The People's Heroes yang berdiri tepat di tengah lapangan Tiananmen.

Gedung bergaya Soviet yang mendominasi kawasan Tiananmen
Gedung bergaya Soviet yang mendominasi kawasan Tiananmen
Mumpung sedang berada di Beijing, tentu saja saya tak melewatkan kesempatan untuk melihat jenazah Mao Tse Tung yang sudah diawetkan itu. 

Pemerintahan komunis di masa lalu memang punya tradisi mengawetkan jenazah pemimpin besarnya. Namun kebiasaan ini tak berlanjut lagi, pemimpin setelahnya dikuburkan secara normal. 

Seperti bangunan megah di sekitarnya, Mausoleum of Mao Tse Tung juga bergaya Soviet, dengan ornamen yang sangat minimalis. Posisi mausoleum ini berhadapan dengan gerbang Kota Terlarang, membuatnya menjadi bagian dari garis sumbu yang menjadi pusat kota Beijing.

Saya perlu mengantre sekitar 40 menit sebelum mencapai ruang utama mausoleum tempat jenazah Mao dibaringkan. Pengunjung tentu saja tak dizinkan mengambil foto di tempat yang sakral tersebut.

Sudah begitu, antrean diharuskan bergerak cepat sehingga pengunjung hanya punya waktu beberapa detik saja di ruang jenazah.

Saya pun hanya bisa melihat sekilas mayat Ketua Mao yang dibaringkan dalam kotak kaca itu. Wajahnya nampak berkilat layaknya patung lilin, seperti bukan mayat sungguhan. 

Ekspresi wajah warga lokal saat melihat jenazah Ketua Mao nampak datar saja. Saya tak melihat ada yang menangis atau menunjukkan seri muka yang emosional. Berbeda sekali misalnya dengan video-video warga Korea Utara yang bisa menangis histeris di depan kuburan pemimpin mereka.

Monument to the People's Heroes
Monument to the People's Heroes
Baca juga: Serunya Naik Kereta Ekonomi di Tiongkok

Bicara tentang Tiananmen, banyak orang pastinya belum lupa mengenai tragedi pembantaian demonstran yang terjadi di lapangan itu pada dini hari 3-4 Juni 1989. Tapi Anda jangan berharap bisa melihat monumen atau memorabilia yang mengenang peristiwa tersebut.

Sebaliknya, peristiwa berdarah yang menelan setidaknya 3 ribu korban itu ditutup rapat oleh pemerintah komunis Tiongkok. Saking paranoidnya, berbagai kata kunci yang berhubungan dengan peristiwa tersebut masih diblokir di situs pencarian internet di Tiongkok. 

Tapi apakah warga Tiongkok sudah melupakan peristiwa tersebut? Saya beruntung, beberapa kali pernah backpacking bareng dengan anak muda asal Tiongkok dan mendapat pandangan yang cukup menarik mengenai peristiwa itu.

Demonstrasi Tiannanmen itu ternyata sangat massif, kalangan terdidik yang tinggal di Beijing pada akhir dekade 80-an sebagian besar terlibat gerakan tersebut.

Jadi jangan heran kalau anak muda dari kalangan kelas menengah Beijing bisa tahu kisahnya dari orang tua mereka sendiri yang ikut demonstrasi tersebut. Karena lumayan panjang, cerita ini akan saya tulis pada artikel berikutnya.

Baca juga: Cara Paling Murah Mencapai Tembok Besar Tiongkok

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun