Dari penelitian Rahmadipta (2015) (dalam Cahyady & Mursyida, 2021), berdasarkan data Riskesdas pada tahun 2013, gangguan kecemasan yang dialami oleh remaja di Indonesia yang berusia kurang lebih 15 tahun adalah sekitar 37 ribu penduduk dengan prevalensi gangguan kecemasan pada remaja di Jawa Tengah tercatat sebanyak 4,7%.Sedangkan berdasarkan data Kemenkes 2013 menyatakan bahwa prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional seperti ansietas dan depresi secara nasional adalah 6,0% dan Sumatera Barat memiliki angka 4,5%.
Tak hanya di Indonesia, negara bagian barat daya samudra pasifik, atau kita kenal dengan Selandia Baru juga memiliki anak-anak dan remaja yang mengalami gangguan kecemasan perpisahan. Â Menurut Costello & Angold, berbagai studi epidemiologi menunjukkan prevalensi gangguan kecemasan perpisahan pada 4 hingga 5% anak-anak dan remaja. Prevalensi selama 12 bulan secara umum diperkirakan sekitar 5%, namun terdapat variasi yang signifikan antara penelitian yang satu dengan yang lain (2-13%) (Dabkowska et al., 2011). Menurut penelitian Anderson (2000) (dalam Dabkowska et al., 2011), di antara anak-anak berusia 11 tahun dari populasi umum di Selandia Baru, ditemukan angka 1 tahun sebesar 3,5% untuk gangguan kecemasan perpisahan. Pada populasi yang sama tiga tahun kemudian, prevalensi gangguan kecemasan perpisahan menurun menjadi 2% (Dabkowska et al., 2011). Menurut Lewinsohn (1993) (dalam Dabkowska et al., 2011), prevalensi gangguan kecemasan perpisahan seumur hidup pada sampel remaja yang dipilih secara acak adalah 4,3%. Sebuah studi epidemiologi di Kanada (1999) menemukan bahwa prevalensi gangguan kecemasan perpisahan selama 6 bulan adalah 4,9% pada anak usia 6 hingga 8 tahun dan 1,3% pada remaja usia 12 hingga 14 tahun (Dabkowska et al., 2011). Wawancara laporan diri dengan subjek remaja menghasilkan prevalensi gangguan kecemasan perpisahan yang lebih tinggi daripada wawancara dengan informan dewasa, dan kesepakatan antara informan berkisar antara rendah dan sedang (Dabkowska et al., 2011). Pada populasi umum, gejala kecemasan pertama kali menurun selama masa remaja awal, dan kemudian meningkat dari masa remaja pertengahan hingga akhir (Dabkowska et al., 2011). Estimasi prevalensi gangguan kecemasan berpisah adalah antara 4 sampai 5% pada populasi. Dan dari mereka yang didiagnosis dengan gangguan kecemasan berpisah, sekitar 75% mengalami penolakan sekolah (Dabkowska et al., 2011).
Depresi pada anak dan remaja menjadi hal yang seringkali diabaikan oleh orang tua dan masyarakat. Hal itu membuat tingkat depresi pada anak dan remaja menjadi meningkat seiring dengan pandangan orang-orang terhadap gangguan itu. Selain itu, tekanan juga menjadi salah satu alasan utama penyebab gangguan itu. Sekitar 5% dari anak-anak dan remaja di Indonesia menderita depresi pada suatu titik waktu tertentu. Anak-anak yang berada di bawah tekanan pada saat belajar di sekolah, berada pada risiko yang lebih tinggi untuk depresi. Depresi juga cenderung ada di dalam keluarganya sendiri (Haryanto et al., 2015).
Dilihat dari faktor genetik, menurut  penelitian genetik dan keluarga, angka resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot. Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik (Haryanto et al., 2015). Safitri dan Hidayati (2013) mendapatkan bahwa pola asuh orang tua sebagian besar demokratis (63,8%), yang otoriter (6,9%)dan yang permisif (0,8%). Dari penelitian itu,  depresi yang dialami responden sebagian besar kategori ringan (80,0%) dan terdapat hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan tingkat depresi siswa (Haryanto et al., 2015).
Berdasarkan penelitian (Emily & Mclaughlin, 2019) dan (Dianovinina, 2018), para orang tua memiliki beberapa strategi dalam menangani kecemasan perpisahan dan depresi pada anak-anak dan remaja. Strategi itu antara lain:
1. Strategi Afektif
Dalam strategi Afektif, orang tua berfokus untuk menunjukkan cinta dan perhatian mereka secara eksplisit dan membangun kepercayaan serta ikatan dengan anak-anak mereka. Strategi ini berkaitan dengan beberapa hal sebagai berikut:
a. Jaminan
Jaminan berkaitan dengan bagaimana para orang tua meyakinkan anak-anak mereka dengan cinta, perhatian, dan ketersediaan.
b. Menghabiskan Waktu Berkualitas
Para orang tua percaya bahwa menghabiskan waktu berkualitas dengan anak-anak mereka merupakan hal yang sangat penting dan bisa membantu meringankan kecemasan perpisahan dan depresi. Â Â
c. Mengekspresikan Perasaan
Para orang tua mengekspresikan cinta mereka kepada anak-anak mereka melalui verbal dan sentuhan ibu. Ekspresi cinta dan perhatian oleh ibu merupakan strategi yang digunakan oleh ibu untuk meringankan kecemasan berpisah dan depresi pada anak dan remaja.
d. Ketegasan
Orang tua terkadang kehilangan kesabaran dalam menghadapi anaknya, oleh karena itu mereka menggunakan strategi yang keras seperti, berbicara dengan anak dengan suara tegas dan tidak menyerah pada tangisan dan amukan anaknya. Orang tua percaya bahwa terkadang, ia harus menjadi kuat untuk memberi contoh kepada anak bahwa seseorang juga harus memiliki sifat-sifat yang kuat. Menunjukkan ketegasan dalam kata-kata dan tindakan dapat sangat membantu dalam memberikan contoh perilaku kepada anak untuk meredakan kecemasan mereka saat ditinggal, mengatur emosi, mendapatkan kepercayaan diri, dan berani menjadi dirinya sendiri.
2. Strategi Verbal
Strategi Verbal berfokus pada komunikasi yang dilakukan oleh para orang tua kepada anak-anak mereka. Strategi ini mencakup dua hal, yaitu dorongan dan transparansi.