Mohon tunggu...
artyastiani
artyastiani Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Universitas Atma Jaya Yogyakarta konsentrasi Jurnalisme 130905037

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kredibilitas Media Online dalam Akurasi Berita

14 April 2016   19:08 Diperbarui: 14 April 2016   19:14 3526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Media berita tidak bisa lepas dari aspek kredibilitas yang harus selalu dipertahankan. Kredibilitas media atau sumber sangat penting bagi audiens. Ada dua macam kredibilitas, yaitu kredibilitas terhadap sumber dan kredibilitas terhadap media. Kredibilitas terhadap sumber berkaitan dengan kepercayaan individu yang menulis berita tersebut, sedangkan kredibiltas media berkaitan dengan kesatuan yang lebih luas, seperti stasiun televisi, koran, dan tentunya media online. (Kovacic, dkk, 2010: 116). Jadi kredibilitas dilihat dari individu dan media itu sendiri.

 Sedangkan Metzger dan Flanagin (2013:211), menyatakan kredibilitas media online dapat dilihat dari hasil evaluasi sumber informasi, pesan itu sendiri, atau pada kombinasi antara sumber dengan pesan. Maka yang mereka maksud adalah kredibel atau tidaknya media dapat ditentukan dari sumber dan isi pesan yang disampaikan. Jika sumbernya sesuai dan pesan yang disampaikan benar maka dapat dikatakan informasi tersebut kredibel.

Kiousis (2001, dalam Kovacic, dkk, 2010: 117) menyatakan bahwa orang cenderung skeptik terhadap sumber online. Penelitiannya menunjukkan koran adalah media yang paling kredibel dibandingkan media lain. Studi internasional membenarkan bahwa media tradisional lebih kredibel dibandingkan dengan media online. Kovacic, dkk (2010: 121) juga melakukan penelitian dengan hasil hampir 70% responden setuju bahwa media tradisional memiliki derajat kredibilitas yang lebih tinggi. 

Sekitar 18% responden memilih kredibilitas website berita dari media tradisional, sedangkan sisanya tidak memilih keduanya. Hanya 18% responden yang percaya bahwa website media yang berasal dari media cetak saja yang kredibel sedangkan 64% responden tidak setuju. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sendiri merasa media online kurang kredibel jika dibandingkan dengan media tradisional seperti koran.

Metzger (2007, dalam Metzger dan Flanagin, 2013: 213) merekomendasikan pendekatan untuk mengevaluasi informasi online dalam lima kriteria, yaitu akurasi, wewenang, mata uang, objektivitas, dan cakupan informasi serta sumbernya. Akurasi merujuk pada derajat dimana website atau sumber bebas dari kesalahan dan informasi dapat diverifikasi secara offline (Metzger dan Flanagin, 2013: 213). Jadi, untuk bisa menjadi akurat informasi tidak hanya harus benar tapi juga ketika diverifikasi hasilnya sama.

Saling adu kecepatan dalam jurnalisme sudah menjadi hal yang biasa. Jurnalis berlomba-lomba ingin menjadi yang pertama dalam memberitakan kejadian. Jurnalisme online model abad 21 saat ini berfokus pada dua hal, yaitu kecepatan dan kedalaman. Jika tidak bisa menjadi yang pertama dalam menceritakan kejadian, setidaknya jurnalis mendapatkan gambar pertama atau wawancara pertama, reaksi pertama, atau bahkan analisis pertama. (Bradshaw, 2012:14).

 Persaingan dengan media lain membuat media satu dengan yang lainnya berlomba menjadi yang tercepat. Margianto dan Asep dalam Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika menyatakan atas nama kecepatan, seringkali berita-berita tayang tanpa akurasi, mulai dari hal yang sederhana yaitu ejaan nama narasumber, hingga yang paling serius yaitu substansi berita.

Sama seperti media cetak, media online juga harus berpatok pada pedoman pers yang berlaku. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam “Sembilan Elemen Jurnalisme” (2003) menyatakan, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Mereka mengatakan bahwa prinsip pertama jurnalisme adalah pengejaran akan kebenaran yang tidak berat sebelah adalah yang paling membedakannya dari semua bentuk komunikasi lain. Pada pernyataan tersebut terlihat bahwa jurnalis, tidak peduli dari media mana harus bertumpu pada kebenaran. Namun, jika berita yang dipublikasikan belum akurat tentu kebenaran belum bisa ditegakkan.

Kovach dan Rosentiel (2003) juga menyatakan bahwa demi mengejar kebenaran, intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Meski telah masuk ke era digital, fungsi jurnalisme tetap tidak berubah. Jurnalisme masih berada di bawah prinsip-prinsip yang sama meski dilakukan dengan teknik yang berbeda. Margianto dan Asep dalam Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika, menyatakan bahwa verifikasi menjadi syarat bagi akurasi dalam pemberitaan, sehingga media online tidak lepas dari disiplin verifikasi.

