Mohon tunggu...
artyastiani
artyastiani Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Universitas Atma Jaya Yogyakarta konsentrasi Jurnalisme 130905037

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kredibilitas Media Online dalam Akurasi Berita

14 April 2016   19:08 Diperbarui: 14 April 2016   19:14 3526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

 Pada pasal tiga juga tertera bahwa jurnalis harus menguji informasi dengan melakukan check dan recheck tentang kebenaran informasi tersebut. Kemudian pada Pedoman Media Siber yang secara khusus dikeluarkan Dewan Pers juga mengatur akurasi di butir kedua yang menyatakan pada prinsipnya semua berita harus melalui verifikasi. Jika berita tidak melalui verifikasi maka pada bagian akhir tulisan harus ditulis bahwa berita tersebut akan diverifikasi lebih lanjut. (http://dewanpers.or.id/pedoman/detail/167/pedoman-pemberitaan-media-siber). Aturan tersebut seharusnya diperhatikan dengan baik oleh media online dalam melakukan pemberitaan agar tidak menjerumuskan audiens.

Kesalahan akan akurasi dapat mengakibatkan masalah yang serius, contohnya adalah kesalahan berita Wimar Wintoelar, yang dilansir Margianto dan Asep dalam buku Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika. Pada 24 Mei 2001 tercatat ada media online yang memberitakan bahwa Wimar Witoelar, yang pernah menjadi juru bicara Gus Dur, meninggal dunia. Padahal kenyataannya tidak demikian, beliau memang mengalami stroke tapi tidak meninggal. Kesalahan memberitakan orang yang masih hidup menjadi meninggal tentu adalah kesalahan serius. Hal ini bisa terjadi ketika jurnalis tidak mengecek terlebih dahulu informasi yang didapat dan asal memutuskan kejadian.

Kesalahan yang terjadi tentu tak hanya itu saja, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, dilansir pada Tempo.co mengatakan, jumlah pengaduan terkait pers dari seluruh Indonesia yang masuk ke Dewan Pers sepanjang 2012 mencapai lebih dari 500 kasus. Dari jumlah itu, 328 di antaranya merupakan kasus dari media cetak dan 98 pengaduan terkait media online alias media siber. Menurutnya ada enam jenis pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh media siber yang diadukan ke Dewan Pers. Pelanggaran pertama, media siber tidak menguji informasi atau melakukan konfirmasi sebanyak 30 kasus. 

Pelanggaran kedua, menurut Agus, berita tidak akurat sebanyak 30 kasus, ketiga, mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi sebanyak 17 kasus, keempat, tidak berimbang sebanyak 10 kasus, kelima, tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan susila sebanyak tiga kasus, dan keenam, tidak jelas narasumbernya ada satu kasus.(https://m.tempo.co/read/news/2013/03/12/173466521/6-pelanggaran-media-siber-ini-yang-sering-diadukan).

Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa kasus paling banyak terjadi pada tidak adanya konfirmasi atau pengujian informasi dan akurasi yang jika digabung ada 60 kasus. Masalah ini masih berlanjut, di tahun 2015 terkait insiden Tolikara, masalah akurasi kembali diungkit. Sindonews memberitakan bahwa anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, mengkritik media yang memberitakan insiden Tolikara, Papua

 Media dikritik karena mengedepankan kecepatan dibanding melakukan verifikasi pemberitaan. Imam mengutarakan hingga saat ini Dewan Pers masih menerima pengaduan pemberitaan media online mengenai insiden Tolikara. Saat ini, Dewan Pers masih meneliti dan melakukan pemeriksaan terhadap beberapa media online. Apabila terdapat kesalahan dalam pemberitaannya maka akan dilakukan sidang etik. 

(http://nasional.sindonews.com/read/1028182/15/dewan-pers-kritik-pemberitaan-media-soal-insiden-tolikara-1438360594). Insiden Tolikara ini sendiri berkaitan dengan umat beragama yang bisa menjadi isu sensitive. Jika media menyampaikan berita yang tidak akurat terkait insiden ini bisa memicu konflik yang berlebih.

Media online ternama, seperti CNN.com pun tak lepas dari kesalahan akurasi. Pada salah satu beritanya media tersebut memberi judul ‘Megawati: Bubarkan KPK’, yang dapat ditafsirkan bahwa Megawati ingin KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dibubarkan. Padahal sebenarnya Megawati mengatakan KPK dibubarkan saja jika sudah tidak ada korupsi. Atas kesalahan ini, pihak CNN.com kemudian mengedit judul berita tersebut dan menyertakan permintaan maaf pada bagian bawah berita yang bertuliskan:

“Judul artikel berita ini sebelumnya adalah 'Megawati: Bubarkan KPK.' Judul itu kami koreksi karena tidak akurat dalam mengutip dan menyimpulkan pernyataan Megawati sehingga terlepas dari konteks dan isi berita. Dengan demikian kesalahan telah kami perbaiki. Kami mohon maaf atas kekeliruan tersebut dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Terima kasih.” (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150818123757-12-72853/megawati-bubarkan-kpk-jika-tak-ada-korupsi/).

Masalah tersebut dapat merugikan pihak Megawati karena akan menurunkan citranya di depan masyarakat yang mendukung adanya KPK. Contoh berita-berita yang tidak akurat juga melanggar kode etik jurnalistik dan pedoman media siber. Selain itu, ketidakakuratan berita menunjukkan kurang verifikasi untuk menguji kebenaran informasi tersebut. Media yang memberitakan Wimar Witoelar meninggal seharusnya memastikan dahulu apakah Wimar dibawa ke rumah sakit kemudian meninggal atau belum. Jika dikaitkan dengan teori kredibilitas, maka isi pesan yang disampaikan belum tentu benar dapat membuat media tersebut tidak kredibel. Ketika informasi yang diberikan tidak akurat, masyarakat tidak akan begitu saja mempercayainya sehingga kredibilitas media dapat menurun di mata masyarakat.

Namun, tidak semua media onbline selalu memberikan berita yang kredibel. Pada CNN sendiri misalnya yang pernah memberikan berita tidak akurat, tapi ada juga beritanya yang akurat, demikian pula media lain. Media online yang dituntut untuk cepat sering kali tidak sempat untuk melakukan verifikasi. Masalah akurasi yang sering menimpa media online membuat masalah ini adalah hal yang biasa terjadi dan dapat diedit lagi nantinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun