Apa yang kaupikirkan ketika menghadapi atasan yang tempramen? Atasan yang tempramen, kerap melontarkan Anda segelintir teguran bahkan umpatan yang tak mengenakan. Walaupun memang, di antara ujarannya bisa jadi kebenaran maupun tidak. Maka dari itu sebenarnya perlu dilihat apa penyebab dan tujuan atasan Anda.
Orang yang terbiasa dengan umpatan, tak menganggapnya sebagai sesuatu yang berat. Tapi apa jadinya jika belum terbiasa dengan lingkup kerja yang parah?
Maka sebut saja, mungkin beberapa orang belum terbiasa untuk "mengikuti" sebuah sistem. Melihat panasnya Indonesia, beberapa orang menganggap bahwa "mengikuti" sistem berkaitan dengan dengan "diinjak" oleh sistem. Padahal, mengikuti ialah "mengikut arus" hanyalah sebuah cara agar seseorang lebih aman dan terkendali.
Terutama, esensi utama sebuah aturan dibuat tentu untuk mengorganisir situasi: terlepas dari rasional atau tidaknya suatu aturan. Jika ada aturan, maka ada sanksi. Jika suatu aturan ditaati (terlepas dari: merugikan atau tidak) maka akan menciptakan keterorganisiran (keterorganisiran tidak mencakup perasaan subjektif yang hanya dapat dideteksi oleh "sistem" itu sendiri).
Penanaman pola pikir bahwa esensi aturan ialah menciptakan kebahagiaan (terlepas dari: rasional atau tidaknya) dapat menciptakan keteraturan. Manusia tidak dapat mengkalkulasikan sebuah "keteraturan" memang, tetapi Anda akan merasakan "keteraturan" ketika tindakan Anda berhasil dikalkulasikan oleh sistem.
Analoginya, bayangkan Anda berada di suatu negara yang punya aturan bahwa setiap malam warga harus mencuri. Setiap warga yang ada di negara tersebut sudah pasti mencuri dan dicuri. Ketika ada yang tidak melaksanakan hal tersebut, dendanya ialah kurungan penjara paling lama 10 tahun dan hanya diberi makan dan minum tiga hari sekali. Ketika Anda tidak mencuri sedangkan orang lain mencuri barang Anda, selain kehilangan barang berharga atau kerugian lainnya, Anda juga tidak bisa makan minum selama seharian, dilanjut dengan jenuhnya kurungan penjara.
Sebenarnya hal tersebut hanya analogi sederhana yang mungkin tidak berlaku di dunia nyata jika aturannya menyengsarakan rakyat (mayoritas akan berpikir demikian). Tetapi kita akan memecah lagi menjadi pemikiran yang lebih organik.
Ketika Anda misal kata di negara X disodorkan pemerintah aturan bahwa harus membayar pajak atau pertambahan nilai lainnya sebanyak 14% per bulan, apa yang Anda pikirkan? Sedangkan gaji Anda hanya sekitar 5 juta.
Mayoritas akan berpikir bahwa itu menyengsarakan, meskipun di antara itu juga ada mayoritas yang berpikir: "Mengapa tidak diikuti saja?" yang salah satu penyebab mereka berpikir demikian ialah karena pendapatan yang mungkin mencukupi untuk membayarnya. Atau sebenarnya, tidak cukup, tetapi karena ketidakmampuannya maka merasa bahwa tidak bisa melawan. Sebab jika melawan akan lebih buruk.
Ketika Anda masih berada di keadaan bahwa sebuah aturan dibuat secara "rasional" atau "tidak rasional" akibatnya Anda tidak bisa menemukan esensi dari sebuah aturan.
Dengan memiliki gaji sekitar 5 juta dan sengsara untuk membayar pajak serta pertambahan nilai yang ada (otomatis peluang Anda mengkonsumsi barang semakin sedikit) akan lebih baik jika berpikir bagaimana caranya agar mendapatkan pendapatan yang lebih banyak. Ketimbang harus berpikir bahwa sebuah aturan menyesatkan atau tidaknya.
Jika bicara tentang hak suara, maka ranahnya sudah politik. Bukan suatu "esensi" dari peraturan. Terlepas dari: jika ada aturan yang memperbolehkannya, maka itu hak Anda. Jika berbicara terhadap kenaikan harga atau pajak yang bertambah atau pertambahan nilai, lalu Anda menyalurkan keresahan Anda di ruang publik, itu juga tidak masalah.
Jika Anda berpikir bahwa melakukan hal yang sedemikian rupa (tanpa upaya membebaskan diri dari gaji "5 juta" tersebut) adalah celaka untuk diri sendiri.
Untuk menanggapi sebuah pertanyaan: "Apakah lebih baik patuh kepada sistem atau melawan sistem?" Saya lebih nyaman untuk menjawabnya dengan dipecah menjadi dua bagian.
Adalah lebih baik "patuh" jika Anda ingin hidup secara praktis dan sederhana. Adalah lebih baik "melawan" jika Anda merasa mampu.
Namun, menyelaraskan segala hal yang tertulis di atas, juga melihat dari revolusi yang telah ada di Indonesia, "melawan" sistem sama saja memaksa sistem untuk mencerna dan mengkalkulasikan ulang segala hal yang sudah dibentuk. Artinya juga akan melewati prosedur yang sudah ada. Misalnya ketika melakukan revolusi dengan cara "memberontak" seperti yang dilakukan di masa lampau, banyak orang hilang, penculikan, pemerkosaan, dan lainnya yang terjadi. Sebab sistem berusaha untuk mencerna ulang sebuah aksi yang baru di mata "sistem".
Karena sistem butuh waktu untuk menyimpannya ke dalam instrumen mereka, jadinya prosedur masih perlu dijalankan. Prosedur tersebut yakni: kompromi.
Kompromi itu berkaitan erat dengan konflik. Konflik tak selamanya negatif. Salah satu positifnya pemberontakan ialah menciptakan kompromi baru bagi suatu kebijakan atau aturan.
Ketidakmampuan manusia untuk mencerna kedua hal yang berbeda selalu terjadi di antara "sistem" (yang dinilai bapuk oleh mayoritas) maupun "mayoritas" akhirnya tertuang dalam paradoks: apakah sistem sempurna mampu menciptakan sebuah aturan yang bahkan dapat menghancurkan dirinya sendiri?
Kemudian, jika Anda tertarik hal tersebut, telah tertuang dalam novel Do Androids Dream of Electric Sheep karya Philip K. Dick.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H