Mohon tunggu...
Arther Efflin
Arther Efflin Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Writing about social issues. ✍️

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Selamat Datang di Ujung Dunia, Narasi Tanpa Aksi?

17 November 2024   01:34 Diperbarui: 17 November 2024   02:23 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Apa yang akan kamu pikirkan pertama kali jika ada lagu yang membahas dunia yang hampir berada di ujung maut. Salah satu liriknya menuturkan: 

Gegap gempita, Jakarta...

Mimpi yang rongsok menopang kota...

Entah mengapa lirik tersebut, selalu mengingatkan saya kepada momen-momen penghujung tahun baru. Langit malam dipenuhi bintang, dihujani oleh asap, kilau, pembakaran hasil sintesis kertas manusia. Letusan gemerlap di kala telinga bergelut dengan alam mimpi. Lirik tersebut selalu membawa saya kepada perasaan gugup menghadapi resolusi yang baru. 

Di lagu ini Lomba Sihir seolah ingin menekankan kembali setiap makna di liriknya melalui lagu-lagu sesudahnya, misalnya Polusi Cahaya dan Semua Orang Pernah Sakit Hati. 

Tetapi di antara sekian banyak album Selamat Datang di Ujung Dunia saya hendaklah berpikir membahas metafora lagu ini lebih menarik. Album "Selamat Datang di Ujung Dunia" polanya itu mengerucut. Seolah-olah pembaca akan digiring: permasalahan yang dihadapi hanyalah sebagian kecil dari yang sepenuhnya. 

Dimulai dari lagu Selamat Datang maka pendengar diiringi dengan pengenalan bahwa album ini ingin membahas bagaimana perasaan kita ketika berada di tengah masalah, tengah kekacauan. 

Kita sebagai pendengar selalu berpikir bahwa yang  dihadapi adalah pergumulan, padahal semua yang lalu lalang hanyalah hal kecil yang selalu dihadapi oleh mereka yang masih menggilas angin. Hanya karena embusan yang berbeda ketukannya, kita jadi mengutuk Tuhan, dunia, dan kotornya.

Lirik  awalan ada salah satunya menuturkan demikian,

Air laut yang naik merendam dosa...

Lirik tersebut membangkitkan salah satu memori masa lampau saya.

Jadi, tahun 2017 saya bertahun baru di Jakarta. Yang mana saya selalu dijanjikan Emak bahwa semua yang diharapkan pasti terjadi ketika diimani. 

Kunci dari lirik tersebut ada pada kata 'iman'. Sebagai pendengar, selain disuguhi oleh musik yang memanjakan, terkesan 'gemerlap' yang di sisi lain seperti berada di akhir peradaban. 

Hal tersebut dimaksudkan generasi akhir-akhir ini menciptakan mimpi yang gampang pudar. Seolah-olah penekanan kata air laut menggambarkan seberapa labil generasi akhir-akhir ini, atau simply menggambarkan keadaan yang demikian: 

Gaji pertama nih, lumayan 6 juta. Self-reward dulu bisa kali. Beli barang second aja gak masalah. Nabung buat beli rumah bisa nanti-nanti!

Kamu dapat bayangkan bagaimana perasaanmu pada pukul 12 malam. Hingga 40 menit kemudian petasan mulai sirna, suaranya melempem dan kamu mulai merasa bahwa kebahagiaan, dan sesuatu yang spesial hanyalah sementara. 

Sekarang mari kita menjelajah ke lirik Selamat Datang - Lomba Sihir, dalam bentuk yang lebih fiktif.

Andaikan saja. Kamu merasa di perpustakaan lantai paling atas, kamu sendirian. Kamu ditemani oleh lampu kuning di sepanjang sudutnya dengan atap kaca, kamu dapat melihat langit Jakarta dipenuhi bintang, dan redupan petasan kemudian disambut dengan kotornya asap. Kamu membayangkan sebetapa manusia mengotori waktu yang berlalu, hanya demi kebahagiaan yang bersifat seremonial. 

Namun, kamu merasa hari ini tidaklah buruk sebab kamu aman berada di dalam perpustakaan. Bukankah justru bagus? Pemandangannya seperti novel fiksi yang sering kamu baca. Para astrologi ternama melihat bintang-bintang, planet, dunia lain melalui teleskop di perpustakaan beratap kaca. 

Lantas seolah-olah mereka akan membaca setiap pergerakan bintang jatuh, hingga membawa mimpi mereka. Penulis akan berfantasi bahwa sang astrologi adalah orang jenius yang akan melantunkan lirik Lomba Sihir,

Arena akbar mengulang diri...

Arena akbar merusak diri...

Arena akbar mengulang diri...

Arena akbar merusak diri...

Selamat datang di ujung dunia...

Gegap gempita Jakarta...

Selamat datang di ujung dunia...

Gegap gempita Jakarta...

Kamu menutup bukumu. Kamu sadar, bahwa yang selama ini dibayangkan hanyalah hal-hal fiktif. Ketika kamu tidak berani menutup bukumu dan menjalankan sesuatu yang berat, sesuatu yang mustahil, sesuatu yang berisiko. Kamu terus akan terjebak di dalam perpustakaan kaca. Dosa dan ketidakdisiplinan manusia terus bergema sepanjang kota di kala air laut tak kuat lagi mengguyur. 

Lomba Sihir itu seperti muka dua. Kita dibawa ke lirik lagu yang relate padahal kalau ditelaah, sebenarnya adalah untuk menyindir. Ada masa di mana tidak semua yang diharapkan berjalan mulus. Maka ini tertuang dalam lagu Jalan Tikus dan Polusi Cahaya. Jalan Tikus membahas tentang 'siasat manusia' sebagai simbolis: ingin sesuatu yang instan. 

Menganggap bahwa semua hal yang mereka dambakan dapat digapai dengan cepat, praktis, efisien, dan melalui jalan tikus. Kemudian disindir melalui Polusi Cahaya yang secara kesinambungan membahas tangga-tangga sebagai simbolis dari: segelintir orang yang kalah bertaruh dengan mimpi, harapan, tujuan, pencapaian, target, dan segala sesuatu yang mereka dambakan. 

Sebagaimana di awal telah disinggung bahwa Jakarta digambarkan sebagai kota yang gegap gempita, penuh dosa, dan merupakan penghujung dunia, maka tak heran jika di salah satu dari sekian banyak lagu (saya baru memilih beberapa di antaranya)  pun sudah menyindir bahwa hal yang didambakan tak selamanya begitu dan juga semua pergumulan akan terus begitu disindir melalui lagu Semua Orang Pernah Sakit Hati. 

Album Selamat Datang di Ujung Dunia itu meromantisasi makian kalau boleh jujur. Maka, kalimat seperti "Penjara termewah dunia..." secara pleonasme akan diucapkan.

 Kenapa saya bilang itu pleonasme? Karena lagu ini sudah gamblang berbicara tentang segala kotor-kotornya seisi dunia, seisi impian manusia, seperti yang sudah saya paparkan di awal. 

Maka kata "Penjara termewah dunia..." seperti pada contohnya lagu Selamat Datang dan Polusi Cahaya, menegaskan makna tersirat, kehidupan manusia yang tanpa aksi, bak ciptaan yang sedang berusaha keluar dari penjara. Kalau bahas tentang Polusi Cahaya, maka kita bisa menemukan lirik demikian:

Terlalu susah untuk menerima fakta

Bahwa aku belum jadi siapa-siapa

Besar andilku 'tuk polusi cahaya

Sampah di penjara termewah dunia

Pertama, lirik pada lirik terlalu susah untuk menerima fakta

dapat diartikan sebagai ketidakpercayaan generasi, ketidakpercayaan individu. Atau dalam kata lain adalah ketidaksiapan, kegagapan, kegagalan, dan perasaan tidak pantas untuk menerima suatu kenyataan yang sedang dihadapi (ketidaksetujuan). 

Hal ini tidak selalu merujuk ke pencapaian diri sendiri atau persepsi internal. Hal ini sama artinya ketika individu menerima pernyataan orang lain yang tidak bisa kita setujui sebab terdapat ketidaksiapan yang tertuang dalam adverbia 'terlalu' dan dilanjut dengan adjektiva 'susah'. 

Kata tersebut guna melantunkan lirik  bahwa aku belum jadi siapa-siapa. 

Kemudian untuk menganalisis makna lirik besar andilku 'tuk polusi cahaya, saya akan memecah beberapa. Perlu diketahui bahwa andil artinya adalah tugas, usaha, campur tangan, atau kontribusi kepada hal tertentu. 

Sementara frasa polusi cahaya dalam lagu Polusi Cahaya menggambarkan keadaan di mana kita menjadi buta, sulit melihat sesuatu, ketidakmampuan dalam menelaah sesuatu, dan keadaan di mana kita benar-benar kacau hingga tidak dapat mengklasifikasikan sesuatu. Jika di sambung maka, besar andilku 'tuk polusi cahaya memiliki makna semacam: 

Aku tau dan aku sadar aksiku besar, hanya untuk hal-hal yang tidak berguna, hingga aku merasa tangga-tangga ini semakin besar, seolah tak berpenghujung.

Maka dari hal itu, dapatlah kalimat Sampah di penjara termewah dunia yang selalu dilantunkan, disisipkan, baik secara gamblang ataupun secara tersirat. Kemudian, dapatlah Lomba Sihir mengemas setiap hal-hal tersebut ke dalam lagu Selamat Datang melalui album Selamat Datang di Ujung Dunia. []

Beraksi, kurangi narasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun