Novel Do Androids Dream of Electric Sheep? adalah medium bagi Philip K. Dick untuk menunjukkan paradoks antara kebebasan dan aturan. Rick Deckard itu kelinci percobaan bagi Dick. Kita diajak melihat bahwa tanpa aturan, dunia hanyalah arena "chaos" yang melahirkan kehancuran. Kehendak untuk bebas (will to power) yang dianut manusia dalam filsafat Nietzsche dihadapkan pada batasan utilitarianisme, yang pada akhirnya memaksa kita untuk bertanya: jika manusia kehilangan kebebasan dalam aturan yang terlalu ketat, apakah mereka masih manusia?
Lebih objektifnya, boleh jadi dikatakan bahwa,
ANOMIE. []
Banyak sekali aturan yang rumpang. Saya bilang di paragraf sebelumnya bahwa belum ada definisi yang jelas antara hak dan kewajiban dari kecerdasan buatan. Kalau di sebelumnya, di dalam novelnya, sering dikatakan bahwa tampak tidak ada perbedaan emosi antara kecerdasan buatan dan manusia, artinya masih belum ada definisi yang jelas antara empati dari keduanya.
Dilema oleh pertanyaan semacam "Siapa yang manusia dan siapa yang bukan?" adalah konyol ketika sudah menyandingkan ketiga konsep. Eksistensialisme, humanisme, dan di sampingnya pula menggunakan utilitarianisme sebagai pembanding (konsep chaos and order).
Masih banyak hal yang harus dikritik. Terutama "Jika kehilangan kebebasan terlalu ketat, apakah bukan manusia?" banyak proses yang akan menghasilkan output demikian. Kehilangan kebebasan dapat didefinisikan sebagai ketidakbebasan. Lalu ini sudah dijawab, sebenarnya.
Tidak semua yang kehilangan kebebasan itu kecerdasan buatan. Sebab Skala VoightKampff tidak hanya mengkaji melalui "bebas" atau "tidak bebas" tidak juga lalu mengkaji hanya melalui angka. Skala VoightKampff nyatanya telah mengkaji ulang: "Manusia atau kecerdasan buatan?" melalui gejala yang bisa ditangkap panca indra. Yakni melalui pembuluh serta syaraf pada mata. Ketika bereaksi jijik misalnya, syaraf akan memegang. Begitu juga sebaliknya.
Sejauh ini, kritik saya tetap hanya satu. Jika ada batasan yang jelas, semua tidak akan dipertanyakan sejauh ini. Namun kritik yang saya sampaikan, paradoksnya malah satu alur dengan tujuan Philip sendiri. Yang di mana, ia sengaja agar pembaca mempertanyakan moralnya sendiri. Justru, melalui kritik ini, yang harusnya kembali di kritik ialah tulisan saya. Do Androids Dream of Electric Sheep? susah dikritik. Karena memang benar tujuannya adalah membuat kabur. Tetapi beda lagi kalau yang dilihat adalah di sisi "membuat kabur"nya, ya bisa-bisa saja. Sebab output-nya memang ada dua. Yakni, "mendukung" pernyataan "membuat kabur" tersebut atau "menolak" pernyataan "membuat kabur" tersebut. Tetapi jelas, pasti ada nampak perbedaan. Karena jika ada batasan yang jelas, kecerdasan buatan masih sah-sah saja.
Jadi itulah keuntungannya wilayah yang dikategorikan sebagai anomie. Akan sulit diberi kritik sebab ketiadaan aturan, membuat semuanya jadi kabur, kacau, distopia. Itu memang tujuannya. Kekosongan kekuasaan itu pasti nampak jelas pada tatanan hukumnya. Tidak ada aturan yang mengatur, lantas pembaca pasti akan berpikir kembali itu salah atau benar. Wajar atau tidak.
Tetapi karena ada Skala VoightKampff, ada koefisiennya pula, di samping itu terdapat anomie. Maka seperti di sub-bab lain, saya katakan bahwa dalam novel ini masih terdapat bagian yang rumpang. Di situlah sebab kritik saya hadir.
Bisakah mesin bermimpi? Apakah yang mereka mimpikan?
Itu adalah pertanyaan yang saya ajukan di awal. Tentu saya tidak akan menulis sebanyak ini tanpa menjawab hal-hal yang sebelumnya dipertanyakan.