Padahal akurasi seharusnya lebih penting dari pada kecepatan, karena akurasi adalah syarat penting dalam jurnalisme. Lebih baik berita terlambat diberitakan tapi benar dari pada berita yang cepat tapi salah. Hal ini dalam mengurangi kredibilitas media, sekali kehilangan kredibilitas, media akan sulit untuk mendapatkannya kembali. (Cowan, 1998, dalam Bradley, 2001). Ketika media memberitakan kejadian dengan salah maka masyarakat pasti sudah menentukan pandangan atau sikap mereka terhadap media tersebut. Sekali saja tidak akurat, masyarakat kepercayaan masyarakat terhadapnya akan berkurang, padahal untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat tidaklah mudah. Hilangnya keseimbangan dan keadilan karena tidak akurat dapat membuat pers lebih sulit untuk menjalankan fungsi sebagai watchdog (Cowan, 1998, dalam Bradley, 2001).

Selain Sembilan elemen jurnalisme, di Indonesia juga terdapat kode etik yang mengatur, seperti Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Media Siber. Keduanya sama-sama terdapat aturan akurasi berita. Pada Kode Etik Jurnalistik pasal satu tertulis “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” (http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik). Pada penafsirannya dijelaskan bahwa akurat berarti dipercaya sebagai benar sesuai keadaan yang terjadi.

 Pada pasal tiga juga tertera bahwa jurnalis harus menguji informasi dengan melakukan check dan recheck tentang kebenaran informasi tersebut. Kemudian pada Pedoman Media Siber yang secara khusus dikeluarkan Dewan Pers juga mengatur akurasi di butir kedua yang menyatakan pada prinsipnya semua berita harus melalui verifikasi. Jika berita tidak melalui verifikasi maka pada bagian akhir tulisan harus ditulis bahwa berita tersebut akan diverifikasi lebih lanjut. (http://dewanpers.or.id/pedoman/detail/167/pedoman-pemberitaan-media-siber). Aturan tersebut seharusnya diperhatikan dengan baik oleh media online dalam melakukan pemberitaan agar tidak menjerumuskan audiens.

Kesalahan akan akurasi dapat mengakibatkan masalah yang serius, contohnya adalah kesalahan berita Wimar Wintoelar, yang dilansir Margianto dan Asep dalam buku Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika. Pada 24 Mei 2001 tercatat ada media online yang memberitakan bahwa Wimar Witoelar, yang pernah menjadi juru bicara Gus Dur, meninggal dunia. Padahal kenyataannya tidak demikian, beliau memang mengalami stroke tapi tidak meninggal. Kesalahan memberitakan orang yang masih hidup menjadi meninggal tentu adalah kesalahan serius. Hal ini bisa terjadi ketika jurnalis tidak mengecek terlebih dahulu informasi yang didapat dan asal memutuskan kejadian.

Kesalahan yang terjadi tentu tak hanya itu saja, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, dilansir pada Tempo.co mengatakan, jumlah pengaduan terkait pers dari seluruh Indonesia yang masuk ke Dewan Pers sepanjang 2012 mencapai lebih dari 500 kasus. Dari jumlah itu, 328 di antaranya merupakan kasus dari media cetak dan 98 pengaduan terkait media online alias media siber. Menurutnya ada enam jenis pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh media siber yang diadukan ke Dewan Pers. Pelanggaran pertama, media siber tidak menguji informasi atau melakukan konfirmasi sebanyak 30 kasus. 

Pelanggaran kedua, menurut Agus, berita tidak akurat sebanyak 30 kasus, ketiga, mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi sebanyak 17 kasus, keempat, tidak berimbang sebanyak 10 kasus, kelima, tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan susila sebanyak tiga kasus, dan keenam, tidak jelas narasumbernya ada satu kasus.(https://m.tempo.co/read/news/2013/03/12/173466521/6-pelanggaran-media-siber-ini-yang-sering-diadukan).

Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa kasus paling banyak terjadi pada tidak adanya konfirmasi atau pengujian informasi dan akurasi yang jika digabung ada 60 kasus. Masalah ini masih berlanjut, di tahun 2015 terkait insiden Tolikara, masalah akurasi kembali diungkit. Sindonews memberitakan bahwa anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, mengkritik media yang memberitakan insiden Tolikara, Papua

 Media dikritik karena mengedepankan kecepatan dibanding melakukan verifikasi pemberitaan. Imam mengutarakan hingga saat ini Dewan Pers masih menerima pengaduan pemberitaan media online mengenai insiden Tolikara. Saat ini, Dewan Pers masih meneliti dan melakukan pemeriksaan terhadap beberapa media online. Apabila terdapat kesalahan dalam pemberitaannya maka akan dilakukan sidang etik. 

(http://nasional.sindonews.com/read/1028182/15/dewan-pers-kritik-pemberitaan-media-soal-insiden-tolikara-1438360594). Insiden Tolikara ini sendiri berkaitan dengan umat beragama yang bisa menjadi isu sensitive. Jika media menyampaikan berita yang tidak akurat terkait insiden ini bisa memicu konflik yang berlebih.

Media online ternama, seperti CNN.com pun tak lepas dari kesalahan akurasi. Pada salah satu beritanya media tersebut memberi judul ‘Megawati: Bubarkan KPK’, yang dapat ditafsirkan bahwa Megawati ingin KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dibubarkan. Padahal sebenarnya Megawati mengatakan KPK dibubarkan saja jika sudah tidak ada korupsi. Atas kesalahan ini, pihak CNN.com kemudian mengedit judul berita tersebut dan menyertakan permintaan maaf pada bagian bawah berita yang bertuliskan:

“Judul artikel berita ini sebelumnya adalah 'Megawati: Bubarkan KPK.' Judul itu kami koreksi karena tidak akurat dalam mengutip dan menyimpulkan pernyataan Megawati sehingga terlepas dari konteks dan isi berita. Dengan demikian kesalahan telah kami perbaiki. Kami mohon maaf atas kekeliruan tersebut dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Terima kasih.” (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150818123757-12-72853/megawati-bubarkan-kpk-jika-tak-ada-korupsi/).

Masalah tersebut dapat merugikan pihak Megawati karena akan menurunkan citranya di depan masyarakat yang mendukung adanya KPK. Contoh berita-berita yang tidak akurat juga melanggar kode etik jurnalistik dan pedoman media siber. Selain itu, ketidakakuratan berita menunjukkan kurang verifikasi untuk menguji kebenaran informasi tersebut. Media yang memberitakan Wimar Witoelar meninggal seharusnya memastikan dahulu apakah Wimar dibawa ke rumah sakit kemudian meninggal atau belum. Jika dikaitkan dengan teori kredibilitas, maka isi pesan yang disampaikan belum tentu benar dapat membuat media tersebut tidak kredibel. Ketika informasi yang diberikan tidak akurat, masyarakat tidak akan begitu saja mempercayainya sehingga kredibilitas media dapat menurun di mata masyarakat.

Namun, tidak semua media onbline selalu memberikan berita yang kredibel. Pada CNN sendiri misalnya yang pernah memberikan berita tidak akurat, tapi ada juga beritanya yang akurat, demikian pula media lain. Media online yang dituntut untuk cepat sering kali tidak sempat untuk melakukan verifikasi. Masalah akurasi yang sering menimpa media online membuat masalah ini adalah hal yang biasa terjadi dan dapat diedit lagi nantinya.

 

Daftar Pustaka:

Kovach, Bill., & Rosenstiel, Tom. 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Pantau

Metzger, M.J., 2007. Making Sense of Credibility on The Web: models for evaluating online information and recommendations for future research. J. Am. Soc. Inform, Sci. Technol. 58 (13), 2078-2091.

Metzger, Miriam J. dan Andrew J. Flanagin. 2013. Credibility and Trust of Information in Online Environments: The Use of Cognitive Heuristics. California: Departement of Communication, University of California, Santa Barbara.

Kovacic, Melita Poler, dkk. 2010. Credibility of Traditional vs. Online New Media: A Historical Change in Journalists’ Perceptions?. Diakses melalui: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjEmLHNho7MAhXEq5QKHUTbDXkQFggdMAA&url=http%3A%2F%2Fhrcak.srce.hr%2Ffile%2F88479&usg=AFQjCNF8AWwBk58VCoRWgES4khlb4HsOmg&bvm=bv.119408272,d.dGo. Diakses pada 14 April 2016.

Cowan, G. 1998. Has Online Reporting Tainted Journalism? Online Journalism Review. Dalam Osborn, Bradley. 2001. Ethics and Credibility in Online Journalism. Tennessee: The University of Memphis.

Bradshaw, Paul. 2012. Model for a 21st Century Newsroom - Redux How digitisation has changed news organisations in multiplatform world. Canada: Leanpub

Margianto, J. Heru dan Asep Syaefullah. Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika, Problematika Praktik Jurnalisme Online di Indonesia. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Dapat diakses melalui: http://aji.or.id/upload/article_doc/Media_Online.pdf. Diakses pada 10 April 2016.

Kiousis, S. 2001. Public Trust or Mistrust? Perception of Media Credibility in the Information Age, Mass Communication & Society, 4 (4): 381–403. Dalam Kovacic, Melita Poler, dkk. 2010. Credibility of Traditional vs. Online New Media: A Historical Change in Journalists’ Perceptions?.

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150818123757-12-72853/megawati-bubarkan-kpk-jika-tak-ada-korupsi/

http://nasional.sindonews.com/read/1028182/15/dewan-pers-kritik-pemberitaan-media-soal-insiden-tolikara-1438360594

https://m.tempo.co/read/news/2013/03/12/173466521/6-pelanggaran-media-siber-ini-yang-sering-diadukan

http://dewanpers.or.id/pedoman/detail/167/pedoman-pemberitaan-media-siber

http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun