Mohon tunggu...
Artika Puspitasari Salsabila
Artika Puspitasari Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa 23107030046 UIN Sunan Kalijaga

Seorang anak perempuan kelahiran Kabupaten Fakfak yang senang bercerita kepada teman-temannya dan memberikan aura positif ke semua orang serta mempunyai bakat bernyanyi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Prevalensi Gangguan Kecemasan akan Perpisahan dan Depresi pada Anak dan Remaja

30 Maret 2024   20:06 Diperbarui: 30 Maret 2024   20:08 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://schoolofparenting.id/stres-dan-gangguan-kecemasan-mengintai-anak/

Kecemasan berpisah didefinisikan sebagai kecemasan yang menetap, berlebihan dan berkembang secara tidak tepat mengenai perpisahan dari rumah atau dari figur lekat anak dan menyebabkan ketakutan yang signifikan (Dabkowska et al., 2011). Dikutip dari (Lois et al., 2016), karakteristik kecemasan berpisah antara lain: (1) perasaan tertekan yang berlebihan akibat mengantisipasi terjadinya perpisahan; (2) ketakutan yang berlebihan bahwa figur lekat mengalami kecelakaan atau marabahaya; (3) kekhawatiran yang berlebihan bahwa suatu peristiwa dapat memicu perpisahan di masa depan; (4) penolakan terhadap sekolah (school refusal); (5) ketakutan terhadap kesendirian tanpa figur lekat atau orang dewasa lainnya; (6) penolakan untuk tidur sendiri atau tidur jauh dari rumah; (7) mimpi buruk mengenai perpisahan, dan (8) keluhan fisik yang berulang seperti sakit kepala, mual, dan sakit perut.

https://www.haibunda.com/parenting/20201202221226-65-177451/separation-anxiety-penyebab-anak-nempel-tak-mau-lepas
https://www.haibunda.com/parenting/20201202221226-65-177451/separation-anxiety-penyebab-anak-nempel-tak-mau-lepas

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Haryanto et al., 2015). Dari hasil penelitian juga ditemukan adanya beberapa permasalahan yang dialami yaitu sebagian besar dari remaja yang mengalami depresi maupun yang masih berpotensi mengalami depresi, memiliki ketidakpuasan terhadap penampilan, masalah prestasi belajar, mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari orang lain, dalam hal ini teman dan orang tua, dan masalah relasi antar orang tua (Dianovinina, 2018).

https://health.grid.id/read/352617946/6-gangguan-kecemasan-yang-sering-dialami-penyebabnya-dan-gejalanya?page=all
https://health.grid.id/read/352617946/6-gangguan-kecemasan-yang-sering-dialami-penyebabnya-dan-gejalanya?page=all

Faktor-faktor seperti genetik dan lingkungan dapat menyebabkan seseorang mengalami kecemasan berpisah (Ambari et al., 2020). Selain itu penelitian menunjukkan bahwa faktor genetis, jenis kelamin anak, kualitas temperamen anak, pola asuh orang tua serta latar belakang sosial-budaya yang merugikan serta faktor ekonomi orang tua berperan penting dalam perkembangan anak dengan kecemasan (Dabkowska et al., 2011)
Faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial. Dari faktor biologi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-hidroksi-indol-asetic-acid), HVA (homo-vanilic-acid), MPGH (5-methoxy-0-hydroksi-phenil-glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neuro-transmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Haryanto et al., 2015).

Kecemasan dapat menimbulkan reaksi kognitif, psikomotorik, dan fisiologis yang tidak menyenangkan, seperti kesulitan berpikir logis, kesulitan berkonsentrasi belajar, peningkatan aktivitas motorik, agitasi, dan peningkatan fungsi vital. Untuk mengurangi perasaan tidak menyenangkan tersebut, masyarakat mencoba mengambil tindakan adaptif baru sebagai mekanisme pertahanan. Perilaku adaptif ini dapat berdampak positif dan membantu orang beradaptasi dan belajar, misalnya menggunakan imajinasi untuk memusatkan perhatian (Fadilah et al., 2023).

Beberapa perilaku yang merupakan gejala depresi yang paling banyak dialami oleh subjek penelitian, antara lain menganggap diri buruk, sulit berkonsentrasi, kehilangan minat melakukan aktivitas, perubahan berat badan yang cukup drastis, dan sulit tidur sepanjang malam (Dianovinina, 2018).

Selain berdampak pada kemandirian, fungsi sosial dan prestasi akademik pada anak, kecemasan berpisah yang tidak segera ditangani akan berkembang menjadi suatu gangguan. Apabila sudah menjadi suatu gangguan, lebih lanjut lagi kecemasan berpisah dapat mengakibatkan perkembangan gejala gangguan mental lainnya. Studi longitudinal menunjukkan anak dengan gangguan kecemasan berpisah dapat beresiko pada gangguan kecemasan lainnya yaitu panic disorder atau agoraphobia pada saat dewasa (Ambari et al., 2020).

Sementara itu, permasalahan yang dimiliki oleh subjek penelitian baik yang mengalami depresi maupun yang masih berpotensi mengalami depresi, sebagian besar terkait dengan ketidakpuasan terhadap penampilan, prestasi belajar buruk, mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari orang lain, baik teman maupun orang tua, dan relasi antar orang tua yang bermasalah (Dianovinina, 2018).

Kecemasan perpisahan merupakan hal yang sering terjadi pada anak-anak dan remaja. Bahkan, angka gangguan ini tergolong tinggi di beberapa negara. Jika ditinjau dari proporsi penduduk, 40% dari total populasi terdiri atas anak dan remaja berusia 0-16 tahun, 13% dari jumlah populasi adalah anak berusia dibawah 5 tahun. 7-14% dari populasi anak dan remaja mengalami gangguan kesehatan jiwa, termasuk dengan anak tunagrahita, gangguan perilaku, kesulitan belajar dan hiperaktif.  Sebanyak 13,5% balita merupakan kelompok anak berisiko tinggi mengalami gangguan perkembangan, sementara 11,7% anak prasekolah berisiko mengalami gangguan perilaku. Prevalensi nasional gangguan mental emosional pada penduduk yang berumur ≥ 15tahun adalah 11,6% dan 6,0% dari total 37.728 orang yang  menjadi subjek analisis. Berdasarkan data tersebut, masyarakat belum mengetahui jenis gangguan ini. Hal itu dikarenakan mahalnya untuk melakukan konsultasi ke psikiater serta belum adanya penelitian sistem pakar untuk mengidentifikasi jenis gangguan ansietas (Wilejeung et al., 2017).

Dari penelitian Rahmadipta (2015) (dalam Cahyady & Mursyida, 2021), berdasarkan data Riskesdas pada tahun 2013, gangguan kecemasan yang dialami oleh remaja di Indonesia yang berusia kurang lebih 15 tahun adalah sekitar 37 ribu penduduk dengan prevalensi gangguan kecemasan pada remaja di Jawa Tengah tercatat sebanyak 4,7%.Sedangkan berdasarkan data Kemenkes 2013 menyatakan bahwa prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional seperti ansietas dan depresi secara nasional adalah 6,0% dan Sumatera Barat memiliki angka 4,5%.

Tak hanya di Indonesia, negara bagian barat daya samudra pasifik, atau kita kenal dengan Selandia Baru juga memiliki anak-anak dan remaja yang mengalami gangguan kecemasan perpisahan.  Menurut Costello & Angold, berbagai studi epidemiologi menunjukkan prevalensi gangguan kecemasan perpisahan pada 4 hingga 5% anak-anak dan remaja. Prevalensi selama 12 bulan secara umum diperkirakan sekitar 5%, namun terdapat variasi yang signifikan antara penelitian yang satu dengan yang lain (2-13%) (Dabkowska et al., 2011). Menurut penelitian Anderson (2000) (dalam Dabkowska et al., 2011), di antara anak-anak berusia 11 tahun dari populasi umum di Selandia Baru, ditemukan angka 1 tahun sebesar 3,5% untuk gangguan kecemasan perpisahan. Pada populasi yang sama tiga tahun kemudian, prevalensi gangguan kecemasan perpisahan menurun menjadi 2% (Dabkowska et al., 2011). Menurut Lewinsohn (1993) (dalam Dabkowska et al., 2011), prevalensi gangguan kecemasan perpisahan seumur hidup pada sampel remaja yang dipilih secara acak adalah 4,3%. Sebuah studi epidemiologi di Kanada (1999) menemukan bahwa prevalensi gangguan kecemasan perpisahan selama 6 bulan adalah 4,9% pada anak usia 6 hingga 8 tahun dan 1,3% pada remaja usia 12 hingga 14 tahun (Dabkowska et al., 2011). Wawancara laporan diri dengan subjek remaja menghasilkan prevalensi gangguan kecemasan perpisahan yang lebih tinggi daripada wawancara dengan informan dewasa, dan kesepakatan antara informan berkisar antara rendah dan sedang (Dabkowska et al., 2011). Pada populasi umum, gejala kecemasan pertama kali menurun selama masa remaja awal, dan kemudian meningkat dari masa remaja pertengahan hingga akhir (Dabkowska et al., 2011). Estimasi prevalensi gangguan kecemasan berpisah adalah antara 4 sampai 5% pada populasi. Dan dari mereka yang didiagnosis dengan gangguan kecemasan berpisah, sekitar 75% mengalami penolakan sekolah (Dabkowska et al., 2011).

Depresi pada anak dan remaja menjadi hal yang seringkali diabaikan oleh orang tua dan masyarakat. Hal itu membuat tingkat depresi pada anak dan remaja menjadi meningkat seiring dengan pandangan orang-orang terhadap gangguan itu. Selain itu, tekanan juga menjadi salah satu alasan utama penyebab gangguan itu. Sekitar 5% dari anak-anak dan remaja di Indonesia menderita depresi pada suatu titik waktu tertentu. Anak-anak yang berada di bawah tekanan pada saat belajar di sekolah, berada pada risiko yang lebih tinggi untuk depresi. Depresi juga cenderung ada di dalam keluarganya sendiri (Haryanto et al., 2015).

Dilihat dari faktor genetik, menurut  penelitian genetik dan keluarga, angka resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot. Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik (Haryanto et al., 2015). Safitri dan Hidayati (2013) mendapatkan bahwa pola asuh orang tua sebagian besar demokratis (63,8%), yang otoriter (6,9%)dan yang permisif (0,8%). Dari penelitian itu,  depresi yang dialami responden sebagian besar kategori ringan (80,0%) dan terdapat hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan tingkat depresi siswa (Haryanto et al., 2015).

Berdasarkan penelitian (Emily & Mclaughlin, 2019) dan (Dianovinina, 2018), para orang tua memiliki beberapa strategi dalam menangani kecemasan perpisahan dan depresi pada anak-anak dan remaja. Strategi itu antara lain:

1. Strategi Afektif
Dalam strategi Afektif, orang tua berfokus untuk menunjukkan cinta dan perhatian mereka secara eksplisit dan membangun kepercayaan serta ikatan dengan anak-anak mereka. Strategi ini berkaitan dengan beberapa hal sebagai berikut:


a. Jaminan
Jaminan berkaitan dengan bagaimana para orang tua meyakinkan anak-anak mereka dengan cinta, perhatian, dan ketersediaan.

b. Menghabiskan Waktu Berkualitas
Para orang tua percaya bahwa menghabiskan waktu berkualitas dengan anak-anak mereka merupakan hal yang sangat penting dan bisa membantu meringankan kecemasan perpisahan dan depresi.    

c. Mengekspresikan Perasaan
Para orang tua mengekspresikan cinta mereka kepada anak-anak mereka melalui verbal dan sentuhan ibu. Ekspresi cinta dan perhatian oleh ibu merupakan strategi yang digunakan oleh ibu untuk meringankan kecemasan berpisah dan depresi pada anak dan remaja.

d. Ketegasan
Orang tua terkadang kehilangan kesabaran dalam menghadapi anaknya, oleh karena itu mereka menggunakan strategi yang keras seperti, berbicara dengan anak dengan suara tegas dan tidak menyerah pada tangisan dan amukan anaknya. Orang tua percaya bahwa terkadang, ia harus menjadi kuat untuk memberi contoh kepada anak bahwa seseorang juga harus memiliki sifat-sifat yang kuat. Menunjukkan ketegasan dalam kata-kata dan tindakan dapat sangat membantu dalam memberikan contoh perilaku kepada anak untuk meredakan kecemasan mereka saat ditinggal, mengatur emosi, mendapatkan kepercayaan diri, dan berani menjadi dirinya sendiri.

2. Strategi Verbal
Strategi Verbal berfokus pada komunikasi yang dilakukan oleh para orang tua kepada anak-anak mereka. Strategi ini mencakup dua hal, yaitu dorongan dan transparansi.

a. Dorongan
Orang tua sering memberikan kata-kata penyemangat kepada anak-anak dengan kecemasan berpisah untuk mendorong mereka tetap bersekolah, seperti dengan memberikan gambaran positif tentang sekolah dan janji akan pengalaman yang menyenangkan. Namun, tantangan muncul karena anak mungkin belum memiliki pengalaman langsung dengan situasi tersebut. Keefektifan strategi ini tergantung pada pengalaman anak di sekolah. Misalnya, janji tentang teman sekelas yang ramah atau hubungan guru yang seperti ibu bisa tidak sesuai dengan kenyataan di kelas. Depresi juga dapat memperburuk kecemasan berpisah, dengan anak cenderung merasa terisolasi dan putus asa di tengah kekhawatiran akan perpisahan dan ketidakcocokan antara harapan dan realitas.

b. Transparansi
Transparansi di sini berarti menciptakan suasana terbuka satu sama lain antara orang tua dengan anak-anak mereka. Para orang tua akan memberi tahu anak-anak mereka tentang keberadaan mereka. Hal ini termasuk di mana, kapan, berapa lama mereka berada jauh dari satu sama lain, dan alasannya.  

3. Strategi Kognitif
Dalam strategi Kognitif, orang tua membantu anak-anak mereka memahami perasaan dan situasi mereka. Mereka juga membantu mencari jawaban atas pertanyaan mereka melalui internet dan pengetahuan yang tersedia secara online. Strategi ini berkaitan dengan Rasionalisasi dan Penelitian.

a. Rasionalisasi
Berbicara dengan anak dan bertanya serta menjelaskan mengapa ia merasa seperti itu juga dapat dilakukan oleh orang tua. Membantu anak memahami perasaannya dapat membantunya merasionalisasi berbagai hal dan membantu diri sendiri dalam mengatur perasaan seperti kekhawatiran dan ketakutan. Menjelaskan pada anak bahwa ada kalanya ia perlu bersama orang lain selain orang tuanya adalah salah satu keterampilan yang perlu dimiliki oleh anak-anak dan orang dewasa. Percakapan dan penjelasan dapat membantu anak memahami dunia yang lebih besar yang ia masuki.

b. Penelitian
Para orang tua membaca penelitian mengenai cara-cara menangani dan memahami anak-anak mereka yang mengalami kecemasan perpisahan. Orang tua harus peka terhadap skenario ini untuk menghindari manipulasi dari anak-anak mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun