Jika bicara tentang hak suara, maka ranahnya sudah politik. Bukan suatu "esensi" dari peraturan. Terlepas dari: jika ada aturan yang memperbolehkannya, maka itu hak Anda. Jika berbicara terhadap kenaikan harga atau pajak yang bertambah atau pertambahan nilai, lalu Anda menyalurkan keresahan Anda di ruang publik, itu juga tidak masalah.
Jika Anda berpikir bahwa melakukan hal yang sedemikian rupa (tanpa upaya membebaskan diri dari gaji "5 juta" tersebut) adalah celaka untuk diri sendiri.
Untuk menanggapi sebuah pertanyaan: "Apakah lebih baik patuh kepada sistem atau melawan sistem?" Saya lebih nyaman untuk menjawabnya dengan dipecah menjadi dua bagian.
Adalah lebih baik "patuh" jika Anda ingin hidup secara praktis dan sederhana. Adalah lebih baik "melawan" jika Anda merasa mampu.
Namun, menyelaraskan segala hal yang tertulis di atas, juga melihat dari revolusi yang telah ada di Indonesia, "melawan" sistem sama saja memaksa sistem untuk mencerna dan mengkalkulasikan ulang segala hal yang sudah dibentuk. Artinya juga akan melewati prosedur yang sudah ada. Misalnya ketika melakukan revolusi dengan cara "memberontak" seperti yang dilakukan di masa lampau, banyak orang hilang, penculikan, pemerkosaan, dan lainnya yang terjadi. Sebab sistem berusaha untuk mencerna ulang sebuah aksi yang baru di mata "sistem".
Karena sistem butuh waktu untuk menyimpannya ke dalam instrumen mereka, jadinya prosedur masih perlu dijalankan. Prosedur tersebut yakni: kompromi.
Kompromi itu berkaitan erat dengan konflik. Konflik tak selamanya negatif. Salah satu positifnya pemberontakan ialah menciptakan kompromi baru bagi suatu kebijakan atau aturan.
Ketidakmampuan manusia untuk mencerna kedua hal yang berbeda selalu terjadi di antara "sistem" (yang dinilai bapuk oleh mayoritas) maupun "mayoritas" akhirnya tertuang dalam paradoks: apakah sistem sempurna mampu menciptakan sebuah aturan yang bahkan dapat menghancurkan dirinya sendiri?
Kemudian, jika Anda tertarik hal tersebut, telah tertuang dalam novel Do Androids Dream of Electric Sheep karya Philip K. Dick.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H