Baca juga: Mendapatkan Visa Iran itu Gampang!
Saat jalan-jalan di Jolfa, sebuah distrik Armenia di kota Isfahan, saya  juga menemukan kedai kopi berlogo Starbucks. Karena memang sedang ingin minum kopi dan beristirahat setelah lelah jalan kaki, saya putuskan  masuk ke kedai kopi itu. Interior kedai Starbucks ala Iran ini  benar-benar membawa kita seperti berada di gerai yang asli. Pilihan  minuman kopinya juga kurang lebih sama.Â
Tapi karena bukan pelanggan  setia kedai Starbucks asli, saya tak bisa membedakan rasa kopinya. Meski  begitu, saya sangat menikmati sajian iced latte buatan Starbucks Iran  itu.
Walaupun sebagian besar produk bermerek asing yang beredar di Iran tidak  membeli lisensi, segelintir perusahaan besar seperti Coca Cola dan  Pepsi benar-benar punya cabang di Iran.Â
Tentu saja mereka membayar  lisensi dan uangnya akan mengalir ke Amerika. Loh, katanya perusahaan  Amerika tak boleh  beroperasi di Iran karena  embargo ekonomi? Memang benar, untuk sebagian besar perusahaan Amerika,  aturan tersebut benar-benar diterapkan. Tapi Coca Cola rupanya mendapat  keistimewaan, sehingga mereka boleh beroperasi di Iran.
Walaupun sebagian besar produk bermerek asing yang beredar di Iran tidak  membeli lisensi, segelintir perusahaan besar seperti Coca Cola dan  Pepsi benar-benar punya cabang di Iran. Tentu saja mereka membayar  lisensi dan uangnya akan mengalir ke Amerika. Loh, katanya perusahaan Amerika tak boleh  beroperasi di Iran karena  embargo ekonomi? Memang benar, untuk sebagian besar perusahaan Amerika,  aturan tersebut benar-benar diterapkan. Tapi Coca Cola rupanya mendapat  keistimewaan, sehingga mereka boleh beroperasi di Iran.
Meski punya lisensi, merek Coca Cola tetap saja ada versi palsunya.  Pemegang merek Coca Cola yang resmi sampai harus memasang tulisan "original" di kemasan produk mereka. Produk Coca Cola palsu bisa beredar  luas tanpa bisa ditindak secara hukum karena Iran tidak menantangani perjanjian internasional soal merek dagang ini. Itulah sebabnya, pemalsu  merek-merek internasional lainnya juga tidak bisa ditindak.
Sebagai bekas sekutu dekat Amerika Serikat, orang Iran sebenarnya tak  asing dengan merek-merek dari negara adidaya itu. Coca Cola misalnya, sudah hadir di Iran sejak 1950-an. Di kota-kota kecil masih sering  dijumpai mobil bermerek Cadillac dan Ford, tapi tentu saja keluaran  tahun 70-an.
Dominasi produk Amerika di Iran harus berakhir pada penghujung 1970-an,  ketika pecah revolusi Islam yang dipimpin Imam Khomeini. Saat itu perusahaan-perusahaan Amerika terpaksa hengkang dan asetnya  dinasionalisasi. Namun jejak dominasi Amerika di Iran tidak sepenuhnya  hilang, buktinya Coca Cola dan Pepsi masih berjaya. Urusan selera  agaknya tak bisa dikaitkan dengan masalah politik.